67 | sepandai-pandai menyimpan kembang, akhirnya akan busuk juga

170K 19.8K 889
                                    




67 | sepandai-pandai menyimpan kembang, akhirnya akan busuk juga



SABRINA nyaris menjerit karena kaget dan kesal keesokan paginya.

Saking nyamannya tidur sambil dielus-elus, dia sampai tidak kendengar alarmnya berbunyi berulang kali. Padahal pagi ini dia mendapat tugas menjemput dan mengantarkan keluarga mempelai dari airport ke hotel.

Sabrina mendial nomor supir bus mereka, ingin memastikannya tiba di lokasi penjemputan tepat waktu.

"Masih sempet, Sab. Dari sini ke airport cuma dua puluh menit, kok." Zane berujar sambil membawa masuk pakaian Sabrina yang semalam dicuci.

Sabrina mengangguk-angguk, meski tetap nampak panik, segera memakai pakaiannya sambil menunggu telepon tersambung.

Namun ternyata tidak.

Bahkan Karen yang seharusnya bertugas bersamanya juga tidak bisa dihubungi.

Zane segera berpakaian juga, mengantongi dompet dan ponselnya.

"Gue tunggu di mobil," katanya, mengecup dahi Sabrina, lalu meninggalkannya yang sedang mengancingkan kemeja sambil menangis sendirian.

Belum lagi Sabrina masih harus merasa tidak enak pada keluarga Zane.

Jeff dan Mama Zane sudah sibuk di dapur, tapi bahkan dia menolak diajak sarapan.

Karena merasa paginya benar-benar kacau, Sabrina menangis lagi di dalam mobil.

Zane menoleh, menahan tawa.

Please deh, Sabrina lebay abis. Asli.

Jangan-jangan dia juga selalu menangis setiap kali Zane mengerjainya, mengatakan akan mengecek pekerjaannya secara mendadak.

Kalau memang hal itu benar terjadi, hmm ... two thumbs up untuk Zane!

"Ssh. Masih keburu, kok." Zane akhirnya mengulurkan tangan untuk menyeka air mata di pipi perempuan itu. Biar nggak kelihatan jahat-jahat amat. "Kalau Karen nggak dateng, nanti gue temenin sampai semua tamu naik bus."

"Nggak perlu." Sabrina sesenggukan. "Gue bisa sendiri."

"Ya udah, nangisnya berhenti dulu, dong. Kalo gue jadi tamunya, jelas gue nggak yakin sama LO yang gampang mewek."

Sabrina menatapnya tajam. "Paduka diem dulu, deh. Ini gue nangis mumpung nggak ada orang lain."

Zan mingkem.

Cukup tahu kalau sekarang dia sudah tidak dianggap sebagai 'orang lain'.


~


Setelah mengantar seluruh tamunya ke resto untuk sarapan, Sabrina lari tunggang langgang ke kamar hotel, tempat seharusnya dia menginap bersama Karen semalam.

Karen membukakan pintu dengan pakaian kusut dan nata merah.

"Gue pikir lo mati, anjir!"

Sabrina ngamuk sambil megap-megap karena kehabisan napas.

Karen langsung pasang muka menyesal.

"Sorry ... gue tidurnya kemaleman gara-gara insom. Lupa nggak bikin alarm." Perempuan itu membuka pintunya lebar-lebar. "Nggak ada elo, sih. Jadi nggak ada yang bangunin."

Sabrina mendengus, melangkah masuk. "Gue juga hampir telat, tadi."

"Udah beres kan tapi? Udah pada check in?"

"Udah."

Karen meringis. "Tengkyuu. Abis ini lo istirahat dulu, deh. Gantian gue."

Sabrina mengangkat bahu. Meletakkan tasnya di meja.

Baru sadar sekarang perutnya keroncongan.

"Jam berapa, Ren?"

Sabrina menoleh. Keningnya mengkerut.

Suara Akmal?

Lalu dia melihat ke balik punggung Karen.

Akmal duduk terbungkus selimut di atas sofa. Baru bangun juga.

"Astagaaa." Sabrina speechless. "What the hell are you doing here? Baru bangun jam segini, pula. Siap-siap aja dibantai Juned semuanya."


~


Sabrina pusing, karena jelas Juned mendiamkan mereka semua. Merasa membawa tim yang tidak berguna jauh-jauh ke luar negeri.

Tidak benar-benar diam, sih. Bagaimanapun juga mereka sedang bekerja. Harus profesional. Hanya saja, temannya itu benar-benar tidak akan berbicara jika tidak perlu.

Itu pun dengan nada yang tidak enak didengar.

Selesai acara rehearsal dinner, karena terlalu lelah, Sabrina mengajak Karen kembali ke kamar hotel.

"Capeknya berasa kayak lagi jadi guide di tour and travel." Karen mengurut pelipisnya dengan satu tangan.

Sabrina cuma mesem, lalu mereka berbelok di koridor.

Pintu lift yang mereka tuju di depan sana terbuka karena beberapa orang telah mengantre di depannya.

Sabrina melotot.

Di depan lift nampak Jeffrey Abram merengkuh seorang cewek dan membawanya masuk, menuju sisi belakang lift.

Dan akhirnya keduanya balik badan.

Sabrina otomatis menoleh ke Karen.

Beruntung temannya itu belum melihat ke sana.

"Eh, dompet gue ketinggalan di ruang makan, dong!" Sabrina memekik tiba-tiba, berusaha nampak meyakinkan.

Karen menaikkan kedua alis. "Serius? Ya udah, ayok dicari dulu."



... to be continued



PS. SPECIAL CHAPTER BONDI BEACH SANGAT REKOMEN DIBACA SETELAH PART 68 YAK. YANG BELOM UNLOCK MUDAH2AN DILANCARKAN REZEKINYA.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now