38

80.7K 10K 1.2K
                                    

___

Aku meneguk ludah.

Pikiranku tak fokus.

Dan aku tak yakin kalau Kak Sean mengira aku masih di bumi.

Aku bertopang dagu dan mencuri-curi waktu untuk tersenyum disaat dia bicara saat tak melihatku.

Kak Sean mengangkat wajahnya, membuatku langsung melipat kedua tangan di meja dan memasang tampang serius.

"Gimana? Udah mulai paham cara penyebutannya?"

Aku mengerjap dan perlahan mengangguk kaku.

Paham gimana? Dari tadi seriusnya ke wajah lo, Kak.

Kak Sean mengangkat satu alisnya dengan tatapan serius.

Mati gue mati.

"Beneran udah paham?"

Aku menggeleng panik. Kutebak, pasti Kak Sean akan mengetesku jika aku menjawab iya.

Kak Sean menutup buku di tangannya lalu menatapku. Dia mulai menuntunku untuk mengucapkan apa yang dia ucapkan.

Double kill!

Aku tak bisa memfokuskan diri. Aku berusaha fokus dengan bibirnya dengan niat supaya aku tahu bagaimana cara bibirnya bergerak, tapi apa? Yang ada aku membayangkan hal yang aneh-aneh.

Tanpa sadar aku menepuk-nepuk pipi.

"Kenapa?" Kak Sean kembali menaikkan alisnya.

Aku menggeleng berkali-kali sambil cengengesan. Aku lalu fokus ke matanya, tapi yang ada jantungku rasanya jadi mengkerut. Jadi, selama Kak Sean menatapku, pandanganku mengarah ke lain atau menutup mata pura-pura mencoba untuk memahami setiap perkataannya.

Setelah Kak Sean cukup berhasil membuatku mengerti, dia mengambil buku di meja itu lagi.

"Itu permulaan." Kak Sean beralih dari halaman buku itu untuk memandangku. "Sambil pelajari grammar, nanti gue kasih komik-komik bahasa Inggris. Terus harus lo baca di waktu senggang buat nambah kosa kata."

"Gue ... kan nggak ngerti." Aku memainkan jemariku. "Pusing tahu. Pengin nangis buka kamus tiap baca satu kata."

"Ya udah." Kak Sean berpaling kembali ke bukunya. "Nanti baca komiknya bareng gue aja."

Tutor rasa pacar ini, mah!

Aku menyembunyikan rasa senangku dan segera menormalkan ekspresi ketika Kak Sean menatapku lagi.

"Terus, sesekali kita berdua perlu nonton film berbahasa Inggris," katanya.

Aaa mau banget!

"O... oke," balasku dengan senyuman antara senang dan malu. Saat Kak Sean mengalihkan pandangan dariku, wajahku langsung tak bisa terkontrol. Bibirku tertarik lebar dan kedua tanganku saling bertautan di bawah meja.

Membayangkan bagaimana serunya momen-momen yang akan datang itu!

Nggak sabar banget ya ampun.

PLETAK

"Aw! Iiih!" Aku memegang kepalaku dan melihat sebuah bola kertas baru saja jatuh ke lantai. "Siapa yang ngelem—par?" Ucapanku berhenti saat melihat Aira berdiri melipat kedua tangannya di teras.

Aku sudah siap untuk mencaci makinya, tetapi Kak Sean mendahuluiku bicara. "Ngapain kamu?"

Aira menghentakkan kakinya ke lantai. "Kak Sean ngajarin Kak Vera, tapi giliran aku yang selalu minta nggak pernah diajarin. Kan sebel!" Dia merajuk seperti anak kecil.

Memang bocah, kan?

Aku memandangnya sebal. Bukannya hari itu dia sudah rela memberikan nomor Kak Sean demi nomor Doni? Sekarang wujudnya kembali ke aslinya.

Aira menatapku sebal. Aku memeletkan lidah ke arahnya sebagai bentuk kemenanganku dan sengaja kujulingkan mata. Dia melotot dan ikut menjulurkan lidahnya ke arahku sambil ikut-ikut menjulingkan matanya.

"Siapa yang ngajarin kayak gitu?" tanya Kak Sean, tegas.

Aku langsung merapatkan bibir. Saat Aira menunjukku, aku melotot.

"Tuh! Cewek genit itu, tuh." Dia menunjukku dengan dagunya.

"Eh!" Aku membelalak kaget. Dia mengataiku cewek genit di depan Kak Sean? "Kurang ajar lo, ya!" kataku tanpa suara. Aira hanya memutar bola matanya.

"Tidur. Udah malam," kata Kak Sean.

Aku menatap Aira penuh kemenangan.

"Nggak mau pulang kalau Kak Sean juga nggak pulang." Aira memandangku sinis. Aku membalasnya lebih sinis.

"Pulang," kata Kak Sean lagi.

"Nyebelin, iiih." Aira langsung berbalik pulang sambil menghentak-hentakkan kakinya menuju rumah. Aku hampir terbahak-bahak jika saja tak langsung melihat kalau Kak Sean sedang menatapku.

"Kita ... ngapain lagi?" kataku terbata.

Belum menjawab, Kak Sean melihat ke belakangku. Aku ikut menoleh dan melihat Doni. Perusuh yang satunya pergi. Perusuh yang lain datang. Aku menghela napas panjang.

Doni memakai headphone-nya dan duduk di kursi sembari memainkan ponsel di tangan. Dia pasti bermain game. Aku menatapnya bengis.

"Ngapain di situ? Pergi sana!" seruku.

"Emang ganggu, ya?" tanyanya tanpa berpaling dari ponsel.

"Ganggu!" bentakku dengan suara pelan.

"Aku kan cuma duduk di sini. Suara game-nya juga nggak kedengeran ke situ, kan?" Dia masih fokus dengan game. "Lagian Kak Sean dan Kak Vera cuma belajar doang, kan? Anggap aku nggak ada."

Aku mengembungkan pipi saat menatap Kak Sean kembali.

"Udah selesai juga, kok." Kak Sean berdiri dan keluar menuju teras tanpa mengatakan apa-apa. Aku mengikutinya dari belakang dan anak Mama-Papa yang satu itu diam-diam melirik kami di balik ponselnya yang horizontal. Aku memandang Doni penuh peringatan dan dia hanya memutar bola matanya saat kembali menatap layar.

Saat kembali menghadap ke depan, kulihat Kak Sean sudah berdiri menghadapku. Aku mematung saat dia menunduk dan mendekatkankan bibirnya ke telingaku.

"Sepertinya, adik lo dan adik gue nggak bakal setuju kalau suatu hari kita pacaran."

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang