14

103K 8.8K 697
                                    


___



Satu kelemahan paling lemah dari sekian banyak kelemahan yang aku miliki, yaitu: sulit bisa berbahasa Inggris.

Sejak SD sampai SMP, aku memang benci dengan pelajaran asing yang satu itu. Alasannya karena aku tidak pernah bisa paham. Sama halnya ketika seseorang membenci pelajaran Matematika karena dia tidak mengerti meski dijelaskan berkali-kali.

Ini adalah hari terakhirku menjadi murid di sebuah tempat kursus. Aku keluar dari gedung minimalis, tempat di mana aku kursus bahasa Inggris sejak enam bulan yang lalu. Selama itu pula, mungkin aku hanya tahu beberapa kosa kata dari hasil kursus bahasa Inggris tiap dua kali seminggu. Aku kadang kesal jika tentor hanya memperhatikan murid yang memang sudah bisa bahasa Inggris. Sementara aku yang bahkan tidak tahu apa bahasa Inggris dari kasur, akan tetap seperti ini. Aku tidak berkembang karena sepanjang tentor menjelaskan, otakku langsung kusut. Padahal, semangatku untuk bisa berbahasa Inggris sangat besar agar tidak terlalu memalukan menjadi siswi SMA Tabula Rasa yang tak bisa berbahasa Inggris.

Ya, aku memang juga salah karena tidak berusaha sendiri. Tapi, meski aku sudah menghafal banyak kosa kata, aku akan cepat lupa dan berakhir dengan malas-malasan.

Aku tidak tahu satu pun bakatku. Bahasa Inggris tidak bisa. Matematika apalagi. Bahasa Indonesia? Aku mendapatkan nilai terburuk dari sekian ratus murid SMP-ku yang ikut Ujian Nasional.

Krincing.... Krincing.... Krincing....

Terdengar seperti kalung kucing, tapi, yah, bukan kalung kucing.

Aku mengangkat pergelangan tanganku saat mendengar bunyi itu berasal dari sana dan kulihat gelang pemberian Ninik siang tadi, sepulang sekolah. Katanya, jangan sampai hilang. Kalau Hilang pertemanan kami akan bubar. Aku tahu soal ancaman itu hanya bercandaan, tapi tak ada salahnya untuk menjaga gelang ini demi Ninik.

Ini bermanfaat. Aku tadi menjadi pengacau saat uji kemampuan. Bunyi krincing-nya terus mengganggu. Aku bahkan ditegur oleh tentor karena mengganggu yang lain saat uji kemampuan bahasa Inggris di pertemuan terakhir ini.

Aku menghela napas saat memandang ke jalanan. Ini sudah lewat pukul 9.30 malam. Ojol yang aku pesan belum juga muncul. Sementara daya baterai ponselku sudah tinggal 1%. Bagaimana kalau ojolnya menelepon? Aku bersandar pada dinding kemudian kulihat seseorang dengan seragam hijau ojek online.

Motor beat itu berhenti di parkiran. "Vera, ya?"

Aku mengangguk, lantas berlari ke arahnya. "Iya, Pak." Dia memberikanku helm. Aku menerimanya kemudian naik ke motor. Motor itu melaju kencang. Aku memegang erat bagian belakang motor dengan jantung berdegup tak keruan.

Ingin teriak bilang hati-hati, tapi aku tidak enak untuk mengatakan itu. Alhasil, aku hanya diam sembari menghirup polusi yang mau tak mau aku hirup.

Motor itu memelan kemudian berhenti di dekat sebuah lorong, padahal rumahku masih jauh. Aku hanya diam di jok belakang saat Bapak ini mematikan mesin motornya tanpa mengatakan apa-apa. Kudengar Bapak ini menerima telepon dengan posisi yang juga masih duduk di motor.

Bapak itu tampak panik saat menoleh ke belakang, menatapku.

"Anu, aduh...." Bapak itu terlihat khawatir. "Istri saya masuk rumah sakit, mau melahirkan. Dia butuh saya sekarang...."

"A—ah?" Aku mengerjap. Otakku mulai berpikir apa maksud dari pembicaraan ini. "Ah, Pak. Nggak apa-apa. Saya bisa cari ojol lagi." Aku segera turun dari motornya dan mengembalikan helmnya.

"Maaf banget. Maaf...." Bapak itu menempelkan kedua tangannya. Saat aku mengambil uang di dalam tas, Bapak itu langsung menyahut. "Nggak usah, Nak. Nggak usah."

"Ah, nggak apa-apa." Aku mendorong tanganku, tetapi Bapak ini kembali menolak dan segera menyalakan mesinnya.

"Kalau begitu, saya permisi, ya. Maaf sekali lagi."

"Nggak apa-apa, Pak! Semoga istri Bapak lancar lahiran!" Aku tersenyum semringah. Bapak itu segera menjalankan motornya dengan laju kencang. "Hati-hati, Pak!" teriakku meski Bapak itu tak akan mendengarnya. Aku memasukkan kembali uangku dan segera memesan ojek online, tetapi ponselku sudah tidak bisa menyala.

RASANYA INGIN TERIAK KENCANG-KENCANG, TAHU!

Aku menoleh ke kiri, ke depan, kemudian ke kanan. Lalu aku menghela napas panjang. Aku tidak begitu tahu jalan besar ini. Rumahku pun masih jauh. Aku terus berjalan kaki hingga sebuah ide terlintas di benakku.

Jalan pintas!

Aku tahu jalan pintas, ya, jika aku masih ingat. Aku berlari kecil mencari jalanan kecil—sebuah gang—yang bisa aku lewati agar aku tak perlu memesan ojol lagi. Sepertinya juga akan menyenangkan jika sekali-kali aku jalan kaki di malam hari.

Sebelum aku masuk ke jalan pintas ini, aku melihat sekumpulan laki-laki berpakaian seperti preman. Mereka terlihat mengerikan. Tato di sekujur tubuh. Rambut gondrong tak terawat. Tubuh tinggi berisi, ada yang berotot ada yang penuh lemak. Ada juga yang kurus kerempeng. Aku diam-diam memperhatikan apa yang mereka lakukan karena penasaran. Mungkin, sedang bermain judi dan mabuk? Ada botol-botol minuman. Entahlah. Mungkin itu hanya minuman biasa seperti soda.

Aku masih memperhatikan karena penasaran seperti apa keseharian preman-preman jalanan. Namun, mataku langsung membelalak saat satu dari mereka menatapku. Aku langsung berlari dengan panik dan tubuh gemetar saat melihat preman itu menatapku dengan senyum menyeramkannya.

Aku melewati jalanan sempit ini agak takut. Gelap. Jantungku yang tadinya berdegup kencang karena ketakutan melihat salah satu dari preman itu, kini perlahan tenang. Jaraknya sudah lumayan jauh. Saat aku tiba di jalan utama, aku merasakan pergelangan tanganku terasa ringan. Aku menggerakkannya perlahan.

Ke mana suara krincing krincing itu?

Saat kuangkat tangan, aku melihat gelang itu tidak ada. Hilang. Aku menganga dan segera mencari gelang itu di sekitarku.

Tidak ada.

Aku memutar arah dan mengambil ponselku untuk menyalakan senter ponsel.

"Ah, HP gue kan mati!" Aku bergumam, terdengar putus asa. "Gimana ini?" Dengan kesal, aku berjalan menunduk. Memperhatikan dan mengingat jalan yang aku lalui tadi.

Hingga tanpa sadar, kedua kakiku sudah memasuki jalan sempit itu lagi. Aku berhenti saat mendengar suara seseorang yang menyebut anjing berkali-kali. Juga bangs*t bahkan brengs*k. Dan kata-kata kasar lainnya.

Lututku lemas saat aku menatap ke dalam sana. Dua orang sedang berkelahi. Hanya satu wajah yang bisa aku lihat walaupun tidak begitu jelas karena satu orang lainnya sedang membelakangiku di gelapnya jalan sempit ini.

Wajah yang bisa kulihat itu adalah preman tadi, yang juga terus mengeluarkan kata-kata kasar dari mulutnya karena kesakitan.

Dia sedang dihajar habis-habisan oleh seseorang.

**


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang