🌧12. Bad News🌧

338 43 18
                                    

"Iya Dhik? Lo lagi di bandung kan ya?"

"..."

"Oh iya bagus deh, udah baca chat gue kan ya?"

"..."

"Oke lo stand by aja, nanti kalo ada apa-apa gue kabarin oke? Makasih banyak."

"..."

"Iya ini lagi siap-siap terus otw rumah sakit."

"..."

"Iya nanti gue salamin ya, ngga apa-apa kok ini ngedadak juga."

"..."

"Iya makasih banyak, do'ain ya."

Gamal memperhatikan istrinya yang bolak-balik dengan wajah tanpa ekspresi. Tangan Gamal memainkan kunci mobil, kepalanya terus-terusan berpikir keras. Ujung sepatunya menghentak-hentak lantai perlahan, seraya berpikir apa yang harus dia lakuin sekarang. Kia sedang memasukkan potongan buah mangga dan apel ke dalam luch box, lalu menutupnya rapi. Kemudian menyiapkan kopi untuk suaminya, menampungnya ke dalam termos.

Gamal ngga bisa diem lagi sekarang, jadi akhirnya ngehampirin Kia yang sedang menyelesaikan urusannya di dapur.

"Mobil udah kamu panasin yang?" Tanya Kia sambil menutup termosnya, Gamal mengangguk.

"Kamu udah make up?" Gamal berjalan mendekati Kia yang sudah rapih dengan baju santainya, celana jeans dan kemeja oversize. Keliatan begitu karena emang sebenernya itu kemeja Gamal.

"Belum, kenapa?" Gamal merentangkan tangannya, lalu tersenyum sebisa mungkin.

"Mau peluk?" 

Kalo Kia sudah memoleskan riasan, Kia udah pasti menolak. Tapi karena belum, Kia berjalan perlahan menuju Gamal dan membenamkan wajahnya ke dada suaminya itu. Gamal membungkusnya dengan dekapan hangat, lalu menepuk dan mengusap punggung istrinya dengan perlahan.

"Jangan ditahan, sayang."

Detik itu juga Kia menangis hebat, isakannya seperti tertahan. Kia bisa saja menangis meraung-raung tapi ngga ada waktu untuk itu. Walaupun Kia cuma teman, Kia tetap butuh waktu untuk berduka. Hatinya ikut sakit waktu berita dari Mbak Gita sampai di ponselnya. Setelah itu Kia cuma minta Gamal supaya cepet pulang, lalu menjelaskannya tanpa eskpresi apa-apa. Gamal sangat tau. Kia kalau sudah begitu, berarti sedang merasa sangat sedih dan sakit hati. Kia bisa nangis karena hal sepele, tapi ketika itu jadi serius, Kia akan terlihat menahannya dan terus mencoba menjadi kuat.

"K-kenapa sih mereka harus ngalamin ini yang?" Gamal terus mengusap punggung Kia yang terisak-isak.

"Mereka orang-orang baik. Mereka juga ngga pernah nyusahin orang, t-tapi kenapa?" Gamal mengeratkan pelukannya, matanya semakin perih mendengar setiap kata yang terlontar dari bibir Kia.

"Aku ngga tega yang, aku ngga bisa." Kia berkata dengan napas tersendat-sendat, Gamal membiarkan baju yang dipakainya basah oleh airmata Kia.

"N-nanti aku harus apa di sana? H-harus bersikap gimana aku ngga tau. K-kenapa sih Tuhan sejahat itu? Mereka orang baik banget, Gamal. K-kenapa tega?"

"Shh, ngga boleh gitu. Sayang, Tuhan ngasih cobaan ini sama mereka karena Tuhan tau mana yang terbaik buat mereka. Kalo perjuangan mereka sampe seperti ini, berarti hadiah yang akan mereka dapat itu besar sekali, melebihi kuatnya cobaan yang mereka tahan. Jadi ngga ada yang bisa disalahin ya, takdirnya udah begini." Jelas Gamal lalu mencium pucuk kepala Kia lama, lalu melepasnya untuk menatap mata Kia yang mulai bengkak.

"Aku mau kamu di sana-" Gamal mengusap bekas air mata di pipi istrinya "-jadi kuat, kita kuatin yang ada di sana ya? Kamu boleh sedih dan nangis sepuasnya, tapi di sana kita tugasnya kuatin mereka dulu oke? Kalo sekarang sampe di jalan mau nangis, boleh." Gamal mengambil selembar tisu lalu mengelap jejak aliran air mata di pipi Kia.

LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life)  [✔]Where stories live. Discover now