13. Putri Keraton

957 78 0
                                    

Bab 13. Putri Keraton

Akhir pekan tiba. Waktunya Fatih dan Freya berangkat ke Kuningan sesuai rencana. Keduanya tampak sudah bersiap di teras rumah Anwar. 

"Beh, kami berangkat ya," ucap Freya.

Freya mencium punggung tangan Anwar begitu juga dengan Fatih yang melakukan hal serupa. Di pagi buta Fatih sudah datang ke kediaman Anwar, menjemput Freya untuk pergi bersama ke Kuningan memenuhi permintaan orang tuanya mengajak calon istrinya ikut serta.

"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Kabari kalau sudah sampai. Sampaikan salam Babeh buat kedua orang tuamu," jawab Anwar yang mengusap sayang kepala Freya lalu disusul menepuk-nepuk pundak Fatih. 

"Siap, Beh, saya akan langsung mengabari begitu kami sampai. Do'akan perjalanannya lancar." Fatih menyahuti sembari mengambil alih tas ransel yang dibawa Freya.

"Sebaiknya segera berangkat, mumpung masih pagi, sebelum terjebak arus macet libur akhir pekan." Anwar berkata sambil melirik jam dinding sederhana yang menghiasi ruang tamu. 

Keduanya bergegas pergi sebelum matahari terbit sempurna, tancap gas menaikkan kecepatan sebelum kemacetan menyesakki jalanan ibukota. 

*****

Cuaca hari ini cerah berawan, sangat ideal untuk bepergian. Beruntung daerah-daerah yang biasa ramai dipadati kendaraan sudah dilalui begitu sang surya menampakkan pesonanya, sehingga kemacetan tak menjegal perjalanan mereka. 

Setelah menempuh waktu hampir empat setengah jam lamanya, mereka pun tiba di daerah kelahiran Fatih sekitar pukul sepuluh lebih. Letaknya lumayan jauh dari pusat kota Kuningan. Kira-kira tiga puluh menit waktu tempuh dari pusat kota.

Gadis yang duduk di sebelah Fatih masih memejamkan mata. Satu jam lalu, si tomboy berhenti mengoceh dan jatuh tertidur dengan gaya cueknya yang jauh dari kata anggun. Fatih terkekeh renyah melihat cara tidur sang tunangan yang serampangan sesaat setelah selesai memarkirkan mobilnya dengan manis di pekarangan rumah orang tuanya.

Ditepuknya pelan pipi gadisnya. Freya merespons dengan menggeliatkan tubuh, mata memesonanya yang pancarannya selalu begitu hidup mengerjap dan menatap memicing pada Fatih. 

"Di mana ini?" tanyanya masih dengan sisa-sisa kantuknya. Menutup mulutnya yang menguap. 

"Ini udah nyampe di kampung halamanku. Ayo turun," ajak Fatih sembari mendorong tuas pintu mobil. 

Rumah orang tua Fatih tampak ramai, hiruk-pikuk dengan kegiatan orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk. Ada yang memanggul sayur mayur, ada yang mengangkut perabotan, ada pula yang membawa hewan ternak.

Freya merasa sedikit gugup. Pasalnya ini adalah kali pertamanya berkunjung ke rumah orang tua kekasihnya. Selama berpacaran, Freya belum pernah berkunjung ke sini. Sejumput rasa khawatir hinggap di kalbu, takut kedatangannya tak disambut hangat. 

Fatih menarik lengan sang tunangan untuk masuk lantaran Freya terus bergeming di dekat pintu mobil. Suara heboh terdengar dari dalam menyebut-nyebut nama Fatih dan Freya. Siapa lagi kalau bukan Sarah, ibunya Fatih.

Sarah menghambur keluar setelah salah seorang yang membawa perabotan melaporkan bahwa Fatih sudah datang. Dia bergegas menyambut anak bungsunya yang datang bersama tunangannya. Memeluk Fatih penuh sayang lalu merangkul Freya kemudian.

"Duh, kangennya. Gimana kabarmu, Frey?" tanya wanita usia lima puluhan berpostur mungil itu. Jika Sarah berjejer dengan suami dan juga anak menantunya, maka sudah pasti dirinya lah yang paling mungil.

"Kabar saya baik, Tante," sahut Freya sopan.

"Kok Tante sih, kayak sama orang asing aja. Panggil Ibu, sebentar lagi kamu kan jadi menantu di keluarga ini, biar terbiasa. Iya kan, bungsu?" ujarnya meminta pendapat Fatih..

"Haish. Bu, jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku sudah bukan anak kecil!" Fatih melayangkan protes sembari memutar bola matanya malas. Sarah terkikik geli melihat reaksi anak bungsunya. Dia memang sangat suka menggoda Fatih dengan sebutan masa kecilnya.

"Ayo, Frey, biasakan. Panggil Ibu," pintanya lagi begitu gigih, sangat mirip dengan sifat Fatih yang pantang menyerah.

"Eh, i-iya. Baiklah ... Bu." Freya berkata masih dengan nada canggung yang kentara. 

Meskipun Sarah sangat baik padanya setiap kali berjumpa, tetapi tidak memudarkan rasa segan dan hormatnya pada calon mertuanya itu, justru rasa kagumnya bertambah berkali-kali lipat pada sosok ramah juga penyayang ini.

"Nah, gitu kan lebih enak didengar. Ayo, masuk. Kalian pasti capek kan? Istirahat di dalam sambil ngadem."

Mereka berjalan beriringan memasuki rumah yang lumayan luas itu. Bangunannya bergaya klasik dengan sentuhan budaya Sunda yang kental. Banyak elemen-elemen kayu juga bambu mendominasi. Lantai keramiknya pun bercorak bebatuan, belum lagi di luar rumah sekelilingnya ditumbuhi banyak tanaman menjadikan kesan asri begitu terasa. Mulai dari berbagai macam bunga di halaman depan, pohon buah-buahan beraneka ragam tumbuh subur di samping kanan, juga kolam ikan yang cukup besar di samping kiri bangunan.

Semua orang yang sedang bertugas berbenah untuk acara selamatan di kediaman orang tua Fatih menyambut hangat begitu Fatih dan Freya datang. Menyapa ramah dan mengangguk sopan. Membuat si tomboy yang awalnya didera khawatir menjadi salah tingkah merasa disambut bak putri keraton. Untung saja tidak ada gamelan juga yang dimainkan, kalau tidak, Freya pasti merasa harus memakai sanggul dan konde saat ini.

Di desa kelahiran Fatih, asas kekeluargaan dan gotong royong para warganya masih terpelihara dengan baik. Setiap kali ada yang mengadakan hajatan maupun selamatan, semua warga berduyun-duyun ikut berpartisipasi, terlebih lagi jika keluarga Juragan Wisesa yang sangat dihormati yang mengadakan acara.

Fatih langsung mengantar Freya ke kamar tamu seperti yang diperintahkan Sarah padanya. Kamar tamu jendelanya menghadap samping kiri di mana kolam ikan berada, sekelilingnya ditumbuhi tanaman pandan yang ditanam berjejer rapi menyerupai pagar. Saat jendela dibuka, udara sejuk dan sinar matahari langsung menerobos masuk begitu menyenangkan. Freya tersenyum gembira disuguhi pemandangan asri yang cukup langka bagi para warga ibukota

"Istirahat dulu di sini sementara menunggu makan siang. Acara selamatan akan diadakan sore hari hingga malam. Atau, mau istirahat di kamarku?" Fatih yang berdiri di ambang pintu menyeringai jahil.

"Hih, dasar modus. Sana pergi ke kamarmu sendiri!" Freya mendengus sembari bersungut-sungut.

"Kalau kangen, kamarku yang yang paling ujung," ujar fatih dengan kerlingan penuh arti.

"Dih, tidak terima kasih! Keluar sana! Aku mau istirahat." Freya mengusir dan mendorong Fatih supaya menyingkir dari tempatnya berdiri bermaksud menutupkan pintu. Tak membuang kesempatan, Fatih menarik pinggang Freya dan mencuri kecupan di bibir Freya sekilas.

"Selamat beristirahat, Honey bunny sweetie." Fatih menyeringai puas. Mengacak rambut Freya dan segera minggat dari sana guna menghindari tornado kepalan tangan yang mungkin saja tiba-tiba menghantam.

"Dasar nekat!" pekik Freya kesal bersama tinju memukul udara. Sedangkan si pelaku terbirit-birit berlari menggunakan jurus langkah seribu. 

Freya celingukan. Menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri takut aksi Fatih barusan diperkgoki orang. Meniupkan napas lega, semburat merah tampak merebak di pipinya kini. Ia meraba wajahnya yang memanas dan segera menutup pintu sambil melipat bibir mengulum senyum tersipu.

Bersambung

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang