Rindu

233 11 0
                                    

"Sudah pasti, bahwa semua orang tua akan menunjukkan yang terbaik untuk anak-anaknya, bukan sebaliknya"

~~~~~~~

Senja menorehkan semburat langit berwarna jingga. Matahari turun dan gelap mulai melanda.

Aku baru saja mengakhiri aktivitasku di sekolah. Banyak tugas yang harus ku kerjakan malam ini. Laporan praktikum analisis instrumentasi dan analisis bahan organik rupanya sudah menanti. Belum lagi persiapan event olimpiadeku selanjutnya. Oke, sampai 2 bulan sebelum ujian kelulusan ini aku masih saja disibukkan dengan beragam kegiatan pendukung akademisku.

Tak bisa ku sangkal, kadang aku merasakan jenuh yang luar biasa. Melihat teman-teman seusiaku dengan luangnya mereka berkumpul dan hangout bareng sedangkan aku tak lepas dari sekumpulan tugas yang harus aku kerjakan.

Ya, aku sadar basic sekolah kami memang berbeda. Toh, analis kimia itu jarang sekali. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku.

🍁

Aku baru sadar kalau sudah 3 hari aku tidak ada kontak dengan Cesar.

Kemana dia ya? Apa aku pernah bilang aku ngambek dengannya?

Oh, ya.

Sejujurnya, bahkan dalam kengambekanku yang sepekat-pekatnya aku tetap mengkhawatirkannya dalam diamku.

Ketika aku berkata aku tak ingin menghubunginya, saat itu adalah saat yang buruk tapi adalah saat terbaik pula.

Buruknya aku harus rela menahan gengsi atas perkataanku, baiknya adalah aku senang saja melihat kekonyolan Cesar mencariku.

Sampai pernah waktu itu dia menelpon mamah dan menanyakan kabarku. Ah, aku benar-benar sedang rindu sosok laki-laki terlampau tampan itu. Sebenarnya hanya alibiku saja sampai harus pura-pura ngambek seperti ini. Aku suka mengerjainya. Biarkan Cesar khawatir dulu. Aku sangat suka kalau dia sedang bingung. Itu lucu.

🍁

Jariku tak henti mengetik pembahasan laporan praktikum yang aku praktikkan tadi. Sampai 2 lembar sudah pembahasan ini belum berakhir.

Beberapa menit selanjutnya, akhirnya aku selesai juga dengan pekerjaanku.

Hmm, selesai?

belum!!

Kalkukus.

Besok ada ulangan kalkukus. Aku mulai menyetting otakku mengulang materi logaritma pak Restu. Sampai aku bahkan tak sadarkan diri dengan kondisi masih memegang pena di tangan kananku. Lelap.

Di tengah lelapku, aku bahkan tidak sadar ketika mamah mengintipku dari pintu.

"putriku ini" gumam mamah melihat kondisiku tidur diantara selebaran buku.

"Nak Cesar, Aisa udah tidur tu. Orang tadi bilangnya mau garap tugas eee nggak taunya udah lelap" ucap mamah sembari tertawa via telpon.

Bersambut tawa renyah pula dari sana,

"yasudah, Bu.  Mungkin Aisa sedang lelah. Biar besok saya telpon putri ibu lagi saja. Semoga handhphone nya sudah aktif. Salam saya ke Bapak ya, Bu. Maaf mengganggu. Terimakasih, Assalamu'alaikum"

"iya Nak Cesar. Tidak apa-apa. Besok ibu bilang ke Aisa kalau semalam kamu menelpon ibu. Jaga diri di sana nak Cesar. Kesehatan diperhatikan. Nanti salam ke Bapak ibu sampaikan insyaallah. Wa'alaikumsalam"

Beginilah kedekatan di antara kami. Bahkan tidak ada yang kami sembunyikan dari orangtua kami. Orangtuaku sudah mengerti pribadi Cesar.

Kami berharap hubungan ini dapat terus berlanjut baik-baik saja sampai nanti. Tak lepas dari kontrol orangtua pastinya. Iya, di sinilah letak peran orangtua yang aku maksud. Bagaikan perisai. Sekaligus pemantau bagi sang anak. Toh aku ini sudah 18 tahun. Insyaallah, sudah tau mana yang baik dan buruk.

Dan semoga bisa jadi Aisa yang lebih dewasa lagi.

🍁

Sudah jauh sekali aku tersesat di alam mimpiku.

Aku melirik ponselku untuk melihat jam.
Tidak nyala! Benar saja, mati kehabisan baterai. Aku menengok ke atas dinding. Jarum jam sudah berada di angka 10. Aku segera membereskan ceceran bukuku dan bergegas sholat kemudian tidur kembali.

You Are My TreasureWhere stories live. Discover now