44. Makan Malam

1.3K 125 30
                                    

44. Makan Malam

Meja makan persegi panjang di ruang makan rumah Fatih dan Freya dipoles lebih rapi. Dialasi taplak cantik yang dihiasi sulaman Bunga Seroja di setiap sudutnya. Hidangan ditata memanjang di tengah-tengah. Piring makan dan peralatannya dijejerkan rapi beserta gelasnya melingkari menu makanan yang disajikan. 

Menu yang dimasak Freya dan Fatih bersama-sama terdiri dari ayam goreng saus mentega, tahu dan tempe bacem, capcay bakso, sayur asem, sambal matah, lalapan mentah, rempeyek kacang dan teri asin kiriman Runi tersaji melengkapi menu menyambut kedatangan Sarah. Freya juga menyiapkan dessert serta makanan lainnya, yaitu puding leci dan asinan betawi lengkap dengan kerupuk melarat. Untuk puding dan asinan, Freya tidak membuatnya sendiri, ia membelinya karena waktu sudah tak memungkinkan untuk menambah olahan. 

“Ayang, ini sudah cukup belum ya? Kayaknya masih kurang deh. Beli tambahan apa lagi ya?” tanya Freya yang sibuk memeriksa ulang tatanan meja makan.

Fatih merangkul Freya, mengecup sayang pelipis istrinya yang sudah segar dan wangi setelah mengguyur diri selepas memasak tadi, sama seperti dirinya. “Ini sudah lebih dari cukup. Sudah banyak banget. Kalau misalnya masih kurang, mending kita ajak ibu wisata kuliner. Di PRJ lagi digelar bazar makanan khas DKI.”

“Ide bagus,” tukas Freya setuju. “Kita harus menjamu ibu dengan baik dan benar. Ibu saja selalu menjamu bak kedatangan putri keraton setiap kali aku berkunjung ke Kuningan. Tapi, tadi pas kamu cobain masakanku beneran udah enak kan? Nggak ada yang keasinan kan?” berondong Freya pada Fatih yang dari nada bicaranya kentara tak percaya diri. 

Ia sangat antusias mendengar Sarah akan berkunjung ke rumah dan menginap beberapa hari. Freya yang tumbuh tanpa kehadiran seorang ibu, sangat ingin membuat terkesan sosok ibu yang kini dimilikinya. Hanya saja kemampuannya memasak yang belum terlalu mahir menurutnya membuatnya diserbu khawatir, takut mengecewakan ibu mertuanya. 

“Semua menu yang dimasak beneran sudah pas cita rasanya, sudah enak. Aku jamin ibu pasti suka, soalnya selera lidahku sama ibu itu nggak jauh beda. Setiap makanan yang menurutku enak, biasanya ikut cocok juga di lidah ibu. Jangan resah gelisah begitu, ibu itu cuma dikasih goreng tempe aja udah seneng banget. Ini bukan bualan ya, aku bicara fakta. Aku melihatnya sendiri ibu makan lahap hanya dengan goreng tempe buatan Kak Nisa, sewaktu Kak Nisa dan Bang Fahri baru menikah dan ibu bertamu ke rumahnya ditemani aku. Kala itu Kak Nisa yang masih pengantin baru belum begitu mahir memasak, jadinya kamu nggak usah khawatir berlebihan.” 

Fatih menceritakan sepenggal kisah di masa lalu untuk menenangkan istrinya yang resah dan itu manjur membuat Freya berangsur lebih tenang. Freya menoleh pada suaminya, menjauhkan diri sedikit.

"Aku udah rapi belum? Coba lihat dulu. Baju ini udah sopan belum buat nyambut kedatangan orang tua?" Freya meminta pendapat sembari berputar. Terkhusus sore ini Freya memakai terusan polos warna hitam selutut, menanggalkan baju kebangsaannya. 

Fatih mengetukkan telunjuk di dagu. "Udah cocok banget buat mantu idaman. Selain sopan, juga bikin kamu tambah cantik. Walaupun sebenarnya lebih cantik lagi kalau nggak pakai baju," cicit Fatih, lantas mengedip penuh arti. 

"Dih! Libur sehari jangan cabul bisa nggak sih?" 

Bunyi deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah menginterupsi adu mulut seru Freya dan Fatih. Suara kendaraan yang cukup familiar. Si tomboy gegas berlari ke depan untuk membukakan pintu dengan Fatih yang mengekori di belakangnya.

“Selamat datang di rumah kami, Bu.” Freya menyambut penuh rindu seraya mencium punggung tangan ibu mertuanya. Senyumnya merekah kian lebar saat Sarah mengelus kepalanya dengan pijar sayang yang nyata. “Aku kangen Ibu,” cicit Freya sembari tersenyum manis. 

“Ibu juga kangen berat. Udah lama kita enggak ngobrol-ngobrol, ya. Fatih bilang kamu makin jago masak? Pasti hebat,” ujar Sarah menyanjung bersemangat, menciptakan semburat merah di pipi Freya, antara malu juga senang dipuji demikian.

“Ibu buktikan saja sendiri. Hari ini Freya memasak banyak menu buat menyambut ibu dan aku cuma bantu ngiris-ngiris saja. Freya ingin menjamu ibu katanya dan kujamin semua masakannya enak.” Fatih menimpali dengan bangga, membuat Freya makin merona saja. 

"Ayang, malu ih. Aku masih amatiran. bukan chef internasional!" bisik Freya geram. 

Freya menggandeng Sarah masuk. Ternyata ibu mertuanya bukan hanya datang bersama Fahri, Nisa dan Rio pun ikut serta berkunjung. Bukan hanya mengantar. Keriuhan memenuhi ruang makan rumah Fatih, dilengkapi celoteh Rio yang sesekali ingin digendong Freya lantas kembali lengket dengan neneknya. 

Makan malam kali ini semua orang makan bersama dengan lahap. Sarah memuji hasil masakan Freya begitu juga dengan Fahri yang melakukan hal serupa. Hanya Nisa yang tidak menimpali, tertunduk sibuk dengan isi piringnya, mengunyah dan menelan tanpa berkomentar. 

“Tahu tempe dimasak begini tuh favorit bapak. Pasti bapak suka sama baceman buatan kamu,” puji Sarah bukan hanya sekadar di mulut saja. 

“Yang benar, Bu? Kalau gitu, nanti aku buatkan sebelum ibu pulang ke Kuningan, biar bapak bisa nyicip masakanku juga.” Freya semringah tiada tara saat hasil masakannya disukai, bahkan Sarah menambah porsi membuat Freya merasa dihargai dan diapresiasi, atas usahanya yang telah memasak sepenuh hati. 

Makan malam berlanjut dalam suasana hangat. Semua orang berinteraksi akrab. Bahkan Nisa pun memasang senyum lebar meski tampak terpaksa. Yang dilakukan Nisa setelah Fahri menginjak kakinya di bawah meja sebagai ultimatum peringatan. 

Usai makan malam dilanjutkan dengan acara bercengkrama akrab. Selama di rumah Fatih, Fahri tak lepas menempeli Sarah ke manapun dengan menggunakan Rio. Si bocah itu terus lengket karena memang pada dasarnya Rio sangat dekat dengan neneknya. Fahri tidak membiarkan ibu sambungnya itu memiliki kesempatan berduaan dengan Freya walau hanya sedetik. Sangat waspada guna memastikan perihal jamu yang diberikannya diam-diam kepada Freya tak tersinggung sama sekali. 

“Sebetulnya Ibu kepingin nginep di sini, ada yang pengen diobrolin panjang sama kamu, banyak hal. Tapi ini Rio nggak mau lepas, pinginnya sama Ibu terus.” Sarah bertukar kata dengan Freya di dapur bersama Rio yang tak mau lepas dari gendongan. Bukan hanya Rio, Fahri pun tanpa jeda membuntuti. Laksana anak ayam yang menempeli ibunya. Memerhatikan melalui ekor matanya gerak-gerik si adik ipar dan ibu sambungnya. 

“Nggak apa-apa, Bu. Masih banyak waktu lain walaupun nggak sekarang, kelihatannya Rio juga lagi kangen banget sama Ibu, mungkin masih belum terbiasa berjauhan dengan nenek dan kakeknya.” Freya memaklumi, meskipun sejujurnya ia juga rindu. Sarah hadir mengisi kekosongan sebagai sosok ibu yang telah lama tiada dari kehidupannya. 

“Kayaknya memang begitu. Abang juga bingung, Rio ini kayak perangko kalau sudah ada ibu.” Fahri terkekeh ikut nimbrung, entah dari mana datangnya. 

"Ibu pulang dulu ke rumah Fahri ya, Frey. Besok siang kalau Rio sudah nggak nempel terus, ibu ke sini lagi. Sekalian biar kita bisa masak bareng sambil ngobrol-ngobrol.” 

Freya mengangguk, mencium punggung tangan mertuanya dan mengantar ke depan rumah. “Aku tunggu, Bu. Tapi kalua Ibu enggak memungkinkan ke sini lagi, biar aku yang ke rumah Bang Fahri. Kita bisa masak bareng di sana juga.” 

“Kamu benar. Kalau gitu ibu pamit dulu ya, Sayang. Makasih banyak atas jamuannya, ibu suka sekali.”

Nisa ikut berpamitan berbasa-basi sebelum naik ke mobil. Masih tetap dengan keangkuhan yang terpampang nyata. 

"Makasih buat makan malamnya," ketus Nisa sebelum menutup pintu mobil yang sebenarnya malas mengucap terima kasih. 

Bersambung.

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang