44

83.2K 9.4K 1.4K
                                    

#TimMalvin jangan sedih ya. Dia lagi teralihkan oleh sesuatu

#piss

Mau target-targetan lagi? Tunggu aja

___

Aku tak pernah bertemu lagi dengan Kak Sean setelah kejadian malam itu. Aku juga tak pernah mendengar suara motor Kak Sean yang sangat aku kenali setiap pagi. Kak Sean juga tak pernah menghubungiku untuk membahas kapan aku les lagi. Sementara pesan yang malam itu aku kirim belum dia baca sama sekali. Hanya centang satu. Aku mengirimkan sebuah pesan.

Kapan kita bisa belajar lagi, Kak?

Apa Kak Sean sangat sibuk? Sisca bilang anggota paskib sedang sibuk-sibuknya melatih anggota baru persiapan 17 Agustus. Aku tidak berani meneleponnya atau mampir ke rumah Kak Sean dan menyuruhnya untuk mengajarku saat itu juga.

Di kantin? Aku tak pernah melihat Kak Sean lagi.

"Atau gini, mending lo ke kelasnya aja. Kalau lo takut senior cewek bakalan ngelihatin, bukannya itu hal yang bagus nggak, sih? Mereka pasti mikir jangan-jangan lo ada hubungan apa-apa sama Kak Sean." Widya berusaha membujukku.

Aku masih nyaman menumpukan pipiku di atas meja. "Nanti kalau gue dicuekin gimana?"

"Ya, coba aja deh dulu," balas Widya. Aku hanya bisa menghela napas dan kembali membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Akan tetapi, jika aku masih terus-terusan diam seperti ini apakah akan menyelesaikan masalah?

"Vera! Sini, deh!" teriak Ninik dari luar kelas.

Aku mengangkat wajah dan melihat Ninik dengan malas. Ninik mendekat dan menarikku sekuat tenaga. "Lo bakalan nyesel kalau nggak lihat ini."

Dia berhasil membuatku berdiri dan menarikku keluar dari kelas. "Apa, sih?"

"Kak Sean! Kak Sean lagi bareng anaknya Pak KepSek. Anaknya Pak Kepala dari sekolah Inter dan dari tadi tuh orang-orang pada ngegosip kalau cewek itu bentar lagi bisa jadi ceweknya Kak Sean!"

"Kok bisaaa?" Aku berjalan tergesa-gesa. "Di mana, Nik?"

Widya berjalan di belakangku dan aku memegang tangan Ninik, mengikuti ke mana dia akan menuntunku. Aku berjalan semakin pelan ketika dua objek yang kami tuju sudah terlihat di depan mata. Kulihat Kak Sean dari arah belakang sedang berjalan dengan seorang siswi di sampingnya. Dari seragam yang siswi itu pakai, sudah dapat dipastikan bahwa dia bukan siswi STARA.

Siapa dia? Kak Sean memang terlihat menghindar, tetapi cewek itu membuatku kesal karena dia dengan beraninya menggandeng tangan Kak Sean. Aku menghentakkan kaki melihat Kak Sean malah tidak menepis lengan cewek ganjen itu.

"Itu siapa, sih?" tanya Widya. Ninik menggerutu tak jelas di sampingku. Kuyakin mereka juga ikut kesal dan cewek mana pun akan kesal melihat tingkah siswi dari sekolah lain itu. Kak Sean tidak mungkin punya pacar! Aku berani bertaruh apa pun itu. Kalau Kak Sean sudah punya pacar, aku yakin Aira akan menjadikan fakta itu untuk mengejekku habis-habisan.

Kecuali, kalau Kak Sean diam-diam punya pacar.

Deg. Rasanya ada yang hancur. Aku menggeleng-geleng. Tidak mungkin. Lihat saja Kak Sean tadi berusaha menghindar, tapi kenapa sekarang Kak Sean membiarkan tangan cewek itu memeluk lengannya.

Aku cemberut memperhatikan semuanya dan tak berani ke sana. Aku berjanji setelah ini aku akan berusaha untuk mendekati Kak Sean.

Akhirnya, Kak Sean bisa lepas dari cewek itu. Aku menggerutu sebal melihat cewek itu melambai sambil tersenyum kepada Kak Sean. Kak Sean berjalan ke arah lain dan aku yakin dia tak sempat melihatku.

Ah, disaat sudah melihatnya begini, kesempatan untuk bicara dengan Kak Sean malah tidak terwujudkan.

Aku menatap cewek itu dan terkejut melihat siapa dia.

"Barbara?" gumamku.

"Lo kenal?" tanya Widya dan Ninik bersamaan. Aku hanya bisa terpaku ketika Barbara—cewek yang tidak aku sangka-sangka—balik menatapku. Dia juga terkejut. Senyumnya tadi sudah tergantikan oleh tatapan meremehkan yang selalu dia berikan kepadaku.

Dia mendekatiku dan sialnya, aku tak akan mungkin ke mana-mana jika tidak ingin dikatainya sebagai pecundang.

Barbara melipat kedua tangannya di dada. "Hai? Babu? Lama nggak ketemu."

Kuyakin, Widya dan Ninik sangat terkejut mendengar sapaan itu. Aku hanya bisa mendengkus. Siapa aku? Aku memang pernah menjadi babu-nya saat SMP, tetapi aku bukan Vera yang dulu.

"Waw. Nggak nyangka gue. Lo sekolah di sini?" tanyanya. "Gue dapat fakta baru nggak, nih? Jangan-jangan lo suka Kak Sean juga? Udah gue tebak sejak dulu lo emang udah suka sama Kak Sean. Apa jangan-jangan lo ngikutin Kak Sean di sekolah ini? Segitu amat, ya?"

Kalau iya kenapa? "Enggak, kok." Aku menggeleng-geleng dengan bibir cemberut.

"Ini siapa sih songong banget!" Widya berbisik.

"Susah percaya sih sama omongan lo. Ya, Kak Sean semenarik itu dari dulu." Barbara berdecak. "Tapi, bagus sih kalau lo nggak suka Kak Sean. Ya, secara lo dan Kak Sean udah beda jauh."

Aku menatap Barbara sebal. Ngomong aja panjang lebar sampai bibir lo monyong. Puas-puasin, gih, batinku. Aku kesal.

"Sebenarnya, gue pengin sekolah di sini, ya. Cuma, Bokap gue maunya gue sekolah di SMA Internasional."

Ya, bodo amat.

"Oh, ya hampir lupa." Barbara semakin mendekat, membuatku hanya bisa menghela napas. Apa yang anak ini mau dariku? Apa dia belum puas menjadikanku babunya saat masih SMP?

"Denger-denger lo target permainan itu, ya?" Barbara menatapku seolah-olah aku ini tak pantas menjadi target Game Over. Widya menarik-narik tanganku dari belakang. Sementara Ninik terus berbisik, "Ayo balik sebelum gue dan cewek ini tarik-tarikan rambut."

"Gue nggak tahu. Permainan apa?" Aku tak ingin menjawab jujur karena akan lebih bahaya jika aku menjawab bahwa aku memang tahu.

"Denger-denger, sih, yang jadi target namanya Vera. Gue keinget nama lo meski sebenarnya gue rada nggak rela, ya? Haha."

Ninik menggeram. "Sumpah kesel banget. Pengin gue cakar," bisiknya.

Barbara menyipit ke arah Ninik dengan pandangan tak suka, kemudian dia menatapku lagi. "Oh, satu hal sebelum kita pergi. Gue cuma pengin peringatin lo dari sekarang. Kak Sean bentar lagi jadi cowok gue, jadi tolong lo jangan berusaha ganjen sama dia. Oke? Gue juga paling anti saingan sama cewek yang nggak selevel sama gue."

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Barbara mulai melangkah pergi, tetapi dia berbalik lagi dan menatapku. "Sama satu juga, gue tahu lo suka sama Kak Sean dari Aira. Denger-denger dari Aira, Aira nggak suka kalau lo yang jadi ceweknya Kak Sean, ya? Lo dan Aira malah sering berantem. Kok beda ya setiap kali gue ketemu Aira? Aslinya lucu. Dan malahan, Aira seneng kalau gue dan Kak Sean pacaran."

Sial. Aku seharusnya punya balasan untuk sekakmat semua perkataannya. Kenapa aku jadi diam seribu bahasa begini, sih?

"Kata Aira gue baik, sering bawain oleh-oleh tiap kami ketemu di luar. Aduh, ngomongin soal Kak Sean kayaknya nggak ada habisnya. Fyi, Kak Sean dan Aira beberapa kali jalan bareng gue dan kemarin Kak Sean juga habis jalan bareng gue, tuh. So, kalau lo ada niatan buat ngambil hatinya Kak Sean mending lo buang mimpi lo itu, deh."

Aku berbalik dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan Barbara. Aku tak sanggup mendengar semua perkataannya. Dia masih tetap akan bicara sebelum melihatku pergi seperti ini sambil menangis.

Apa ini? Kenapa dia menyebalkan sekali?

Aira juga menyebalkan!

Kak Sean yang paling menyebalkan!

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang