29

80K 9.3K 648
                                    


Telunjukku naik, mendorong dada Kak Malvin dengan pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Telunjukku naik, mendorong dada Kak Malvin dengan pelan. "Jauh-jauh sana!" seruku dengan suara yang nyaris tak ada.

Kak Malvin masih di tempatnya dengan senyum yang sama. "Gimana kalau tubuh gue masih seneng dengan posisi kayak gini?"

Aku menarik telunjukku dan mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh.

"Eh, eh, kok nangis?" Aku bisa mendengar kepanikan dari suara Kak Malvin. Kemudian, dia menjaga jarak dua langkah dari hadapanku.

Aku menangis makin terisak saat Kak Malvin menegurku yang menangis. Semua karena cowok di depanku ini yang sejak tadi mengintimidasi. Padahal, apa salahnya aku bertanya soal cowok kelima? Apa harus dibayar dengan berperilaku yang menyebalkan seperti tadi? Aku menghapus air mata di pipiku dengan punggung tangan.

"Eh, udah, dong. Entar ada yang lihat," kata Kak Malvin saat aku melihatnya. Dia mengusap kepala bagian belakangnya dengan tampang panik.

Aku menunduk dan lebih baik memandang sepatuku di bawah sana. Harusnya aku sudah pergi dari hadapan Kak Malvin, tapi entah kenapa rasanya tak rela jika waktu dan tenagaku terbuang sia-sia tanpa mendapatkan informasi mengenai cowok kelima. Apakah Kak Sean atau cowok lain? Aku bahkan sudah menangis di hadapan Kak Malvin. Dasar Vera cengeng.

Aku terdiam saat merasakan kepalaku ditepuk pelan sebanyak tiga kali. Saat aku mengangkat wajah, senyum Kak Malvin yang pertama kali aku lihat. Dia menaikkan alisnya.

"Udah selesai, kan? Nggak perlu nangis lagi, kan?" tanyanya. Aku mengangguk kikuk. "Jadi, gimana? Penawaran itu masih berlaku?"

Aku mengernyit heran. "Penawaran apa, ya?"

"Informasi cowok kelima. Jadi pacar gue dan lo dapat info atau sebaliknya?"

Kak Malvin mundur selangkah, kemudian dia berbalik dan menggapai ranting pohon. Dia naik ke atas untuk duduk. Saat pohon itu bergoyang, aku melihat netbook di atas sana terjatuh.

"JATUH!" Aku menutup mulut. Mataku membelalak terkejut melihat netbook itu hampir saja menghantam akar-akar pohon di bawah sana jika Kak Malvin tidak dengan sigap menangkapnya.

"Hah. Hampir aja." Kak Malvin memeluk netbook­-nya dan menatapku. "Dia pacar pertama gue."

"Dia?" Aku menatapnya bingung dan menatap sekeliling untuk mencari sosok cewek.

"Ini. Pacar gue. Udah enam tahun," kata Kak Malvin saat pandanganku kembali bertemu dengannya dan kulihat dia mengangkat netbook-nya. "Namanya Nenet."

Aku masih tak bisa mencerna perkataannya dan kembali menatap sekeliling. "Nenet? Mana?"

"Nggak bisa lihat? Nih." Kak Malvin kembali memeluk netbook-nya dengan seringai lebar.

"Netbook itu?" tanyaku. "Pacar...?"

Kak Malvin menatapku. "Di dalam sini banyak pemandangan yang jadi kesenengan cowok-cowok. Pasi lo ngerti, kan? Ah, pasti lo nggak ngerti. Lo masih polos."

Aku menatapnya tak mengerti. "Maksud lo?"

"Umur lo berapa?"

"15 tahun," gumamku dan aku yakin Kak Malvin masih mendengarnya.

"15? Woah. Butuh 2 tahun lagi untuk ngerti," balasannya membuatku bergidik. Dua tahun lagi berarti 17 tahun? 17 tahun bukannya identik dengan pendewasaan diri? "Jadi, gimana? Bersedia jadi pacar kedua gue?"

Aku membelalak. "Nggak, ya! Aku cuma mau tahu siapa cowok kelima itu dengan pasti. Kalau nggak mau jawab nggak usah. Makasih." Aku baru saja melangkah dan mendengar suara Kak Malvin.

"Gue bercanda."

Perkataannya berhasil menghentikan langkahku. Kutatap wajahnya dari bawah. Kak Malvin mengulum senyum.

"Lagian, cowok mana sih yang tiba-tiba ngajakin pacaran padahal baru sekali ah baru dua kali ketemu? Ngajakin pacaran atau main-main, doang?"

Aku mengerling. "Ya, itu kan tujuan lo? Ah, tujuan kalian! Menjadi pemain di Game Over dan ngejadiin gue sebagai target permainan aneh kalian. Bilang aja lo sengaja minta gue jadi pacar lo karena itu sebuah taktik, kan? Sengaja bikin gue baper supaya lo bisa selangkah lebih maju dari pemain yang lain? Nggak akan, ya! Aku nggak mudah baper!" Aku tanpa sadar berkata penuh emosi.

Kak Malvin menatapku dengan wajah datar. Kemudian perlahan dia menarik otot-otot di bibirnya, lalu tertawa kencang.

"Apanya yang lucu dari kata-kata gue?" tanyaku antara kesal dan malu.

Tawa Kak Malvin mereda. Dia menyandarkan punggungnya pada batang pohon. "Kata-kata lo nggak ada yang lucu. Lo aja yang lucu."

Aku terpaku di tempat.

"Gue tebak, lo tahunya permainan berhenti kalau salah satu dari kami berhasil jadi cowok lo, ya, kan?" tanya Kak Malvin dengan seringai yang mirip saat kali pertama kami bertemu di tempat ini. "Atau permainan berhenti kalau di antara kami menyerah buat mendapatkan lo. Benar begitu, Vera Harmonita?"

Aku diam. Tak ingin mengatakan apa-apa karena semua yang dia katakan memang begitu lah yang aku tahu.

"Sayangnya...." Kak Malvin lagi-lagi menyeringai. "Lo dan cewek-cewek lain itu nggak tahu apa-apa soal permainan ini."

Aku takut.

"Karena yang tahu hanyalah Geng Rahasia. Cuma kami," tambahnya.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang