21

90.2K 9K 324
                                    

Aku tidak bisa berpikir jernih. Ketika Kak Erlang meminta nomorku, pikiranku tiba-tiba blank. Aku mengerjap dan seolah ada tulisan loading di dalam kepalaku.

Saking bingungnya, aku malah mengucaplan deretan angka nomorku di hadapan Kak Erlang.

"Thanks." Kak Erlang menggoyangkan ponselnya. Dia menyejajarkan tingginya denganku hingga wajahnya berada tak jauh di depan wajahku. "Titip salam buat Widya."

Kak Erlang kemudian melangkah mundur tanpa berkedip dan tanpa melepaskan senyumannya. Dia melambai sesaat. Kemudian berbalik dan memasukkan kedua tangannya di masing-masing saku celana.

Dia tidak punya kemampuan menghipnotis, kan?

Kenapa dengan mudahnya aku menyebut nomorku?

Aku berlari menuju kelas dengan panik. Aku dan Widya berpapasan di koridor, kemudian dia mengikutiku. Kami sama-sama memasuki kelas di mana Ninik dan Sisca sudah duduk di bangku mereka masing-masing.

"Lo kenapa? Kena hukuman dari guru lagi?" Pertanyaan Ninik membuatku sontak menggeleng.

"Ini lebih parah!"

"Hah?" Ninik memosisikan duduknya untuk mendengarkan dengan saksama. Aku duduk di bangkuku. Widya menatapku dan ikut duduk di bangkunya.

"Jadi, gue ke perpus. Ketemu Kak Erlang. Terus dia ngebantuin gue ambil ini di rak." Aku mengangkat buku pinjamanku. "Dan setelah gue minjem ke pustakawan, Kak Erlang nungguin gue di dekat pintu. Ngajakin gue ngobrol dan dia minta nomor WA gue."

Ninik membelalakkan mata. "Terus, lo kasih?"

"Dengan bodohnya." Aku mengangguk panik. "Gue terlalu blank. Gugup. Serius!"

"Dia mulai ngelancarin aksinya. Dasar." Widya menyangga pipinya di tangan, menatapku dengan raut sebal. "Jangan deket-deket sama Erlang!"

Aku meneguk ludah. Ah, iya. Aku tidak berani bertanya macam-macam soal hubungan mereka berdua. Bagaimana kalau parahnya lagi mereka masih pacaran? Sementara Kak Erlang mengikuti permainan itu di mana aku targetnya. Dan di sisi lain juga, Widya adalah temanku.

"Eng... Kak Erlang titip salam buat lo." Perkataanku dibalas Widya dengan bola matanya yang memutar.

Widya memajukan tubuhnya melewati batas meja. "Kalau Kak Sean, gue dukung lo deket-deket sama dia seratus persen! Sekali pun dia termasuk salah satu anggota geng nggak jelas itu."

"Nah, gue setuju!" Ninik berseru sembari menjentikkan jemarinya. Aku menatapnya serius. "Menurut gue, perasaan itu bisa berubah-ubah. Lo nggak mau kan hati lo pindah ke cowok lain? Gimana kalau salah satu pemain beneran bisa ngambil hati lo? Nggak mau, kan? Jadi, lo harus bertindak! Perasaan, kita pernah bahas ini deh sebelumnya."

"Bertindak kayak gimana dulu?" tanyaku.

"Deketin Kak Sean duluan!"

"Lo mau buat gue kayak cacing kepanasan di dekatnya lama-lama?" Aku tiba-tiba saja mengingat kembali kesalahpahaman Kak Sean saat isitirahat. Kalau dipikir-pikir, saran Ninik bisa dicoba. Aku juga bisa mengatakan secepatnya kepada Kak Sean bahwa aku dan Elon tidak punya hubungan apa-apa. "Tapi, kalau gue deketin Kak Sean duluan gimana caranya?"

"Gampang banget, Vera!" Widya berseru. "Itu gampang banget diatur. Coba deh lo pikirin, dari sekian banyak cewek yang tergila-gila ke Kak Sean, cuma lo satu-satunya cewek beruntung yang bisa tetanggaan sama dia."

Ninik terkikik. Satu tangannya menghalau mulut, seolah berbisik. "Dalam kata lain, lo adalah cewek yang paling gampang melancarkan aksi modus ke Kak Sean."

"Modus?"

"Seperti, minta tolong pulang bareng karena lo nggak enak badan buat naik angkot yang pengap itu." Widya terkikik geli. "Gue ngebayangin lo sama Kak Sean pulang bareng jadi lucuuu!"

Entah sejak kapan, Sisca sudah memajukan wajahnya untuk berbisik. "Jangan terlalu berisik. Kita dikepoin tuh sama yang lain!" Sisca kemudian berteriak. "Yang tukang nguping telinganya congean!"

Kami bertiga tertawa. Widya merobek kertas bagian tengah bukunya dan menaruhnya di atas meja. Dia tergesa-gesa karena bel baru saja berbunyi. Dia mulai mencoret-coret kertas itu dan seperti sedang membuat sebuah peta sekolah yang terlihat acak-acakan. Dia melingkari beberapa tempat dan membuat lingkaran besar dan tebal di parkiran dan juga kelas XII IPS 1, kelas Kak Sean.

"Beberapa tempat yang biasanya dilalui Kak Sean. Gue belakangan ini merhatiin ke mana dia pergi. Lebih tepatnya, gue merhatiin Kak Erlang, sih. Soalnya mereka berdua ditambah Kak Gama selalu barengan. Kelas XII IPS 1. Parkiran siswa. Koridor kelas 12. Dan sebuah ruangan yang sering mereka masuki. Gue nggak tahu itu ruangan apaan. Tapi, ruangan itu ada di lantai satu, ujung koridor. Mentok di tembok deh pokoknya."

Aku menaikkan alis. Ruangan? Kupandangi coretan kertas Widya dengan kening berkerut-kerut.

"Langkah pertama dulu. Rumah kalian deketan banget, banget, banget, lo bisa nebeng pulang!" Widya mencoret tulisan PARKIR SISWA di kertas itu. "Pakai alasan yang tadi!"

"Yang..., gue pura-pura nggak enak badan, nggak bisa naik angkot, dan minta tolong ke Kak Sean buat pulang bareng?"

Widya, Ninik, dan Sisca—ikut-ikutan—mengangguk.

"Bahkan ini lebih sulit dari Ujian Nasional Bahasa Inggris, Wid." Aku menyerah. Sungguh.

"Apa salahnya lo coba?" Widya tersenyum semringah. "Kalau lo nggak bisa pakai alasan itu, lo coba iseng berdiri di dekat motor Kak Sean. Terus, lo pura-pura nelepon aja. Nanti lo bilang gini, 'Apa? Motor lo kempes, Wid? Gue nggak sanggup naik angkot. Kepala gue udah pusing banget. Gimana, dong?' Lo pura-pura pegangan gitu. Nanti gue telepon lo beneran, deh. Kita akting."

Aku melongo.

"Lo mabok novel, Wid," komentar Sisca, datar.

"Gue pikir nggak ada salahnya ngikutin saran Widya." Ninik menaik-turunkan alisnya bertepatan dengan guru yang masuk, memotong pembicaraan kami berempat mengenai aksi yang akan aku lakukan sepulang sekolah nanti di parkiran siswa.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang