25

88.9K 9.2K 696
                                    


Aku langsung melepaskan tangan Kak Sean yang mencekalku dan berlari ke arah Papa dengan panik. Aku sudah terlihat seperti seorang yang sedang ketakutan.

Itu memang benar.

Saat Kak Sean menyeringai, dia terlihat mengerikan.

Maksudku, itu tidak seperti Kak Sean yang aku lihat selama ini.

Seringainya lebih mengerikan dibanding seringai Kak Malvin yang terkesan bercanda. Wajah datarnya bahkan jauh lebih baik dibanding dia harus memasang ekspresi seperti itu.

Aku memasang helm saat tiba di dekat Papa. Terakhir, kutolehkan wajah sebentar kepada Kak Sean yang masih menatapku dari jauh. Seringai itu telah hilang dan aku kembali melihat Kak Sean yang biasanya. Aku naik ke atas motor. Aku bingung bagaimana mengatasi situasi ini. Ingin permisi, tapi aku sudah terlanjur berjarak jauh darinya.

Alhasil, aku hanya melambaikan tanganku dan langsung menyembunyikan wajahku di punggung Papa saat motor ini mulai melaju.

"Kamu kenapa? Ngapain tadi si Sean megang-megang tangan kamu?" tanya Papa. Motor ini melaju sedang sehingga aku masih bisa mendengar suara Papa di antara berisiknya kendaraan.

"Itu... tadi Kak Sean mau ngomong lagi...."

"Berani ya anak itu." Papa mulai berkomentar lagi. "Jangan deket-deket sama dia. Dia itu preman."

Mataku langsung mendelik. "Papa, Kak Sean bukan preman! Lagian, aku dan Kak Sean tadi cuma papasan dan ngobrol bentar."

"Ya, tetep aja. Kamu itu udah SMA. Kemungkinan cowok-cowok bakalan ngelirik kamu. Papa nggak suka ya kamu deket-deket sama anak laki-laki satu itu."

Aku heran kenapa Papa selalu bicara panjang lebar jika sudah membahas Kak Sean dan ketidaksukaan Papa kepada cowok itu.

"Dengerin Papa. Sean itu preman. Berandalan."

"Udah tahu. Papa sering ngomong. Lagian, ya, Pa. Aku tuh nggak deket sama Kak Sean. Tadi cuma papasan. Namanya tetangga ya pasti ngobrol dikit, lah. Kami kan juga satu sekolah."

"Kamu tahu kan definisi preman?"

Aku cemberut. "Papa dari tadi nyebut preman mulu, deh."

"Orang yang meresahkan masyarakat," kata Papa lagi saat berhenti di lampu merah. "Kalau Sean itu meresahkan Papa karena deket-deket sama anak perempuan Papa. Makanya dia itu preman."

"Papa lagi ngelawak, ya?" Aku mendengkus. Kemudian membuang muka saat menyadari pengendara lain diam-diam menertawakan interaksi kami.

"Dia itu juga berandalan. Kamu tahu definisi berandalan?"

Aku menyembunyikan muka, menyadari betapa ingin tahunya orang-orang di sekitar.

"Orang yang suka buat kekacauan. Orang yang nggak suka dengan aturan."

Aku memilih diam.

"Dan dia termasuk itu. Kamu pikir, dia itu orangnya lurus?"

Glek.

"Papa pernah lihat dia masuk ke kerumunan mahasiswa yang lagi tawuran. Mukulin mahasiswa sampai mahasiswa itu babak belur. Beruntung aja dia masuk ke kerumunan itu nggak pakai seragam SMA. Apa yang ternyata terjadi selanjutnya?"

Tubuhku melemas.

"Papanya cerita, dia hampir aja ngebuat anak orang meninggal."

Aku tak tahu lagi harus seperti apa. Kenapa Papa harus cerita tentang Kak Sean? Papa pasti sedang mengarang cerita.

"Tapi boong."

Aku membelalak. "Paaa!"

"Papa bercanda soal yang meninggal meninggal itu."

Aku mendengkus sebal saat motor kembali melaju. "Papa jarang bercanda. Sekalinya bercanda bikin jantungan." Ya, jujur saja aku jadi takut saat Papa cerita tentang mahasiswa itu yang hampir meninggal di tangan Kak Sean. Untungnya, semua itu hanyalah akal-akalan Papa yang aku yakin berusaha membuatku tidak menyukai Kak Sean. Apa Papa tahu aku suka cowok itu? Sepeka apa, sih, Papa? Apa jangan-jangan Papa suka mengamatiku saat aku lari terbirit-birit hanya untuk memandangi Kak Sean memanasi mesin motornya? Aku menepuk-nepuk jidatku.

Aku kembali memikirkan ucapan Kak Sean saat dia masih memegang pergelangan tanganku.

Cuma dia cowok yang boleh mendekatiku?

Aku tiba-tiba memikirkan Game Over dan curiga soal itu. Mulai menghubungkan perkataannya dengan apa yang aku alami belakangan ini.

Game Over. Lima pemain. Satu target. Empat cowok itu sudah memperlihatkan diri dan satunya lagi ke mana?

Aku mengulang ucapan Kak Sean terus menerus. Tidak masuk akal jika tiba-tiba saja Kak Sean mengatakan itu karena memang menyukaiku. Rasanya mustahil meskipun aku benar-benar mengharapkannya.

Aku menghela napas panjang.

Aku tidak berharap Kak Sean menjadi salah satu dari mereka karena jika benar Kak Sean adalah orang itu, maka aku tak lain hanyalah sebuah target permainannya. Lalu, ucapannya beberapa saat lalu hanyalah sebuah taktik.

Sebuah taktik untukmengambil hatiku dan membuatnya menjadi seorang pemenang.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang