40

82.8K 10K 3K
                                    

Aku pengin ngasih tantangan untuk sekali ini aja.

Kalau komentar part 40 bisa sampai 2.000 sebelum tanggal 14 (tanpa next, lanjut, dan sejenisnya), aku bakal update part 41 di tanggal 13.

Kebanyakan? Sengaja *MeletAlaAira* Sekalian ngetes, apa pada bisa sampai tantangan di tulisan yang partnya sependek ini?

Kalau nggak bisa, sampai ketemu minggu depan!

Ingat ya, sebelum tanggal 14. Selamat berjuang! :D

___

Aku berjalan tergesa-gesa menuju perpustakaan.

Pikiranku sedang kacau akibat perkataan Kak Erlang tadi. Sepanjang makan, aku lebih banyak melamun saat mengunyah dan membuat yang lain keheranan.

Banyak hal yang tidak aku mengerti. Semuanya masih abu-abu. Perjuangan? Perjuangan apa? Bukankah tantangan biasanya adalah sesuatu yang berhubungan dengan taruhan? Lalu perjuangan? Mungkin kah itu ada hubungannya dengan perasaan yang tulus?

Apakah Kak Erlang mengatakan untuk dirinya sendiri atau untuk semua pemain?

Jika untuk semua pemain, maka Kak Sean juga ikut dalam perjuangan yang Kak Erlang maksud?

Memperjuangkanku?

Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak ingin berpikir terlalu jauh ke sana. Tidak disaat kondisi seperti ini. Tidak disaat aku sudah menyadari permainan itu dan tahu sedikit meski tak sepenuhnya yang aku tahu adalah kebenaran, seperti yang dikatakan Ninik maupun Widya saat membahas aturan Game Over. Aku masih mengingat jelas perkataan Kak Malvin bahwa tak ada yang tahu apa-apa mengenai Game Over ini selain Geng Rahasia itu sendiri.

Aku tak bisa membedakan mana alarm bahaya yang akan terjadi dan mana sesuatu hal yang akan membuatku bahagia.

"Nikmati aja permainan ini. Jangan anggap ancaman seperti target-target sebelumnya."

Kalimat Kak Erlang terngiang, seolah pikiranku sedang menyuruhku untuk tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Tapi, aku tidak akan setuju untuk menikmati permainan ini.

Harusnya, aku tak perlu menganggap bahwa permainan ini ada.

Aku berhenti di ambang pintu dan memandang penjuru perpustakaan. Sosok yang kucari sedang duduk di sebuah kursi paling sudut, dekat dengan rak. Aku menghampirinya, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Meja yang memisahkan kami jaraknya bahkan hampir dua meter.

Terlalu jauh untuk bisa melihatnya dari dekat.

"Lo telat tiga menit," kata Kak Sean saat aku baru ingin bertanya.

"Cuma tiga menit." Aku cemberut. Kak Sean tak mengatakan apa-apa lagi. "Kak?"

"Hm?"

"Ngapain nyuruh gue ke sini?" tanyaku harap-harap cemas.

Mana tahu Kak Sean pengin nembak.

"Nggak," balas Kak Sean pendek.

"Nggak?"

"Duduk aja di situ."

"Buat apa, Kak?"

Kak Sean menjauhkan bukunya dan menatapku sebentar. "Duduk aja. Kalau mau baca buku tinggal ambil."

Duduk saja? Lalu untuk apa menghabiskan waktu di sini tanpa melakukan apa pun?

Kelebihannya, aku jadi bisa menatap Kak Sean lama-lama.

Oke, duduk saja. Tak perlu melakukan apa-apa selain duduk, kan? Aku sedang tidak niat untuk membuka buku.

Aku cemberut melihat Kak Sean kembali membaca seolah tak menghiraukanku di sini.

Ah! Aku tidak tahan! Aku harus memancing Kak Sean untuk membahas Game Over. Kak Erlang, Kak Malvin, bahkan Elon sudah membahas Game Over terang-terangan. Aku ingin mendengarkan dari sisi Kak Sean.

"Kak?" panggilku.

"Hm?"

Aku diam sejenak. "Soal jadwal. Jadwal kita kapan aja?" Ternyata, aku tak berani bertanya. Vera!!!

Kak Sean masih memilih membaca buku di depannya dibanding melihatku. "Nggak ada jadwal."

"Kok?"

"Belajarnya semau lo dan sebisa gue." Kak Sean menutup bukunya dan menatapku.

"Kalau tiap hari gimana?" Aku refleks menutup mulut.

Astaga Vera! Ini adalah permintaan dari alam bawah sadarku. Aku ingin menyembunyikan wajah di mana?

"Lebih bagus lagi." Kak Sean menatapku dan membuatku salah tingkah. Aku memalingkan wajah dengan perasaan malu.

Oke, duduk saja dan diam. Tak perlu mengatakan apa-apa.

Baru saja aku memikirkan itu, bel berbunyi nyaring. Membuatku menyesal karena waktu cepat berlalu. Kak Sean berdiri menuju ke rak dan menyimpan buku yang dibacanya. Aku terus memperhatikan Kak Sean hingga Kak Sean berbalik ke arahku.

"Mau balik ke kelas, kan?" Kak Sean berhenti di sampingku. Aku yang masih duduk hanya bisa menyengir. Tak tahu harus membalas apa.

"Iya...." Aku akhirnya ikut berdiri dan pergi dari perpustakaan ini.

Yang membuatku bingung adalah Kak Sean masih terus berjalan di sampingku saat seharusnya dia berbelok ke koridor lain menuju kelasnya.

Aku meliriknya diam-diam kemudian kembali menatap ke depan sambil berdeham karena salah tingkah. Sepertinya, aku dan Kak Sean sedang menjadi pusat perhatian.

Setibanya di depan kelasku, Kak Sean berhenti. Aku memainkan jariku sambil mendongak ke arahnya.

"Pulang sekolah, gue tunggu di parkiran, ya?"

Kak Sean kemudian pergi setelah aku mengangguk kaku. Tak perlu tanya perasaanku seperti apa. Aku rasanya sedang melayang-layang. Aku masuk ke kelas dan bersiap-siap dicecar berbagai pertanyaan oleh Ninik dan Widya. Mereka terlihat mulai akan melancarkan aksi keponya.

Namun, sebelum aku duduk di bangku, satu hal yang tiba-tiba terpikirkan.

Kak Sean tahu nomorku?

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang