15

96.2K 9.6K 407
                                    


Seseorang yang membelakangiku memakai jaket yang tulisan dan warnanya tidak terlihat jelas karena gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seseorang yang membelakangiku memakai jaket yang tulisan dan warnanya tidak terlihat jelas karena gelap. Sementara preman gondrong yang tubuhnya cungkring itu masih tergeletak di bawah, terus mengeluarkan kata-kata kasar dan berusaha melawan balik.

Siapa yang salah? Kenapa laki-laki berjaket itu terus memukuli si preman tadi tanpa ampun?

Aku segera menyingkir saat kulihat laki-laki itu mendorong si preman ke tanah dan menendangnya dengan keras hingga si preman berteriak kesakitan.

Tak ingin berlama-lama di sana, aku segera mengambil langkah seribu meninggalkan area itu tanpa mencari gelang pemberian Ninik. Tidak hari ini. Aku akan ke sini besok subuh jika Doni mau menemaniku.

Aku berjalan di pinggir jalan dan entah sudah berapa menit aku terus melangkah. Aku berhenti sebentar di depan sebuah hotel dan duduk di tembok pendek. Kupandangi jalan dan kulihat ada kendaraan umum. Aku melihat taksi kemudian menghela napas panjang saat memikirkan sesuatu.

Kenapa baru terpikirkan? Aku bisa memesan taksi.

Aku langsung berdiri. Tanganku siap melambai ketika dari jauh aku melihat sebuah taksi, tapi saat itu juga seseorang berbicara di dekatku.

"Lo sendirian?" tanyanya, tepat di sampingku. Rautnya yang datar itu membuatku melongo.

Kak Sean....

Panik. Dengan jantung berdegup kencang, aku langsung pergi dari sana dan lari terbirit-birit seperti baru saja melihat setan.

Eh?

Aku berhenti melangkah.

Kenapa aku lari?

Aku menyesali kebodohanku. Apa Kak Sean akan berpikir aneh-aneh tentangku? Menganggapku cewek aneh, misalnya? Kenapa aku tidak berpikir bahwa Kak Sean juga mungkin sedang jalan kaki menuju rumahnya. Bisa jadi, kan?

Apa Kak Sean tahu aku? Tadi adalah ucapan pertamanya padaku dan aku yang belum sama sekali bicara di hadapannya. Aku kembali berjalan dengan gusar, meninggalkan Kak Sean yang mungkin masih jalan.

Apa aku perlu modus?

Seperti, memelankan langkah hingga dia bersisian denganku dan aku pura-pura tidak melihat Kak Sean sebelumnya? Apa dia akan mengajakku bicara lagi?

Aku senyum-senyum sendiri membayangkan akan bagaimana reaksi Kak Sean di sampingku nanti. Oke! Aku menoleh ke belakang dan melihat Kak Sean berada jauh di belakangku. Dia ternyata sedang memakai earphone dan dia semakin tampan dengan celana jeans dan kaus oblong yang dikenakannya! Aku kembali berjalan dengan langkah pelan-pelan. Langkah Kak Sean yang lebih lebar sudah pasti akan bisa menjangkau langkahku yang pendek dan lebih pelan dari biasanya ini.

Sampai saat itu tiba, aku merasakan seseorang berjalan di sampingku, lalu hampir melewatiku jika aku tidak segera membawa langkahku seperti biasanya.

Anehnya, aku merasakan Kak Sean melangkah sama pelannya denganku. Tidak seperti langkahnya yang aku perhatikan beberapa waktu lalu.

Apa Kak Sean sengaja menyamakan langkahnya denganku? Aku rasanya ingin terbang membayangkan jika saja dugaanku benar. Aku terlalu senang sampai-sampai otot pipiku lelah tersenyum.

"Lo dari mana?"

Jantungku kembali berdetak kencang saat mendengar suara beratnya. Aku melirik Kak Sean, tetapi Kak Sean hanya menatap ke jalanan di depannya.

"Dari les," jawabku dengan suara pelan.

Apa ini? Aku rasanya ingin mengambil ponselku dan menceritakan kepada Ninik di whatsapp bahwa aku sedang jalan bersama Kak Sean.

Jalan biasa. Bukan dalam artian yang mengarah ke kencan. Setidaknya, aku dan Kak Sean sedang jalan.

Krincing ... krincing ... krincing.

Aku berhenti. "Kayak suara gelang itu," gumamku saat menoleh. Mataku jelalatan mencari keberadaan benda pink. Pandanganku berhenti di sesuatu yang berkilauan. Aku melangkah satu kali, berjongkok, dan menarik gelang itu hingga terdengar suara khasnya.

Benar. Ini gelang dari Ninik. Tapi, kok....?

Aku langsung berdiri dan kulihat Kak Sean tidak begitu jauh dariku. Aku langsung mengejarnya dan berhenti di sampingnya sambil menjaga jarak—ehm—sedikit—banyak—. Kupeluk erat gelang ini. Berbagai pertanyaan bersarang di benakku. Dari mana asalnya? Bukannya tadi masih ada di pergelangan tanganku dan aku sadar kehilangan benda ini saat keluar dari gang sempit? Bukannya posisi gang itu jauh dari tempat benda ini aku temukan? Ah, kenapa semuanya jadi memusingkan, sih?

Aku menatap Kak Sean dengan pandangan curiga, lalu aku menggeleng kencang.

Mustahil. Tidak mungkin. Tidak masuk akal. Juga berbagai kata-kata yang mengarah ketidakmustahilan. Ya, mustahil Kak Sean yang melakukannya.

Tapi, tetap saja aneh. Kenapa aku jadi merasa horor begini. Ninik tidak menyimpan jin di dalam gelang ini, kan?

Oke, lupakan soal gelang ini dulu. Sejak tadi, di antara aku dan Kak Sean tidak ada yang bicara lagi. Aku diam-diam menatap Kak Sean yang sepertinya asyik dengan musik yang dia dengarkan. Aku kembali menatap ke depan dengan senyum merekah. Jangan lupakan jantungku yang sejak tadi memompa darah dengan begitu cepat.

Ini bukan mimpi.

Benar-benar bukan mimpi.

AAAAAAAA.

Ngomong-ngomong, aku masih tak percaya Kak Sean mengajakku bicara. Aku juga sampai tak sadar rumahku dan rumah Kak Sean sudah dekat. Saat Kak Sean berjalan ke depan pagar rumahnya, aku langsung menghampirinya dengan senyum merekah. Akibat terlalu senang. Rasa senangku mengalahkan rasa gengsi untuk menghampirinya.

"Makasih ya, Kak!" ujarku malu-malu saat menatap Kak Sean yang sedang memegang pagar.

Kak Sean menoleh ke arahku dengan alis terangkat. "Makasih buat?"

Aku berusaha menahan untuk tidak salah tingkah. Namun, gagal saat aku menjatuhkan gelang dengan tak sengaja. Aku mengambilnya dan gelang itu jatuh lagi dengan santainya. Aku menatap Kak Sean lagi, menahan malu. Aku tidak tahu selebar apa cengiranku di depan Kak Sean.

Aku tidak kelihatan jelek, kan?

"Karena udah anterin gue ... sampai di rumah," kataku. Dalam hati terus-terusan mengucap kalimat, 'Tetap terlihat cool, Vera!'

"Oh?" Kak Sean masih memasang tampang datarnya yang membuatku tak sanggup melihatnya lama-lama. "Gue nggak niat, tuh. Rumah kita cuma kebetulan berhadapan."

Setelah mengatakan kalimat itu, Kak Sean membuka pagar dan aku tidak fokus setelah itu. Aku hanya mendengar suara pintu dibuka, lalu ditutup. Aku juga mendengar suara jantung seseorang yang baru saja jatuh.

Nggak niat, katanya.

Rumah kita CUMA kebetulan berhadapan.

Kuingin menangis.

Aku menuju rumah sambil berlari. Kubuka pintu yang untungnya tidak terkunci, lalu aku bersandar di pintu itu sambil menutup wajahku yang sudah sangat malu. Aku membenturkan kepala di pintu dengan pelan. Berkali-kali.

"Bego!" Aku menghentakkan kaki dengan penuh kekesalan. "Kenapa harus ngomong, sih? Harusnya gue nggak perlu ngomong! Ish! Ish!"

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang