☁38. Let It All Go☁

303 41 16
                                    

Sensitive content 

Kalau misalnya harus mendeskripsikan keadaan Ezra saat ini, mungkin ketika Ezra berdiri diantara dua sisi lautan yang terbelah. Satu adalah lautan panas penuh darah, dan satu lagi sejuk memabukan. Yang terburuknya, keduanya menyiram Ezra dengan ombak yang sama besar ketika Ezra berdiri di tengah-tengahnya.

Baru aja Ezra ngerasa kalau dunianya indah dan terang. Keponakannya yang tampan baru aja lahir ke dunia, dengan selamat dan sehat. Ezra bahkan punya kesempatan untuk memberinya nama, juga menemani kakaknya sampai proses kelahiran. Rasanya Ezra sedang diberi hadiah yang amat besar dari Tuhan.

Tapi saat itu Ezra lupa, bahwa ketika ada satu kebahagiaan, there's always a bills to pay. Hidup sangat mencurigakan kalau berjalan selancar itu, dan Ezra sempat lupa untuk bersiap-untuk-yang-terburuk saking bahagianya.

Waktu perjalanan menuju salah satu rumah sakit di Wonosari, Ezra ngga bisa mikir dengan benar. Beruntung Mas Herma menawarkan untuk mengemudikan mobilnya sampai ke rumah sakit dan mengantar Ezra juga yang lain untuk sampai di sana. Ngga semua bisa datang tentu aja, karena Mbak Wulan butuh orang untuk menemaninya. Jadi Andri, Dara dan Nita ada di sana. Sedangkan Mas Herma ada di sini untuk mewakili Mbak Wulan.

Ada rasa takut luar biasa waktu Ezra melangkahkan kakinya turun dari mobil lalu memasuki rumah sakit. Seperti bagaimana kalau ini semua adalah kesedihan yang sebanding dengan kebahagiaannya tadi? Bagaimana kalau ini terjadi karena kemarahan yang selalu Ezra lontarkan pada Tuhan selama masa sakit hatinya? Bagaimana kalau Bude nya-

"Dek-Ezra?" Nada patah hati berat terdengar dari panggilan yang dilontarkan dari Kahfi, panggilan itu sudah memudar waktu mereka di bangku sekolah dulu. Ezra hanya bisa berdiri di selasar, menyandarkan tubuhnya pada dinding. Sampai Kahfi dengan setengah berlari melangkah ke arahnya, lalu memegang lengannya keras-keras.

"Dek, dek tolong maafin ibu. Tolong dek, tolong." 

Ezra hanya bisa mematung mendengarnya, lidahnya kelu, tubuhnya terlalu kaku. Hatinya, mungkin beku, mungkin membatu. Hatinya mencelos, tapi Ezra benar-benar tidak tahu harus apa.

"Dek, aku ngewakilin ibu. Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya dek. Kalo Dek Ezra masih marah sama ibu, biar aku tanggung semua dek, maaf."

Depresi, itu terdengar jelas di telinga Ezra dari semua kalimat Kahfi yang mampir ke pendengarannya. Tapi anehnya Ezra hanya berdiri diam, memandang Kahfi yang tubuhnya merosot dan hampir berlutut sambil menahan air mata. Tangannya masih meremas kedua lengan Ezra, dan si pemilik lengan tidak bisa melakukan apa-apa.

Kahfi yang Ezra kenal selalu senyum dan kuat sejak dulu, kini menangis dengan sisa tenaganya di depan kaki Ezra yang seakan berdiri angkuh.

"Kahfi, Ibu udah sadar!" Suara Mas Herma membuat kedua sosok itu menoleh, menyadari kalau ada hal yang lebih penting detik itu.

"Dek, ayo." Mbak Gita merangkul Ezra yang sejak tadi tak bisa bergerak, lalu perlahan pria itu melangkahkan kakinya mengikuti arahan sang kakak.

Setelah kabar baik dari suster tadi datang, suasanya jadi sedikit lebih tenang. Bude sudah sadar meskipun masih belum bisa bicara karena dadanya terlalu sesak. Dokter sedang mempersiapkan operasi, dan Bude sedang menghabiskan waktunya dengan Kahfi dalam ruangan. 

Mbak Gita menawari Ezra satu cup air putih dan diteguknya dengan kaku. Ezra masih pusing saat ini, rasanya kayak terlalu banyak hal yang berlarian di pikirannya. Kahfi dan Bude adalah salah satunya. Ezra cuma mendengarkan waktu mendengar penjelasan dari Mbak Gita bahwa paru-paru Bude nya hampir bolong karena tertusuk tulang rusuk tengahnya sendiri. Tapi tetap saja cukup fatal, karena pembuluh darahnya terluka.

LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life)  [✔]Onde histórias criam vida. Descubra agora