PART LXIII

768 52 37
                                    

Henry membawa wanita yang ada di genggamannya sekarang ke dalam kamar Mamanya. Ia tidak membawa apa-apa sehingga akan lebih fatal kalau tidak segera di obati. disisi lain Henny yang tadi emosinya meluap-luap kini sudah mulai tenang kembali, perhatian kecil itu membuat Henny merasa sedikit lega setidaknya Henry masih peduli dengan dirinya. begitulah batin Henny.

'wanita meskipun sudah disakiti berkali-kali selalu mempunyai maaf berkali-kali juga'

"Ya Allah apa yang terjadi?" begitu mereka sampai Widya mendadak histeris melihat telapak tangan Henny sudah berwarna merah.

"Biasa kalau ngga buat rusuh bukan Dia, Ma," sindiran yang sangat membuat Henny kembali merasakan sedih. 

"Henry jaga omongan kamu!" tegas Widya Henny yang berada diantara ibu dan anak itu merasakan canggung. Ia ingin pergi tetapi bagaimana Henry masih di depannya, dan dia juga tidak enak kalau harus pergi meninggalkan Widya yang sudah terlihat sangat khawatir.

"Aku ngga apa-apa Tante, ini? bisa aku obatin sendiri," Henny tersenyum, dia kembali tersinggung mendengar sindiran Henry. Henny hendak keluar Widya menahan bahunya. Dengan cepat Widya mencari kotak P3K yang selalu dibawanya ketiga berkegiatan di luar ruangan.

Henny enatap Henry dari kejauhan ia mengelap air matanya sendiri yang mulai membanjiri pipinya.

"Sabar ya," Widya dengan lembut mengobati Henny, "Jangan nangis lagi," persis seperti anak kecil yang terdiam ketika diberi Eskrim. Ngomong-ngomong eskrim ingin sekali Henry memberi wanita itu eskrim sekarang juga. Tapi dia menahannya.

'Maafin gue, sungguh maafin gue, bukan maksud gue!'

Henry berlalu pergi, Henny menatap kepergian Henry tanpa sepatah katapun. Entah dia merasa akan semakin jauh menggapai lelaki itu.

Widya dengan diam memperhatikan Henny. Tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Dia tidak ingin merusak persahabatan anaknya yang sudah lama terjalin.

"Maafin anak Tante ya, cara dia menunjukkan kepeduliannya kepada orang tu kadang aneh," ungkap Widya. Dia merasa bersalah sudah bersikap Dingin sebelumnya dengan Henny. Henny bukanlah orang yang pantas untuk diabaikan dalam hal ini. Karena dia tidak salah sama sekali. Rasanya sangat kejam kalau melibatkan Henny.

"Henny!" Reza menginterupsi keduanya. Keempat bola mata menatap Reza yang terlihat sangat khawatir.

'Mereka sama!'

Widya menghela napas panjang dan kemudian dia memasang senyumnya.

"Henny tadi luka, ada insiden kecil," jelas Widya. Reza tersenyum tulus dia sangat berterima kasih kepada wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri.

"Tante, terimakasih, aku harus kembali ke kamar!" Henny menyunggingkan bibirnya, kemudian ia beralih menatap Reza. Setelah melihat Reza ada rasa kecewa dihatinya. Yang diharapkannya bukan Reza tetapi Henry.

"Mas, aku balik ke kamar dulu." Pamit Henny kedua kalinya setelah menunduk.

Reza tak menggubris itu, dia hanya terpaku dengan sikap Henny yang seolah menghindarinya.

Sepeninggalan Henny, Reza dan Widya saling memeperhatikan mereka terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Widya membuka pembicaraan.

"Dia anak yang baik, anak yang sopan dan anak yang ceria, itulah alasan Tante ingin dia menjadi mantu Tante,,," terdapat jeda sejenak sebelum dia melanjutkan kembali kata-katanya.

"Tanpa tante sadari kalau, itu membebani Henry. Gara-gara ucapan Tante masalah mantu, kalian harus mengalami posisi yang sulit, maafin Tante," ucap Widya Polos. Ya walau bagaimanapun di hatinya sangat yakin kalau sekarang Henry sedang membuka hatinya untuk Henny.

You're My Propeller (Completed)Where stories live. Discover now