☁️31. The Overthinker (1/2)☁️

449 48 41
                                    

Udah dari kemaren Kia ngerasa kurang enak badan, pusing banget. Antara kecapean atau gimana juga ngga ngerti, atau emang lagi saatnya aja kondisinya kurang fit. Kemarin Mama ke sini, ngurusin Kia dan bawain oven. Kia bilang pengen coba bikin cookies sendiri, dan Mamanya langsung gerak cepet bawain dari rumah.

Lagi sakit, malah ngidam pengen masak dan punya oven.

Tapi yang bikin Kia jadi kurang enak badan, sebenernya bukan sekedar imunnya yang lagi melemah aja. Kia butuh vitaminnya dalam bentuk manusia. Kia butuh Gamal ada di sisinya. Bucin banget memang keliatannya, tapi memang itu yang dibutuhkan. Gila aja ketemu suami dua minggu lebih cuma pas mau tidur sama pagi mau berangkat kerja.

Gamal udah kena omel sama dua orang, Tante Irene dan Mama mertua, oh bertiga sama Jingga. Anak itu beneran nelpon Gamal ngambek-ngambek karena kakaknya dibiarin sendirian terus.

Kia baru aja buka mata dengan dahi dan leher berkeringat. Matanya dengan cepat mencari jam dinding, jam sembilan pagi. Kia menoleh ke sampingnya, sisi kasurnya sudah kosong. Lagi-lagi Kia kesiangan, atau mungkin ketiduran Kia ngga tau.

Kesel sama diri sendiri, kok bisa sampe ketiduran dan bangun sampai siang begini. Kia jadi kehilangan momennya, kehilangan waktu, kehilangan saat-saat yang memungkinkan buat sekedar ketemu suaminya di pagi hari.

"Ah! Kenapa sih?" Gumam Kia kesal sambil terbangun dari posisinya pelan, lalu duduk bersandar pada kepala kasur.

Kia capek, Kia bosen, Kia ngga mau selalu terbangun dengan rasa kesepian kayak gini di salah satu sudut hatinya.

Tangan Kia tergerak buat ngambil ponsel, sekedar ingin mengirimkan pesan ke Gamal dan minta maaf udah bangun kesiangan. Tapi keburu terisak, Kia ngga sanggup juga nahan-nahan terus tangisnya selama ini. Kalo ngga ada orang yang menemuinya, mungkin Kia bisa nangis setiap hari karena ngga ada pengalihan. Hormon membuatnya yang sudah sensitif jadi makin sensitif lagi.

"Yang, udah bangun?"

Kia masih menangis, tangannya menutupi wajah sementara air matanya terus mengalir.

"Yang? Kok nangis?" Sebuah suara menginterupsi, Kia melepas tangan dari wajahnya. Lalu menemukan Gamal dengan raut setengah panik duduk di sisi kasur.

"Hei, kenapa kamu? Mimpi serem?" Tangan Gamal mengusap sisi wajah Kia yang basah.

"K-kamu di sini?" Tanya Kia sambil terisak.

"Iya, di sini sayang." Gamal menjawab lembut, terasa makin nyata di telinga Kia. Berarti ini bukan halusinasinya.

"Ngga kerja?" Tanya Kia lagi.

Gamal menaruh segelas susu dari sebelah tangannya di meja, lalu mengusap lengan istrinya. "Sekarang hari Minggu, cantik. Kantor tutup."

Kia buru-buru menarik Gamal untuk memeluknya, lalu kembali menangis. Gamal yang kebingungan cuma bisa mengusap lembut kepala istrinya.

"Kenapa, hmm?"

"Kangen." Kia menjawab dengan suara yang sangat pelan dan masih terisak.

"Hah?"

"Kangen ih! Ngerti ngga sih? Kangen!" Ujar Kia marah, tangannya meninju perut Gamal berkali-kali dengan pelan. Suaminya itu mengulum senyum, lalu mencium puncak kepalanya.

"Iya ngerti, maaf ya aku sibuk terus." Kalimat yang selalu Kia dengar sebelum tidur, dan Kia benci.

Gamal melepas pelukannya lalu menatap mata istrinya yang masih basah. Duh, Gamal makin merasa bersalah dan ngga tega liatnya. Mana Kia tuh lagi sensi banget, pasti ngga mudah buat istrinya nanganin emosinya yang naik turun sendirian. Sekarang Gamal dapet satu hari libur penuh sebelum besok sibuk lagi.

LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life)  [✔]Where stories live. Discover now