PART 3

2.3K 152 10
                                    

Henny ingin rasanya pergi meninggalkan Anggara yang sekarang duduk manis di depannya.

"Tapi ngga mungkin untuk balikan"

"Ngga mungkin untuk balikan"

"Ngga mungkin"

"Ngga mungkin"

Ucapan Anggara kemarin saat di hanggar benar-benar membuatnya sedih. Ditambah lagi, Anggara mengatakannya di depan Rima. Rasanya sudah tidak ada muka lagi Henny di depan Rima.

"Kamu ngga makan?" tanya Anggara lembut, penuh perhatian.

Kan udah lo liat, Cah. Kagak ada piring di depan gue.

"Udah, tadi," jawab Henny sekenanya. Berbohong, ia memang perlu berbohong sekarang.

"Kamu, masih sama kayak dulu, Dek," ucap Anggara. Di wajahnya tampak jelas wajah kekecewaan.

Berehenti mengenang masalalu, Bung!

Henny tak bersuara, ia menyedot sampai habis es tehnya yang sudah tak sedingin sebelumnya.

"Kakak, masih mau di sini? Aku mau naik," kata Henny dengan senyum terpaksanya. Menunjuk ke lantai atas.

"Menghindar?" Pertanyaan Anggara berhasil membuat Henny terduduk kembali.
Gue bukan menghindar, Kak, cuma mau menjaga hati biar ngga baper terus koper.

"Maksudnya?" Henny pura-pura tidak tahu. Anggara tersenyum miring.

"Kamu ngehindari aku kan, Dek. Kita perlu bicara!" Anggara menarik paksa tangan Henny. Henny berusaha melepaskan tangan Anggara. Ia malu beberapa orang sudah memperhatikan mereka.

"Kak Anggara, lepasin!" pinta Henny dengan wajah merah padam.

"Ngga, kita harus bicara!"

"Ngga ada yang perlu dibicarakan lagi, Kak!"

Mereka sudah berada di parkiran depan Kantor. Anggara akhirnya melepaskan genggamannya. Henny masih berusaha menahan amarahnya. Dia malu, malu diperlakukan seperti tadi. Mau di taruh di mana wajahnya.

Henny mencoba mengatur napasnya agar lebih stabil. Ia melihat keadaan sekitarnya. Mereka sedang berada di parkiran. Tidak ada orang sepertinya di sana.

Henny menatap wajah Anggara dalam-dalam. Ia beralih pada matanya. Mata coklat itu, yang dulu selalu memperhatikan Henny.

Anggara menangkap manik mata Henny. Ia bisa merasakan ada kerinduan di dalam sana. Ada harapan yang hampir sirna. Ada rasa yang belum menghilang sempurna.

"Aku ..., mau nikah," kata Anggara dengan suara yang sangat lirih. Anggara memperhatikan wajah Henny. Perempuan di depannya itu tidak bereaksi apa-apa.

Hanya helaan napas yang akhirnya keluar dari mulut Henny. Ia tak tahu harus berkata apa-apa lagi. Ia benar-benar seperti tersambar petir di siang bolong.

"Selamat, Kak," ucap Henny tersenyum.

Tersenyum tulus. Ia ingin menangis tapi justru senyum yang muncul. Apalagi kalau bukan tulus.

You're My Propeller (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang