18

94.7K 9.5K 480
                                    


Jadi, Kak Ocean adalah Kak Sean.

Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang tidak akan bisa dielak lagi oleh siapa pun itu.

Aku menepuk dahi di pertengahan acara upacara. Mengingat apa yang terjadi tadi membuatku meringis. Widya menertawaiku juga menertawai Ninik karena menyebut nama Kak Ocean bukan dengan cara pelafalan yang seharusnya.

Aku berjinjit sedikit, lalu menyerongkan tubuh untuk melihat barisan paskibraka. Kemudian geli sendiri. Apa sih yang aku pikirkan? Ingin menjadi pacar Kak Sean sementara Kak Sean mempunyai banyak penggemar.

Sainganku banyak.

Aku menghela napas panjang. Tetap di tujuan awal, Vera. Jangan berharap lebih kalau kamu tidak ingin sakit di akhirnya. Lagipula, aku tipe cewek yang tidak pandai melancarkan serangan modus untuk bisa kenalan lebih jauh dengan cowok.

Ninik memundurkan kepalanya kemudian berbisik. "Lihat. Di bagian kanan."

Aku menoleh pelan ke arah yang Ninik maksud dan melihat sekumpulan siswa dan siswi yang sedang berbaris menerima sebuah hukuman karena terlambat. Ada juga diberi hukuman karena atribut sekolahnya tidak lengkap. Entah itu tidak mempunyai topi, dasi, emblem kelas, penanda nama, rambut yang gondrong, bahkan memakai kaos kaki yang warna dan ukurannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di SMA Tabula Rasa.

Aku sampai tak tahu lagi apa yang sedang Pak Barata ucapkan di atas sana karena terlalu fokus memandang para murid yang dihukum.

"Lo udah lihat belum?" tanya Ninik lagi.

"Udah," balasku sambil mengarahkan pandangan ke depan.

"Kak Gama, Kak Airlangga? Udah lihat?"

Aku menoleh lagi dan mencari dua orang itu di deretan siswa kemudian menemukan dua senior itu sedang berdiri bersisian. Bukan hanya mereka, di sampingnya ada Elon yang berdiri ogah-ogahan di sana. Kak Airlangga tidak memakai dasi. Kak Gama memakai atribut lengkap, mungkin karena rambutnya gondrong. Sementara Elon masih memakai tas. Akan tetapi, mereka semua memang masih mengenakan tas. Apa mungkin semuanya terlambat?

"KYAA! ADA YANG MAU BUNUH DIRI!"

Tiba-tiba, barisan heboh. Penuh dengan teriakan melengking cewek-cewek. Aku terlalu terkejut mendengarnya sampai membuat jantungku rasanya ingin copot. Apa tadi, ada yang mau bunuh diri?

"Semua diharap tenang! Ada apa ini? Siapa yang mau bunuh diri?" tanya Pak Barata, Kepala Sekolah SMA Tabula Rasa.

Beberapa orang menunjuk ke atas atap gedung sekolah. Aku memegang bahu Ninik dan berjinjit, berusaha melihat arah pandang semua orang.

Di atas atap gedung lantai 3, seorang cowok sedang duduk di atas atap sana. Aku menutup mulut. Terlalu terkejut karena meski dari jauh, aku masih ingat dengan wajahnya.

Dia, Kak Malvin.

Beberapa guru laki-laki berjalan ke arah lapangan agar bisa memandang Kak Malvin di atas sana. Mereka semua menyuruh turun. Salah satu guru perempuan memberitahukan kepada Pak Barata sesuatu, kemudian Pak Barata mengetuk-ngetuk mikrofonnya sebelum bicara.

"Ternyata, ada yang berbuat masalah. Dia Malvino Adcena, dari kelas XI IPS 4. Memang suka berbuat gaduh. Jangan contohi siswa yang satu itu!"

Aku masih fokus menatap Kak Malvin. Saat Kak Malvin—sepertinya dengan sengaja—berbaring di atas, semua langsung berteriak heboh, terutama cewek-cewek. Hampir semua guru langsung menyuruhnya turun.

"Itu kan Kak Malvin, katanya emang suka parkour," kata seorang siswi di barisan kelas sebelah.

Parkour nggak gitu juga kali! teriakku dalam hati. Kak Malvin selain suka menggelantung di pohon seperti kelelawar ternyata juga suka memanjat gedung setinggi itu. Apa jangan-jangan Kak Malvin juga suka merayap di dinding seperti cicak dan laba-laba?

Perlahan, aku mengamati Kak Sean karena penasaran bagaimana ekspresinya. Aku penasaran dengan raut wajahnya di situasi seperti ini. Masa bodo, kah, atau ikut-ikutan penasaran dengan apa yang terjadi?

Saat kuamati baik-baik, Kak Sean seperti sedang menahan senyumnya dalam posisi istirahat yang tegap juga pandangan yang tetap lurus ke depan. Aku rasanya ingin melayang hanya melihat senyumnya. Tapi, kenapa Kak Sean tersenyum? Apa mungkin, sesuatu yang ekstrem seperti berdiri di atas atap gedung lantai tiga adalah sesuatu yang lucu baginya?

Penasaran dengan ekspresi cowok-cowok yang masuk dalam Game Over seperti apa, aku menoleh. Aku melihat ke arah Kak Gama, Kak Airlangga, dan Elon. Mereka sedang terbahak di tempatnya. Seorang guru yang mengawasi mereka segera memukul mereka dengan tongkat satu per satu.

"Mohon, untuk yang di atas atap gedung agar turun sesegera mungkin, agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi." Pak Barata bicara. Bukannya segera turun, Kak Malvin malah berdiri dan mengarahkan kedua tangannya di antara mulut sebelum berteriak dari atas.

"GUE BELUM BERI UCAPAN SELAMAT DATANG BUAT SISWA-SISWI BARU!"

Semuanya terdiam, meski beberapa guru masih kelimpungan. Dua satpam sekolah bahkan berlari ke bagian belakang sekolah.

"SELAMAT DATANG SISWA-SISWI BARU! TERUTAMA LO YANG DI SANA, DI BARISAN KELAS X. GUE UDAH NUNGGU WAKTU INI TIBA."

Kak Malvin menunjuk ke barisan. Dan yang aku rasakan, telunjuk dan tatapannya tepat mengarah padaku. Bukankah kata Elon, Kak Malvin adalah salah satu pemain Game Over? Apa benar arah telunjuk itu mengarah padaku?

Semua mata langsung mencari arah telunjuk Kak Malvin yang belum pindah dari tempatnya. Aku meneguk ludah. Telunjuknya mengarah ke barisan kelas X, orang-orang akan curiga seseorang yang dimaksud Kak Malvin berada di antara kelas X-5, X-6, atau X-7.

"Bukannya dia nunjuk ke sini? Ah, lo beneran target apa, ya?" Ninik mengaduh. "Seperti kecurigaan lo!"

"Jangan berisik!" bisikku. "Jangan sebut-sebut itu!" Itu yang aku maksud adalah target. Dia terlalu gegabah menyebut target di barisan ini. Sekarang, beberapa siswi langsung memandangi kami dengan tatapan penasaran.

Aku yang setengah mati bersembunyi di balik punggung Ninik pada akhirnya kembali melihat ke atap gedung, mengintip di balik kepala Ninik. Kak Malvin sudah tidak menunjuk ke arah sini, tetapi dia sedang tersenyum—menyeringai seperti waktu itu—ke arahku.

"Dia itu serem kayak tatapan kelelawar," bisikku pada Ninik.

"Gue malah ngelihatnya ganteng!" balas Ninik dengan penuh semangat. "Cowok mana yang berani naik ke atap gedung lantai 3 demi ngucapin selamat datang buat adik-adik kelasnya yang tercintan ditambah lagi ngucapan selamat datang khusus buat sang gadis target."

Ninik terkikik saat aku mencubit pinggangnya. Sementara kami membahas Kak Malvin, kehebohan tak henti-hentinya berakhir.

"KAK MALVIN MULAI LOMPAT!" Seseorang berteriak. Aku sontak menatap bagian teratas gedung itu.

"UDAH HILANG!"

"NGGAK JATOH, KAN?"

"KYAA KEREN BANGET!"

Aku menutup kuping untuk menghindari teriakan-teriakan membahana itu.

Pak Barata tertawa. "Contoh salah satu siswa yang tidak baik untuk ditiru. Lihat saja nanti, dia akan mendapatkan hukuman berat dari saya. Ada yang berani mau meniru kelakuannya? Ada?"

Murid-murid di lapangan diam. Beberapa dengan kurang ajarnya berujar dengan pelan. "Ada, ada. Saya Pak, Saya." Ucapan itu berasal dari mulut cowok-cowok nakal.

"Tidak ada? Bagus. Karena kalau kalian ikut-ikutan seperti dia, satu surat teguran untuk orangtua kalian akan segera saya kirimkan seperti yang AKAN saya lakukan ke anak tadi." Pak Barata melanjutkan sesi amanatnya.

Aku yakin, Kak Malvin sedang dikejar oleh satpam dan guru-guru sekarang ini.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang