11. Kisah Bawang

1.5K 92 1
                                    

Bab 11. Kisah Bawang

"Duduk!" perintah Runi tegas pada Freya yang ogah-ogahan sementara tangannya sibuk mengeluarkan isi kantung belanjaan.

Dengan gerakan malas Freya menarik kursi dan menghempaskan bokong di sana. Menopang dagu menggunakan kedua tangan yang terjalin dengan siku bertumpu di meja.

"Mbak, bisa nggak sih, kalau udah nikah nanti aku makannya beli aja. Nggak usah ribet masak segala. Lagian warteg-warteg juga menjamur ada di mana-mana, sekalian berbagi rezeki. Logika nih, Mbak, kalau ada jalan yang lebih mudah, kenapa mesti memilih jalur sulit? Yang penting kan tujuan akhirnya sama-sama bikin kenyang," usul Freya mengutarakan pendapat, wajahnya memelas memohon pembenaran. 

Freya mencoba mengajukan negosiasi. Memasak adalah hal yang sangat jauh dari kesehariannya. Sungguh, ia tak paham. Freya bahkan tidak bisa membedakan mana merica dan yang mana ketumbar, mana jahe dan yang mana lengkuas. Imbas dari selama ini waktunya lebih lebih banyak dihabiskan di bengkel ketimbang berkutat di dapur, bahkan Aldo lebih mahir dalam urusan perdapuran dibanding dirinya.

Si kakak sepupu berwajah manis itu berhenti mengeluarkan isi kantung. Ekspresinya berubah datar, menatap lurus pada si tomboi serupa jurus sinar laser Ultraman. 

"Nggak ada tawar-menawar. Pokoknya kamu kudu belajar masak. Minimal masakan rumahan yang mudah. Istri itu kudu paham cara merawat suami supaya rumah tangga tetap harmonis, juga supaya suami nggak berpaling sama wanita lain. Namanya juga bahtera, kudu dilayarkan dengan upaya penuh kesungguhan tentunya supaya tidak karam. Selain urusan servis di atas ranjang, yang tak kalah penting adalah tentang memuaskan isi perutnya dengan hasil jerih payah tangan kita. Suami yang baik dan pengertian pasti tidak akan mempermasalahkan tentang memasak atau tidak. Sesekali membeli juga boleh saja, tapi jangan sampai jadi kebiasaan. Karena memasak termasuk skill bertahan hidup yang harusnya dikuasai setiap orang. Paham?"

Bulu kuduk Freya bergidik mendengar kalimat servis di atas ranjang. Mengapa harus ada kalimat semacam itu terselip di acara pelatihan masak memasak. Mengingatkannya kembali akan kejadian beberapa hari lalu saat Fatih membuka kaitan bra yang dipakainya. Baru membayangkannya saja membuat Freya meremang, lalu sebuah pertanyaan datang tanpa permisi mencemari otaknya yang lugu.

Freya dan Fatih memanglah pernah saling berciuman dan saling meraba meski tidak di setiap pertemuan. Hanya saja tak lebih dari meraba punggung di luar pakaian, meraba tengkuk dan saling membelai rambut kala bibir mereka terpaut satu sama lain. Namun, kejadian beberapa hari lalu menimbulkan pertanyaan di benaknya.

Ia berpikir keras hingga kepalanya terasa berputar-putar seakan mengitari bundaran Hotel Indonesia menggunakan odong-odong hingga pening. Bukankah buah dada hanya diperuntukkan bagi bayi yang masih meminum ASI? Lantas, mengapa beberapa hari lalu Fatih malah menyingkap kaos yang dipakainya di bagian depan setelah kaitan bra terlepas dan seperti hendak mendaratkan bibir di puncak kembarnya? Hanya saja hal itu tak terjadi lantaran kalah cepat dengan tinjunya yang melayang lebih dulu.

"Frey! Kok malah ngelamun sih, dari tadi mulutku nyerocos kamu malah melongo melalang buana! Itu juga kenapa kamu pegang-pegang dada terus? Sesak napas?" seloroh Runi berseru yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping kanan Freya. Si tomboy tersentak kaget, padahal tadi mereka tengah dalam posisi saling berhadapan terhalang meja.

"Bu-bukan sesak. Ta-tapi haus. Iya haus." Freya tergagap cengengesan.

"Haus kok ngusap dada. Minum dulu gih. Terus kita mulai latihan masaknya."

Freya mengangguk patuh. Setelah meneguk satu gelas besar air mineral, ia kembali duduk dan mendengarkan serta memperhatikan Runi yang sedang menyebutkan berbagai macam nama sayuran beserta bumbu dapur lainnya dengan serius.

"Hari ini kita masak sayur asem dan telur balado. Kamu siangi sayurannya sampai habis seperti yang aku contohkan tadi. Terus jangan lupa kupas bawang merah dan bawang putih ini semuanya." Tunjuk Runi pada sebaskom kecil bawang merah dan putih.

"Semuanya aku yang kupas?" Ekspresi Freya mendadak horor. Masalahnya ia memiliki secuil trauma dengan yang namanya bawah merah.

"Iya, cepat kupasnya ya. Aku ke warung sebentar mau beli bahan-bahan yang kurang buat masakan kita, ada yang kelupaan. Hati-hati pisaunya kena tangan."

Selepas Runi menghilang dari dapur, ditatapnya sendu si baskom warna hijau di hadapannya yang berisi dua macam bawang.

Untuk si putih, Freya masih mampu menjinakkannya, ia pernah mengupas bawang putih beberapa kali saat adiknya merajuk ingin dibantu memasak. Akan tetap untuk si merah bukanlah musuh kaleng-kaleng, tak mudah membuatnya bertekuk lutut. Bahkan hingga saat ini masih segar diingatannya akan kenangan kepedihan yang ditimbulkan si bawang merah saat pertama kali mereka berinteraksi.

Mendesah frustrasi Freya mulai mengupas. Mengabaikan masa lalu mencoba melupakan meski rasa takut menggerogoti, takut kejadian yang sama dirasakannya lagi.

*****

Fatih langsung meluncur ke rumah Freya sepulang bekerja hari ini. Dengan kecepatan sedang ia melaju diiringi alunan lagu romantis dari siaran radio. Fatih ikut bersenandung sepanjang jalan sambil sesekali melirik ke arah kotak yang sudah dibungkus rapi di kursi sebelahnya. Isinya adalah helm untuk sang kekasih, sebagai upaya suap agar mereka kembali berdamai setelah lima hari ini Freya mendiamkannya, sama sekali tak merespons chat maupun panggilannya.

Dengan langkah ringan Fatih turun dari mobil. Dilihatnya pintu rumah Freya terbuka, tanpa membuang waktu ia bergegas dan mengucap salam di ambang pintu. 

Fatih celingukan, rumah tampak sepi, tetapi kenapa pintunya dibiarkan terbuka? gumam batinnya.

Samar-samar si dokter muda itu mendengar suara isakan wanita dari bagian belakang rumah. Fatih menajamkan pendengaran, setelah beberapa saat dia terkesiap saat mengenali milik siapa suara tangisan tersebut.

Mengambil langkah seribu Fatih langsung menerobos masuk menuju dapur, bahkan sepatu pun lupa dibukanya. Dia menjatuhkan barang bawaannya begitu saja ketika matanya menangkap keberadaan Freya yang duduk menghadap meja makan tengah menangis sembari memegang pisau di tangan.

Fatih panik, secepat kilat menghampiri dan merebut pisau dari tangan Freya. Melemparkannya sejauh mungkin dan meraih kedua bahu Freya agar menghadap ke arahnya.

"Apa yang mau kamu lakukan, Frey! Sadarlah!" teriaknya menggelegar, sarat akan rasa takut juga marah.

Freya malah makin terisak. Matanya merah dan wajahnya basah penuh dengan air mata. Fatih kian panik. Mengusap wajah basah Freya dengan jemarinya yang gemetaran sebab terkejut mendapati sang kekasih tersedu-sedu dengan benda tajam dalam genggaman.

"Kamu sangat marah karena kejadian beberapa hari lalu? Aku janji nggak bakal ngulangin itu lagi. Apakah aku melukai harga dirimu begitu dalam sampai-sampai kamu berniat bunuh diri!" Fatih bertanya dengan bibir gemetar, mengguncangkan bahu sang tunangan. "Maaf, maafin aku, Frey. Maafin aku."

Diraupnya Freya ke dalam dekapan, memeluknya erat dengan dada yang terasa sesak. Jika dirinya datang terlambat entah apa yang akan terjadi pada Freya. Andai sesuatu yang buruk menimpa pujaan hatinya, Fatih tak yakin masih bisa bernapas dan melanjutkan hidup.

Tangisan Freya mulai mereda setelah beberapa menit berlalu. Fatih mengurai pelukan dan bersimpuh di hadapan Freya yang masih duduk di kursinya. Dengan lembut merapikan anak-anak rambut yang menutupi pelipis Freya dan membelai lembut pipi gadisnya.

"Jangan berpikir untuk berbuat hal bodoh semacam itu lagi. Aku bisa gila dan mati." Fatih berujar rendah, telapak tangannya sedingin es kini.

Tanpa disangka Freya malah meninju bahu Fatih, memasang wajah cemberut. 

"Hih, siapa yang mau bunuh diri!" serunya jengkel.

"Jangan bohong! Terus tadi kenapa kamu megang pisau sambil nangis?" Ekspresi Fatih mengeras, jiwanya masih dilanda ketakutan.

"Tadi itu aku nangis karena mataku perih kepedesan akibat ngupasin sebaskom bawang merah, bukan mau bunuh diri!"

Bersambung


Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now