3. Rasa Penasaran

43.5K 2.9K 33
                                    

       Hello, guys i'm back

INI VERSI REVISI YAH!

______________________________________

3. RASA PENASARAN.
      

     Tara menarik tangan Dina dan membawanya pergi ke taman belakang sekolah. Mereka berdua duduk di bangku taman sambil menikmati angin yang berhembus kencang. Namun, diantara keduanya tidak ada pembicaraan sama sekali. Dina masih setia menundukkan kepalanya tanpa berani berucap satu patah katapun. Suasana hening menyeliputi keduanya. Beberapa saat kemudian akhirnya Tara meminta maaf karena menyadari kebodohannya.

"Din, sorry, ya."ucap Tara terdengar menyesal. Satu tanganya terangkat untuk memegang pundak Dina. Namun, Tara terhenyak saat merasakan tubuh Dina bergetar, ternyata gadis itu sedang menangis.

"Ya ampun, Din, lo nangis?" tanya Tara mengusap-usap punggung belakang Dina, memberikan ketenangan.

     Dina hanya menggeleng sambil mengigit bibir bawahnya menahan isak tangisnya. Ia tidak ingin ada orang yang mendengar nya menangis.
Tanpa pikir panjang Tara langsung menarik Dina kedalam pelukannya. Ia tahu Dina gadis yang rapuh. "Nangis aja Din. Jangan ditahan, terkadang dengan menangis separuh beban kita hilang." Kata Tara seraya mengelus kepala Dina dengan lembut.

     Mendengar hal itu membuat Dina justru semakin menangis sesenggukan di pelukan Tara. Ia benar-benar rapuh, hatinya sakit kala Salvina menghina ayahnya yang koruptor. Salahkah dirinya jika pergi ke kantin hanya karena ayahnya yang ketahuan korupsi? Padahal Dina juga merasa kecewa saat mengetahui jika ayahnya korupsi tapi ia bisa apa?

     Seharusnya ia mendapat dukungan dari teman-temannya untuk menguatkan dirinya dikala rapuh, bukan malah mendapatkan cacian dan hinaan yang menyakitkan dari semua orang. Seolah-olah dialah yang  melakukan kesalahan padahal Dina sama sekali tidak tahu apapun.

      Dina terisak dengan tubuh yang bergetar. Semua perlakuan kasar yang ia dapatkan sungguh menyakiti hati dan perasaannya. Setelah lama memendam rasa sakit dan kecewa, akhirnya ia keluarkan dan berujung sekarang ia menangis dalam pelukan hangat Tara.

"Apa gue salah ra? Gue cuman mau pergi ke kantin layaknya seorang siswi biasa, tapi kenapa mereka semua selalu menghina gue? Apa mereka pikir gue nggak sakit hati denger cacian dan hinaan mereka tentang orang tua gue. Anak mana sih yang rela orang tuanya dihina walaupun kenyataannya emang papa gue yang korupsi, tapi kenapa harus gue yang kena imbasnya hah!" Lirih Dina terisak-isak. Derai air mata terus saja mengalir dengan derasnya dikedua pipinya.

       Tara terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Ia dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh sahabatnya itu. Siapapun akan sedih ketika orang yang kita sayangi dihina apalagi orang tua kita sendiri. Lima belas menit Dina menangis mengeluarkan segala unek-unekan yang selama ini tertahan. Akhirnya ia merasa tenang kembali. Tara mengangkat tangannya untuk menghapus sisa-sisa air mata Dina.

"Udah tenang?" Tanya Tara.
Dina mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, Ra. Thanks, ya. Maaf juga lo jadi dengerin unek-unek gue. Gue jadi malu."

"Gak papa, Din. Santai aja. Gue seneng karena lo mau terbuka sama gue. Itu berarti lo udah percaya sama gue."

Dina menanggapinya hanya dengan senyum tipis.

ALTARA [END]Where stories live. Discover now