39

92.7K 9.9K 1K
                                    

___

Apakah itu pertanda?

Kalau Kak Sean juga menyukaiku?

Itu yang namanya kode keras, kan?

Aku menepuk-nepuk pipiku. "Nggak mau kegeeran. Nggak boleh kegeeran." Bibirku bergerak tanpa suara.

Aku masih tak bisa membayangkan bagaimana kira-kira ekspresiku setelah Kak Sean mengatakan kalimat itu. Kalimat yang mengundang Doni berdeham keras dan juga Aira yang tiba-tiba berteriak di dekat pagar rumahnya mengatakan, "Mama, Kak Sean mau nyium Kak Vera!"

Apa Aira tidak bisa berpikir positif? Jelas-jelas tadi malam Kak Sean hanya membisikkan sesuatu kepadaku. Tidak ada apa-apa setelah itu karena setelah berkata demikian, dia perlahan mundur dan wajahnya kembali ke mode asli.

Tatapan dinginnya selalu terlihat. Sudah menjadi ciri khas Kak Sean. Hanya satu kali dia memperlihatkan ekspresi yang tak biasa. Di toko buku itu. Aku pikir, seringai yang dia lemparkan padaku di malam pertama dia menawarkan diri untuk pulang dengannya hanya sebuah akting? Entahlah.

Atau, Kak Sean terlalu antusias dengan permainan itu?

Aku menggeleng-geleng.

"Oke. Jangan lupa tugas Matematika kumpul hari Senin pagi di meja saya," kata Bu Tresna, lalu keluar dari kelas. Aku langsung duduk terkulai lemas setelah semua menjawab aba-aba ketua kelas untuk mengucap terima kasih dan salam.

Aku memandang Ninik yang siap-siap menuju kantin. "Guys, gue belum cerita, ya? Kak Sean jadi tutor les private gue."

Seketika itu juga, dua orang yang paling antusias dengan kabar terbaru pemain-pemain Game Over segera mengerumuniku. Mereka sama-sama memasang senyum merekah penuh antusias.

"Gimana? Gimana? Jangan-jangan ada kejadian yang ngebuat lo dari pagi kadang cengengesan sendiri kadang tiba-tiba murung?" tanya Ninik.

"Ya gitu, deh," balasku pendek.

"Gimana ceritanya dia yang jadi tutor lo?" tanya Widya.

"Tanya nyokap gue, gih. Gue juga nggak mau! Kenapa? Nggak bisa fokus. Nggak sanggup gue." Aku memegang kepalaku sok terlihat menderita. "Semalam aja gue cuma banyak diem. Ditanya angguk-angguk, geleng-geleng, cengengesan kayak orang gila. Andaikan gue naroh CCTV, gue bisa nunjukin gimana muka gue sepanjang di depan dia."

Widya menjentikkan jarinya. "Ah, gue punya ide! Lo beneran nggak pinter bahasa Inggris, kan? Gimana kalau lo modusin Kak Sean dengan nanya, 'Kak, artinya I love you apa?'"

Aku memandangnya datar. "Wid, anak bayi juga tahu kali artinya I love you. Ngomong kayak gitu ke Kak Sean? Konyol banget. Nanti Kak Sean mikir, apa sih nih cewek satu. Nggak jelas."

Widya terbahak. "Lakuin aja! Lakuin! Pasti seru banget apa yang terjadi selanjutnya!"

"Nggak." Aku menatapnya bengis. Kami berempat segera keluar dari kelas.

Ninik mengangguk. "Widya bener, tuh. Kalau lo nggak mau didahuluin sama cewek lain, mending lo pepet cepat. Mumpung lo lagi beruntung-beruntungnya bisa deket sama Kak sean. Lo udah dikasih peluang besar! Giliran Kak Sean jauh ntar lo nyesel lagi. Pengin ngulang waktu dan blablabla penuh penyesalan."

Aku mengingat kembali ucapan Kak Sean semalam. Sebenarnya, kalimatnya itu tak bisa terlupakan. "Semalam, Kak Sean ngomong gini ke gue, 'Kayaknya, adik lo dan adik gue nggak bakalan setuju kalau suatu hari kita pacaran.' Ah, gue tiba-tiba kayak orang bego. Cengo aja. Coba bayangin ada di posisi gue, cowok yang udah dua tahun lalu mulai lo suka tiba-tiba bawa-bawa kata pacaran saat ngomong? Di depan lo? Ngebisikin lo di deket telinga? Sampai napasnya terasa banget? Aduh, jadi ngebayangin lagi kan."

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang