48

80.3K 9.4K 1.3K
                                    



"KskhaqhmjskdjbAKjncb nzkjh chbsjh."

"APA? NGGAK KEDENGERAN!"

Aku refleks memegang kemeja sekolah Kak Gama saking paniknya. Motor yang dia kendarai melaju sangat kencang, membuatku menutup mata sambil berdoa agar tak terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan. Ke mana tas Kak Gama? Kalau tasnya ada aku tak perlu memegang yang lain.

Laju motornya memelan, tangan kiri Kak Gama memukul-mukul tanganku yang masih memegang kemejanya. "Nggak usah pegang-pegang."

"Makanya jangan ngebut, Kak! Dari tadi tuh gue nggak megang apa-apa andaikan lo nggak ngebut." Suasana hatiku sangat buruk. "Turunin di sini aja. Nanti gue pesen ojol."

Kak Gama menepikan motornya. Aku langsung turun saat motor itu berhenti.

"Siapa yang nyuruh lo turun?" bentaknya.

"Kak Gama, kan?"

"Gue nggak nyuruh lo turun!"

"Terus ngapain berhenti di sini kalau lo nggak nyuruh gue turun di sini?"

Kak Gama hanya menatapku kesal, membuatku perhalan mundur ke belakang. Dia mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Aku mendekat dan mencuri pandang ke layar ponselnya. Siapa tahu dia sedang menghubungi salah satu pemain atau mungkin Geng Rahasia? Namun, ternyata dia sedang mengirimkan pesan kepada Kak Masha.

"Kalau bukan karena permainan itu, gue nggak bakal mau nganterin lo pulang."

Aku segera menatap ke lain arah saat Kak Gama bicara. Jangan sampai aku ketahuan mengintip ponselnya. "Naik lagi cepetan," lanjutnya.

Aku naik dan Kak Gama kembali melajukan motornya. Perjalanan terasa sangat lama, membuatku tidak sabar untuk tiba di rumah. Aku bernapas lega ketika memasuki area perumahan. Namun, rasa lega yang baru semenit aku rasakan langsung menghilang karena melihat Kak Sean berdiri di depan rumahnya. Sepertinya dia baru tiba.

Kak Gama menghentikan motornya di dekat Kak Sean yang juga belum masuk ke rumahnya. Aku langsung turun dan menatap Kak Gama heran. Apa dia sengaja berhenti di sini? Dia harusnya tahu rumahku di depan rumah Kak Sean karena aku sudah berulang kali meneriakinya saat masih di perjalanan tadi.

"Noh, ambil. Gue buru-buru." Kak Gama mendorongku ke arah Kak Sean, membuatku langsung menatap Kak Gama kesal. Dia langsung menancap gas pergi dari hadapanku dan Kak Sean.

Ya, hanya ada aku dan Kak Sean.

Aku berbalik menuju ke rumah karena tiba-tiba diam seribu bahasa di dekat Kak Sean. Apalagi kami tak pernah bertemu lagi sejak pertemuan terakhir di kafe.

Aku berpikir, mengapa aku terlalu takut jika Kak Sean salah paham? Padahal dia bukan siapa-siapaku.

Mengapa aku marah karena Barbara atau cewek lain mendekatinya? Padahal Kak Sean bukan siapa-siapaku.

Apa mulai dari sekarang, aku harus tidak bersikap berlebihan seolah-olah Kak Sean suatu saat akan menyukaiku?

Tahu diri, Ver. Sadar diri!

"Vera," panggilnya.

Argh, bagaimana aku bisa tahu diri jika sikapnya selalu seperti itu?

Aku menarik tanganku dari pagar rumah dan berbalik. Kupegang erat tali tas untuk menghilangkan rasa gugup saat menatapnya.

"Sore ini nggak ke mana-mana, kan?" Kak Sean berjalan mendekatiku.

Aku perlahan menggeleng.

"Gue nanti ke rumah lo jam 4." Kak Sean menatap ke mataku. "Oh ya, sekalian gue kasih tahu dari sekarang. Mulai besok pulang bareng gue aja."

Nggak bisa tahu diri gue kalau gini caranya!

Kak Sean berbalik kembali, tetapi berhenti dan menatapku lagi. "Ralat. Mulai besok kita berangkat ke sekolah barengan. Pulang juga barengan. Oke?"

Aku mengangguk kaku.

Kak Sean lalu berjalan ke rumahnya hingga menghilang di balik pintu. Aku masuk ke rumahku dan tergesa-gesa memasuki kamar, lalu kututup pintu hingga meninggalkan suara keras.

"SUATU KEMAJUAN NGGAK, SIH?" Aku membuang tasku dengan sembarang dan naik ke atas tempat tidur. Melompat-lompat kegirangan sambil memegang kedua pipiku. "YA AMPUN SENENG BANGET DIAJAK BERANGKAT DAN PULANG BARENG! AAA!"

Aku berhenti melompat saat mendengar pintuku dibuka. Doni muncul dan menatapku dengan datar. "Nggak denger aku teriak, ya? Kabel panjang di mana?"

"Tuh." Aku menunjuk meja.

Doni memasuki kamarku dan mengambil stop kontak kabel panjang. Aku kembali melompat. Kali ini tanpa suara. Aku hanya tersenyum.

Kulihat Doni berhenti di dekat pintu setelah mengambil barang yang dia cari. "Awas terlalu seneng. Nanti nangis."

"Pergi lo sana." Aku melemparkan bantal ke arahnya dan meleset. Anak itu langsung pergi tanpa menutup pintu kembali. "DONI TUTUP PINTUNYA, IH!"

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang