17. The Peak

387 56 17
                                    

Kia kebagian nganter tiga menu buat ngawalin shift nya hari ini. Cukup aneh karena ada yang mesen sapo tahu tanpa sayuran hijau. Padahal kan sayur itu enak ya, dan berarti sisanya cuma ada jamur udang dan soft tofu. Kia bingung orang macam apa yang mesen sapo tahu dengan isian 'sepi' kayak begitu.

Tapi selera orang beda-beda kan ya? Atau bisa jadi orang ini punya alergi atau semacamnya sama sayuran hijau? Lagian di mata Kia, ini tampak ngga asing.

Awalnya Kia masih biasa aja waktu ngeliat seorang anak kecil berlarian di area makan waktu itu, cuma menegurnya buat hati-hati dan nyempetin diri buat ngasih satu batang permen dari sakunya waktu baru dateng tadi. Tapi ketika Kia ngeliat anak tadi duduk bersama kedua orang tuanya di satu meja, perasaan Kia ngga karuan.

"Kiani ya?" Tanya seorang perempuan paruh baya, mungkin sadar karena Kia berdiri terlalu lama di sisi meja mengamati mereka dengan nampan yang masih ada di tangannya.

"Uh, maaf." Kata Kia sambil nata menunya di meja, mengabaikan satu tangan yang sudah mulai keriput dengan jam tangan yang Kia sangat kenali. Sosok yang pake jam tangan itu cuma diam, sementara ibu disampingnya ngulang pertanyaannya lagi.

"Kiani kan? Kamu ada waktu buat ngobrol sebentar?"

Kia ngga pernah nyangka kalo hari ini akan datang, hari dimana Kia ketemu lagi sama orang disampingnya yang udah ngga pernah Kia liat belasan tahun lalu. Kia ngga pernah tau kabarnya, Kia cuma tau Papa nya baik-baik aja karena selalu ada uang yang masuk ke rekeningnya dengan nama Papa nya tertera di pembukuan setiap bulan.

Kia berdiri di depan mobil Papa nya yang terparkir, dengan istri dan anaknya yang menunggu di dalam. Masih kaget karena dulu Kia pikir akan berakhir menangis histeris atau bahkan berteriak marah kalau ketemu Papa nya suatu saat nanti. Setelah obrolan seputar kuliah dan lainnya, sekarang yang tersisa cuma sunyi. Kia tau, Papa nya mulai kehabisan pertanyaan.

"Kamu pulang jam berapa?"

"Nanti malem, sama temen." Jawab Kia seadanya, Papa nya cuma mengangguk dan mengalihkan tatapan ke dalam mobilnya. Sang istri menggerakan tangan, nyuruh suaminya lanjutin percakapan dan bilang mereka baik-baik aja di dalam menunggu.

"Uang masih ada?" Kia menghela napasnya malas, kenapa pertanyaannya mirip sama pertanyaan dari ibunya.

"Masih ada. Kalau Papa mau tanya itu aja, Kia mau balik ke dalem lagi." Kia cuma ngga mau kelepasan nangis sekarang, Kia mau udahin aja momen ini karena kelewat canggung dan menyesakan. Kia baru aja mau melangkah masuk lagi sebelum sang ayah bertanya

"Kia, kamu benci sama Papa?"

Kia tau pasti ada alasan kenapa orangtuanya dulu saling menyakiti. Kia dulu sering nyalahin diri sendiri, tapi Mamanya selalu menguatkan dan jadilah Kia yang sekarang. Mamanya Kia selalu ngebiarin Kia ngelakuin apa pun yang diinginkan dengan pengawasan dan bimbingan darinya. Itulah kenapa hubungan Kia sama Gamal ngga pernah dapet batasan tertentu, sampai sekarang. Katanya semua ngga masalah, asalkan Kia ngga pernah ninggalin Mamanya.

Kia benci? Kia ngga tau sama sekali jawabannya, tapi Kia ngga pernah sekali pun berpikir kalau ayahnya jahat. Meski pun Kia pernah liat Mamanya mendapat satu tamparan di pipi, dan ayahnya ngga pernah kembali setelah mengantarnya sekolah hari itu. Kia ngga pernah benci. Setelah Kia pikir kalau selama ini dia membenci ayahnya, tapi setelah ketemu sama sekali ngga ada dendam yang tersimpan.

"Ngga, Kia ngga benci sama Papa."

Hari itu, Kia menangis dalam pelukan Papa nya sebelum kembali kerja. Berjanji kalau ada kesempatan, Kia akan berkunjung ke rumah Papa nya. Meski pun Kia ngga tau kalau Mamanya bakal setuju dengan ide itu atau ngga.















LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life)  [✔]Where stories live. Discover now