25. Sepasang Cincin

771 83 2
                                    

Bab 25. Sepasang Cincin

Motor trail hijau metalik milik Fatih melaju cantik di keramaian malam kota Jakarta. Freya mengendarainya penuh sukacita. Seumpama para gadis yang begitu gembira tatkala dibelikan tas bermerek atau perhiasan mahal. Hanya saja untuk membuat Freya bahagia caranya berbeda, dibiarkan bebas memadu kasih dengan kuda besi balap beginilah yang membuat senyumnya bermekaran seindah bunga-bunga di musim semi.

Fatih pasrah menjadi sosok yang dibonceng. Kedua lengannya memeluk sang kekasih dan menopangkan dagu di pundak Freya. Ikut tersenyum ceria kala Freya melajukan motornya sembari bersenandung gembira, walaupun sesekali nadanya yang dilantunkan agak sumbang. 

Semenjak berpacaran dengan Freya, Fatih sudah terlatih dibonceng bermotor ria dengan kecepatan di atas rata-rata, tak seperti di kali pertamanya yang membuatnya hampir pingsan. Tidak lupa Fatih selalu mengingatkan gadisnya akan rambu-rambu lalu lintas yang harus dipatuhi di jalan raya. Meski kemampuan Freya memacu si roda dua sudah tak diragukan lagi. 

"Ayang, kamu pusing enggak?" tanya Freya berteriak saat laju motor memelan. Terjegal kepadatan lalu lintas. 

"Enggak sama sekali!" sahut Fatih balas berteriak. Berkomunikasi di tengah-tengah kebisingan memang memerlukan volume suara ekstra. 

Mereka memang sudah menjalin hubungan empat tahun lamanya. Akan tetapi, manisnya kebersamaan baru bisa mereka nikmati di beberapa bulan ini. Lantaran sebelumnya terhalang jarak juga kesibukan studi serta profesi masing-masing. 

"Mampir dulu yuk. Kali aja mau minum teh dulu," tawar Freya pada Fatih ketika mereka sudah sampai di pekarangan rumah Anwar.

"Enggak usah. Ini sudah kemalaman, aku nggak enak sama babeh. Takut ganggu istirahatnya." Fatih menjelaskan alasan penolakannya. Bukan karena tidak ingin, tetapi waktu sudah menjelang larut, bukan jam ideal untuk bertamu. 

"Ya udah deh, hati-hati bawa motornya ya. Jangan bilang-bilang sama babeh kalau hari ini aku kebut-kebutan." Freya berbisik sepelan mungkin ke telinga Fatih. Mengedip merayu. 

"Mmm ... untuk menyimpan rahasia tentu saja nggak gratis, ada tarifnya." Fatih yang duduk di motornya melipat kedua tangan di atas helm.

"Ya ampun, dasar dokter kikir. Padahal gaji pokokmu lima kali lipat dari total gajiku satu bulan tapi masih saja minta sogokan!" Freya memberengut sebal sembari berkacak pinggang.

"Hei, siapa bilang tarifnya pakai rupiah? Imbalanku menyimpan rahasia cukup dengan satu kecupan mesra saja, di sini." Fatih menepukkan telunjuk di pipinya sendiri.

Bola mata Freya otomatis memelotot seraya mengamati sekeliling. "Dih, heran deh sama isi kepalamu, sosor bebek mulu bawaannya. Kamu itu sebenarnya tercemari sama siapa sih? Mesum akut!"

"Tentu saja senior tak berperasaan lah yang telah mencemariku sejak menjadi koas dulu. Untung saja aku adalah pria yang menganut kewarasan penuh sehingga tak terjerumus pada hal iya-iya sebelum waktunya," jawab Fatih lugas, menepuk-nepuk jidatnya sendiri. Kata-katanya memang fakta, dia sudah sering disuguhi kemesraan sang senior ketika dulu masih menjadi koas.

"Seniormu cabul!" Freya mengumpat serapah. 

"Bukan cabul, tapi lebih tepatnya selalu penuh gairah. Dan kurasa itu akan sangat berguna di masa depan, saat aku dan kamu sudah menjadi kita." Fatih terkekeh pelan yang dibalas dengusan horor disusul sebuah tinju dari Freya.

"Aw, ganasnya," goda Fatih iseng.

"Eh eh eh, jangan mancing-mancing!" Freya berseru galak, seolah hendak menerkam Fatih yang tengah tergelak dalam tawa. 

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now