42. Jakarta

1.2K 125 21
                                    

Bab 42. Jakarta

Hiruk-pikuk ibukota menyambut kedatangan Sarah saat mobilnya memasuki metropolitan. Cuaca terik dan udara panas gersang terasa menyengat kulit juga menyerbu hidung. 

Sarah yang lebih suka berkendara tanpa terus-menerus memakai AC harus memukul mundur kebiasaannya. Kaca mobil tertutup dan suhu yang diputar lebih rendah justru sangat dibutuhkannya sekarang. 

Segala penat dan rasa gerah tak nyaman berganti ukiran gembira di wajahnya yang tak lagi muda. Saat ruang pandangnya menangkap sosok balita menggemaskan menghambur menyambut, mengenali mobilnya yang memasuki halaman rumah Fahri. 

“Neneeeek ….” 

Rio berlari ke teras dan memekik senang begitu melihat mobil yang membawa Sarah memasuki carport di halaman rumah. Balita lucu itu langsung melompat-lompat senang. Mengangkat kedua lengannya meminta digendong ketika Sarah turun dan menghampiri. 

"Nek, dendong," pinta Rio setengah merengek, antusias juga jelas merindu pada sosok neneknya yang memang baik hati. 

“Duuh, cucu Nenek makin ganteng saja.” Sarah meraup Rio ke dalam gendongan. Mencium pipi gembira cucunya yang dibalas pelukan erat lengan mungil di lehernya. 

Sarah gegas masuk ke dalam rumah yang pintunya dibukakan ART, sementara Mang Nanang membuka bagasi dan mulai menurunkan barang bawaan. 

“Mana Bunda?” tanya Sarah pada Rio saat tak mendapati Nisa di dalam rumah. Menyapukan pandangan mencari sosok istri Fahri itu. 

“Unda yagi di kamal. Yagi obatin ini,” sahut Rio sambil menepuk-nepuk keningnya sendiri. Seperti tengah memperagakan sesuatu. 

“Lho, ininya Bunda kenapa?” Sarah ikut menepuk-nepuk jidatnya menirukan Rio. “Kepalanya lagi pusing ya?” tanya Sarah menyambung kalimatnya. 

“Butan pucing … tapi beldalah,” ujarnya lagi dengan suara cadelnya. 

Sontak Sarah membulatkan mata. Terkejut mendengar jawaban Rio. "Lho, berdarah kenapa?” 

Sarah mengurungkan niatnya bertanya lebih lanjut pada Rio ketika melihat Nisa keluar dari kamar. Nisa tergopoh-gopoh menyalami mertuanya dan mempersilakan duduk. 

"Maaf tidak menyambut, tadi lagi tanggung, lagi ganti baju. Ibu mau minum apa?” tanyanya dengan nada manis. 

“Jus melon yang dingin kalau ada. Udara Jakarta panas, Ibu belum terbiasa.” Sarah mengekeh pelan. 

“Ada kok, Bu. Ibu duduk dulu saja ambil ngadem. Aku ambil dulu jusnya sebentar.” Nisa beranjak ke belakang meminta ART menyiapkan minuman lalu kembali ke ruang tamu. Duduk berhadapan dengan ibu mertuanya. 

“Kamu sakit? Kenapa dahimu? Luka?” Sarah memberondong Nisa dengan pertanyaan begitu melihat perban kecil menempel di dahi dekat alis. 

Nisa tampak kikuk untuk sejenak. “Oh … ini, i-ini. Tadi … tadi subuh nggak sengaja kejedot pintu kamar mandi, Bu. Masih ngantuk, jadi kurang hati-hati.” Nisa menyentuhkan jemari di area yang terluka. Buru-buru menguasai diri agar Sarah tidak menangkap riak aneh di wajahnya. 

“Lain kali hati-hati. Untung nggak sampai kena mata. Kamu pucet banget, terus kayak kurusan, Nis? Apa kamu kecapean mengurus Rio juga keluarga kecilmu karena jauh dari kampung halaman? Bila perlu, tambah lagi ART, Fahri pasti masih mampu membayar.” 

Wanita mungil paruh baya itu menatap menantunya cemas, apalagi raut Nisa terlalu pucat untuk standar orang sehat. Meskipun saat di Kuningan dulu ia pernah mendapati Nisa dengan raut yang sama kendati hanya beberapa kali. Seingatnya, Nisa pernah mengatakan bahwa semua itu efek dari sakit lambung kambuhan yang diidapnya. 

“Nggak capek sama sekali kok, Bu. mungkin karena masih belum beradaptasi dengan cuaca Jakarta yang panas, jadinya sering nggak enak badan. Terus sakit lambungku lagi sering kambuh. Pinginnya makan rujak pedes sama bakso pedes terus, jadinya lambungnya ngamuk,” tutur Nisa mencari alasan sembari menelan ludahnya susah payah guna menutupi hal sebenarnya. 

“Jangan lupa makan teratur dan hindari dulu makanan pedas. Ingat, seorang istri harus bisa menjaga kondisi tubuh dengan baik karena banyak yang membutuhkan perhatian kita. Suami juga anak. Nanti ibu masakkan kolak labu kuning kesukaanmu, labu hasil panen kebun belakang rumah. Ibu bawa beberapa buat kamu sama Freya," kata Sarah penuh perhatian. 

“Wah, makasih banyak, Bu.” 

Nisa tampak semringah sembari mengulas senyum. Berharap kebohongannya tak terendus. Luka di dahinya bukan akibat terbentur pintu, tetapi karena hal lain. Siapa lagi pelakunya kalau bukan lelaki yang teramat dipujanya setengah mati. 

Semalam, Fahri kalang kabut juga kesal setelah mendengar kabar dari Wisesa bahwa Sarah akan menginap seminggu penuh di Jakarta. Fahri yang panik berpikir keras, bagaimana caranya supaya akal bulus jamu pengering rahim yang diberikannya pada Freya dengan menjual nama ibu sambungnya itu tidak ketahuan. 

Fahri diserbu kegusaran, kalau sampai Freya menyinggung perihal jamu yang diberikannya kepada Sarah, maka kebusukannya akan terbongkar dan rencananya tamat sudah. 

Kepala Fahri berdenyut hebat, memutar otak mencari akal busuk lainnya. Nisa dan Fahri sempat beradu mulut saat tengah bersama-sama mencari jalan keluar, Nisa merasa tak setuju akan ide baru Fahri yang terbilang terlalu berisiko. 

Fahri yang tak mentolerir bantahan istrinya, langsung murka dan naik pitam. Tanpa basa-basi melampiaskan amarahnya pada Nisa seperti biasa jika iblis dalam dirinya tengah menguasai. Mendorong Nisa yang tak siap hingga dahinya membentur ujung ranjang. Darah pun merembes di pelipis Nisa, bukannya berhenti dan mengobati sang istri, Fahri malah menyingkap rok Nisa dan langsung mendesakkan hasratnya, bergerak menggila kala melihat darah menetes menodai sprei, seolah cairan berwarna merah itu membuatnya makin bersemangat berlaku kasar. 

Fahri menggagahi brutal dengan posisi Nisa menelungkup. Wanita kurus itu hanya bisa menjerit kesakitan dengan lengkingan yang teredam bantal. Tak mampu melawan, kalah oleh cinta buta juga ancaman yang selalu berhasil membuatnya bergidik ngeri. 

“Sedikit saja kamu berani menentang dan melawanku. Aku akan menceraikanmu dan memisahkanmu dari Rio selama-lamanya. Ingat itu!” desis Fahri tanpa belas kasihan setelah puas menuntaskan hasratnya. 

"Ya sudah, kamu sebaiknya istirahat, biar segeran. Rio biar ibu yang jaga, supaya kamu bisa tiduran," titah Sarah pada Nisa yang terlihat memprihatinkan dan terlihat sangat tak bertenaga. 

"Nggak usah, Bu. Aku mau ke dapur, bantuin si mbak siapin makan siang buat ibu sama Bang Fahri. Tadi pagi Bang Fahri berpesan mau makan siang di rumah." Nisa menolak halus, menjaga image. 

"Bukannya Fahri libur mengajar? Ini kan hari Sabtu?" imbuh Sarah penasaran. 

"Kebetulan hari ini Bang Fahri kebagian jadwal memimpin kegiatan ekstrakurikuler. Jadinya diminta datang ke sekolah. Dan cuma guru-guru teladan yang ditugaskan, Bu," ujarnya tetap bangga, padahal semalam Fahri memperlakukannya tidak beradab. 

"Baru sebentar mengajar sudah banyak mencuri perhatian. Fahri memang berprestasi sejak dulu," ucap Sarah penuh syukur. "Ya sudah, kalau gitu kita masak sama-sama saja." 

Sarah mengusulkan yang diangguki cepat oleh Nisa. Namun, gaya berjalan Nisa yang aneh dan agak gemetaran membuat Sarah mengantar Nisa ke kamar untuk beristirahat saja. Khawatir menantunya itu tumbang di dapur. 

"Ke dokter saja ya, Nis. Atau panggil Fatih buat meriksa. Kamu kayak mau pingsan." 

"Eh, enggak usah, Bu. Jangan ngerepotin Fatih juga, enggak enak dia pasti capek dan pingin istirahat di hari libur. Aku mau tidur saja seperti saran ibu. Abis tidur nanti biasanya enakan kok Bu," sahut Nisa cepat meyakinkan. Sebab kalau sampai Fatih datang memeriksa, maka dipastikan Fahri akan semakin murka. 

Bersambung. 

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang