23

86K 9.6K 708
                                    


Aku masih merutuki kejadian siang tadi dan setelah kejadian tadi terulang di benakku, aku pasti akan mengingat kejadian yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku masih merutuki kejadian siang tadi dan setelah kejadian tadi terulang di benakku, aku pasti akan mengingat kejadian yang lalu. Kak Sean yang melihatku hanya mengenakan kemeja sekolah dan celana pendek sepaha. Kak Sean yang salah paham soal Elon. Kak Sean yang melihatku di dekat parkiran.

Aku menggigit ujung susu sachet, lalu menuangkannya ke pisang Mas yang sudah terbuka. Aku memakannya saat Papa berteriak dari depan.

"Vera, kamu jadi ke toko buku nggak?"

"Jadi, Pa!" balasku dengan teriakan. Aku menyimpan pisang itu di atas piring Doni. Dia menatapku kesal dan kubalas dengan uluran lidah dan menjulingkan mata.

Papa menungguku di atas motornya. Sebuah helm sudah terpasang di kepala Papa dan satu helm lain yang lebih kecil sedang dia pegang. Aku mengambil helm di tangan Papa kemudian naik ke atas motor. Motor ini melaju sedang hingga tiba di sebuah toko buku di tepi jalan. Aku segera turun dan membiarkan helmku di kepala.

"Di dalam ada kamus Bahasa Jerman, kok. Tanya-tanya aja sama Bapak di sana. Kata temen Papa ada." Aku mengangguk-angguk dan menyalami punggung tangan Papa. "Papa pergi dulu."

Aku melambai saat Papa meninggalkanku. Kusimpan helm di luar, lalu aku beranjak memasuki toko yang kelihatannya sudah lama dan buku-buku yang ada di rak paling atas kelihatan berdebu. Rak itu juga sampai menyentuh plafon. Lampu di sini tidak begitu terang dan mungkin hanya berapa watt saja. Aku bertanya-tanya ke seorang Bapak berkacamata, mungkin umurnya 60-an, yang sedang berdiri di dekat rak. Aku melihat-lihat meja lebar di depanku yang isinya berbagai buku.

Aku baru akan bertanya ke Bapak itu mengenai kamus, tetapi Bapak itu langsung melebarkan senyumnya. Bukan kepadaku dan sudah pasti ke orang lain. Seseorang yang baru saja datang.

"Halo, Nak Sean."

Aku hampir pingsan.

Oke, itu lebay. Tapi, sungguh. Kakiku, seluruh tubuhku tak bisa bekerja semestinya. Aku mematung.

"Buku yang kemarin, Pak?"

Aku meneguk ludah saat mendengar suara Kak Sean. Dia benar-benar Kak Sean-ku. Ehe.

"Ah, sudah ketemu!" teriak Bapak, antusias.

Aku memejamkan mata sesaat. Kenapa harus ketemu sekarang? Penampilanku sedang tidak enak dipandangi. Aku keluar dari rumah hanya mengenakan sandal swallow yang warna baru, sweter putih kusam kesayangan, dan celana tidur dengan gambar kepala Doraemon yang jumlahnya banyak. Jangan lupakan rambut terurai acak-acakan gara-gara angin saat di perjalanan tadi.

Aku melirik Kak Sean diam-diam dan melihatnya dari samping.

Tadinya hanya lirikan diam-diam. Sekarang tidak. Aku sedang memandanginya secara terang-terangan.

Wajah itu menoleh, menatapku. Aku tak bisa berkedip saat kepalaku terus mendongak menatap wajahnya. Seolah terkunci dan hanya fokus menatapnya. Kuperhatikan segala yang ada di sana. Hidungnya yang mancung. Bibirnya. Bulu mata. Alis tebal. Rambutnya yang acak-acakan. Dan rambut bagian depannya yang berjatuhan menutupi sebagian dahinya.

Baru kali ini aku memperhatikan Kak Sean sedekat ini.

"Sendirian?"

Aku tersentak kaget dan langsung mengalihkan tatapanku ke bawah. "I—iya...."

"Lagi cari apa?" tanya Kak Sean lagi, membuatku semakin gugup.

"Kamus Bahasa Jerman...."

"Oh."

Kak Sean beranjak ke dalam. Bapak itu lalu ke arahku dan aku langsung bertanya.

"Ada kamus Bahasa Jerman, Pak?" tanyaku.

"Oh, cari yang seperti apa atau terserah?" tanya Bapak itu. Aku menggaruk pelipisku.

"Coba aku yang lihat sendiri, Pak. Di mana?"

Bapak itu menuntunku berhenti di sebuah rak yang berisi kumpulan kamus. Jerman. Spanyol. Terutama Inggris. Aku mencari kamus Deutsh-Indonesien sambil mengingat kembali saran dari Bu Karin, guru Bahasa Jerman di kelasku.

Sejujurnya, aku masih shock karena tiba-tiba saja Kak Sean mengajakku bicara. Kurang beruntung apa lagi aku malam ini?

Dibanding langsung mencari kamus, aku lagi-lagi melirik Kak Sean. Kemudian, aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian sebelumnya. Kak Sean sekarang berdiri di sudut ruangan membuka lembaran sebuah buku yang entah apa.

Sebelum Papa kembali ke sini, aku harus cepat-cepat mendapatkan kamus yang aku cari. Meski aku masih tidak tenang karena Kak Sean berada di ruangan yang sama denganku.

Aku terpaku saat mendengar suara langkah. Catat. Hanya ada tiga orang di sini. Bapak itu, aku, dan Kak Sean. Sementara Bapak sedang naik di atas tangga menyusun buku-buku di rak.

Aku merasakan tenggorokanku kering saat merasakan bahwa benar Kak Sean-lah yang berdiri di sampingku sekarang.

Apa yang harus aku lakukan?

Kenyataannya, aku pura-pura sibuk dengan urusanku sendiri. Pikiranku tidak. Aku mengambil acak sebuah kamus Bahasa Jerman dan aku melihat tangan lain di sana, sedang memegang tanganku.

"Eh." Aku menarik tanganku cepat.

Oke, rileks.

Aku tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Yang kulihat selanjutnya adalah kamus kuning kecil yang ada di depan wajahku. Aku menoleh, lalu mendongak. Kak Sean baru saja menyodorkan kamus itu kepadaku.

"Nyari ini nggak?" tanya Kak Sean. "Ini yang biasanya dipakai sama Bu Karin dan disaranin ke siswa-siswinya."

Aku berusaha mengingat apa yang Bu Karin katakan hari itu. Kata Bu Karin, kamus itu kecil berwarna kuning. Kecilnya hanya segenggam. Aku memandangi kamus di tangan Kak Sean dan semua ciri-ciri itu ada di sana.

"Makasih." Aku mengambil kamus itu dari Kak Sean dengan malu. Tanpa berani menatap wajahnya.

Kak Sean tidak membalas. Aku harap-harap cemas. Saat aku baru akan beranjak untuk menanyakan harga, Kak Sean tiba-tiba saja bicara.

"Lo naik apa ke sini?"

Aku refleks menghentikan langkah dan menatap Kak Sean sepenuhnya. "Di antar Papa tadi," balasku gugup.

Ah, kenapa Kak Sean bertanya seperti itu? Pikiranku terus menduga-duga.

"Pulangnya?"

Oke, rileks. Rileks. Rileks.

"Belum tahu. Hehe." Sebenarnya, Papa sudah pasti akan menjemputku. Namun, aku berbohong sedikit karena mengingat Ninik dan Widya dan juga saran-saran mereka. Jantungku rasanya sudah akan jatuh. Aku memilin sweterku dan meremas kamus di tangan. Aku tidak boleh gede rasa—GR—seperti malam itu saat bersamanya.

"Oh," balas Kak Sean pada akhirnya. Aku mendesah kecewa. Cuma, 'Oh?'

Saat aku kembali ingin bertanya harga ke Bapak, Kak Sean tiba-tiba menatapku. Dia melangkah maju ke arahku. Dan aku tidak tahu kenapa aku malah melangkah mundur sambil menatapnya tanpa berkedip.

"Mau pulang bareng gue nggak?" tanyanya.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang