Tuan putri

87 3 0
                                    

"Kekhawatiranmu terhadap kondisi seseorang menunjukkan seberapa kau peduli terhadapnya"

~~~~~~~~

Aku mengerjap beberapa saat ketika aku mendapati 2 suster sedang menyuntikkan obat melalui selang infus di tanganku. Sedikit ngilu sehingga aku terbangun.

Aku menoleh ke arah kiriku dan masih menjumpai Sam di sana. Dia tidur di sofa dengan tangan bersedeku di dadanya. Benar ternyata Sam memang menungguiku. Sekarang aku mencari keberadaan handphone ku.

"Aahh.." tangan kananku ngilu. Bodoh sekali aku yang masih mencoba memaksakan meraih ponsel di atas nakas.

Aku menyesal seketika. Harusnya aku bisa berdiri dan berjalan sedikit ke nakas tadi.

"Sa. Kamu ngapain? Kenapa nggak manggil aku aja sih? Kamu haus?" Sam terlihat berlari mendengar rintihanku.

"Ponselku" jawabku pelan seakan aku takut Sam marah karena aku sangat mm- ngeyel.

Sam memberikan ponselku segera. Tentu saja aku menerimanya dengan tanganku.

"Ya ampun, lihat. Darahnya sampai naik ke selang infus begini" cepat-cepat Sam memencet tombol panggilan darurat suster tepat di atas kepalaku.

Hei, aku bahkan tidak sadar kalau selang infusku sudah menjadi merah.

🍃

Sam tersenyum ramah kepada suster yang sudah selesai menanganiku barusan. Tiba-tiba dia menolehku tapi senyumannya pudar perlahan dan seolah aku ini mangsa yang siap diterkamnya.

"Apa? Hmmm? Masih ngeyel lagi? Mau di sini terus apa pengen cepet pulang?" Mata Sam nampak menyindir ke arahku. Aku menunduk tanpa ekspresi.

"Maaf" Ucap Sam lirih.

Kenapa jadi Sam yang minta maaf ke aku? Seharusnya aku yang melakukan itu.

"Maaf kalau aku jadi bentak kamu, Sa. Aku nggak bermaksud marah-marah. Aku cuma pengen kamu sembuh. Aku bener-bener khawatir kalau kamu sakit begini" tangan Sam memegang kepalaku dengan lembut seperti aku ini anak anjing jinak.

"Aku tadi lihat kamu tidur, kamu pasti lelah. Kamu udah cukup aku repotin, biarin kamu istirahat dulu. Maafin aku, Sam" jawabku pelan tanpa menengok ke arahnya.

Hening. Ku anggap Sam mengerti. Kepalaku terangkat dengan kedua telapak tangan Sam yang sudah di pipiku. Mau tidak mau, aku melihat ke arahnya sekarang.

"Jangan bikin aku khawatir. Ini ponselmu. Kalau butuh apa-apa lagi panggil aku. Biar aku yang ambilkan. Jangan memaksakan kondisimu. Aku di sini"

"Terimakasih"

Aku menjadi bungkam seribu kata setelah itu.

Aku tahu Sam pasti masih sebal kepadaku setelah kejadian tadi. Asyik bermain ponsel sejenak, aku bahkan melupakan Sam yang masih di sini menungguku.

Beberapa saat...

"Aisa, aku minta maaf" Sam kembali mendekati ranjangku.

"Hm?" Aku mengernyit bingung kenapa Sam malah mengatakan maaf kembali

"Aku tidak ingin didiamkan begini. Aku salah udah bentak kamu, iya. Aku minta maaf. Jangan begitu" Sam menuntut.

"Astaga, maaf Sam. Aku benar-benar tidak bermaksud mendiamkanmu. Aku malah berpikir kamu masih sebal setelah aku ngeyel tadi"

"Tadi?" Ulangnya

"Iya, tadi aku memang menyebalkan bukan? Maaf"

"Bukan hanya tadi, setiap hari" Sam mencubit hidungku dan aku mengaduh atas cubitannya. Kupikir dia benar-benar marah. Sam memang sangat jahil.

"Saaaaammmm" teriakku tidak begitu kencang dan menabok tangannya. Aku bernafas normal kembali.

"Sam tolong ambilkan aku apel itu. Mau makan buah" ucapku sambil melirik tumpukan parsel buah di atas nakas.

"Siap, tuan putri"

🍁🍁🍁

Sam pov

Setelah mata kuliah dari Mr. Darwis selesai, aku segera bergegas ke arah rumah sakit.

"Astaga Aisa. Kenapa kamu nggak bilang sih kalau kamu sampai di rawat begini? Aku bisa jagain kamu. Jahat sekali. Bahkan aku harus mendengar kabarmu dari teman-teman begitu" kataku buru-buru setelah masuk ke ruang inap yang kucari dari tadi.

Akhirnya aku menemuinya. Mendapati Aisa terbaring di ranjang rumah sakit sendirian dengan selang cairan infus yang menempel di tangannya.

Sungguh, gadis itu. Aku sudah dibuat khawatir setelah beberapa hari ini aku tidak menjumpainya di kampus. Akhirnya aku mendapat informasi dari teman kelasnya bahwa dia sedang sakit dan dirawat di rumah sakit ini.

Aisa tampak lemah dan aku tahu dia pasti sedang bosan di ruangan ini sendirian. Kebetulan besok jadwal kuliahku masuk siang dan aku berniat akan menungguinya di rumah sakit.

Aku sungguh tidak tega melihat badannya yang lesu dan bibirnya yang pucat itu. Sadar tidak sadar, aku memang tidak akan tega melihatnya begini. Padahal biasanya dia gadis yang aktif ke sana kemari semaunya tanpa diam dan sekarang dia harus dirawat seperti ini.

"Maaf" ucapnya pelan.

Sungguh dia ini.

Aku menjadi gemas sendiri.

Tapi aku kembali naik amarah ketika melihat nampan berisi makanan masih utuh sama sekali belum termakan. Akhirnya dengan memaksa Aisa, aku menyuapinya dengan penuh sayang.

Dokter datang mengecek keadaan Aisa ditengah aku sedang menyuapinya. Mengira kalau aku adalah pacar Aisa. Dengan senang hati aku mengiyakan takdir kalau begitu. Namun Aisa tetap Aisa. Dia selalu menganggapku hanya sebatas teman atau mungkin bisa dikatakan kami mm- sahabat.

Aku memutuskan untuk menunggu Aisa selama dia di rawat. Tugas kuliah bisa sambil ku kerjakan dari sini. Aku benar-benar tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Sekarang lihat, dia benar-benar ceroboh sekali. Untuk apa memaksakan mengambil barang sialan seperti handphone itu sampai darah di tangannya naik memenuhi selang infus. Padahal aku akan dengan senang hati berdiri mengambilkannya apabila dia memanggilku. Untung saja aku sadar ketika dia merintih kesakitan dan langsung aku bangun dari sofa berlari ke arahnya. Bagiku, Aisa sangat menggemaskan. Dia sering berkata kepadaku untuk aku tidak memanjakannya, untuk aku tidak memenuhi setiap apa yang dia katakan. Tapi aku tidak bisa. Aku seperti semakin hari jatuh cinta padanya. Meskipun, dia sempat pernah cerita kalau di Indonesia, dia sudah memiliki hubungan dengan laki-laki lain.

Boleh Aisa selalu menyangkal kalau aku benar-benar menyimpan rasa padanya. Setiap ocehanku selalu dibuat bahan candaan kalau itu melibatkan perasaan di antara kami. Berkali-kali aku selalu bilang aku mencintainya, namun memang perasaannya terlalu dalam untuk pacarnya dan tidak semudah itu untuk mengatakan balik tentang perasaannya padaku. Dia selalu tertawa dan mengataiku gila atau semua kalimatku dianggap lucu. Aku tidak akan memaksa.

You Are My TreasureWhere stories live. Discover now