49. Isak Pilu

827 53 3
                                    

Bab 49. Isak Pilu

"Enggak mungkin. Itu enggak mungkin Freya." Sarah masih menyangkal. Ingin mendustakan kenyataan di depan matanya. 

"Tapi itu memang Freya, Bu. Andai bisa, aku ingin menggantikan posisi Freya di dalam sana." Fatih tampak hancur. Kesedihan mendalam tercetak jelas di wajahnya. 

Tangisan Sarah pecah tak tertahankan saat mendengar jawaban lirih putra bungsunya. Tersedu-sedu seraya bersimpuh di lantai keramik rumah sakit. Merasa bersalah begitu dalam lantaran tak mampu meredam emosi, terlampau tunduk pada amarah yang mengerubuti. Memukul-mukul dadanya sendiri yang kini sebah luar biasa. 

Freya pasti terlibat kecelakaan karena mengejarnya. Andai saja dirinya bisa menyikapi temuannya dengan kepala dingin, andai saja dia bersedia mendengar penjelasan Freya sebentar saja, andai tak membiarkan diri dikendalikan amarah dan mau menurunkan ego untuk membicarakannya baik-baik, mungkin peristiwa nahas ini takkan terjadi. 

"Freya, kenapa jadi begini, Nak? Kenapa jadi begini Ya Tuhan," isaknya pilu penuh ketakutan juga rasa bersalah. 

Sudah tiga jam Freya ditangani di ruang bedah, tetapi lampu indikator di atas pintu ruang operasi masih saja menyala, pertanda tindakan pertolongan media masih dilakukan. Sudah dipastikan lukanya cukup parah, mengingat begitu lamanya tim dokter bekerja di dalam sana. 

Nyonya Camelia menghampiri. Berbicara panjang lebar pada Fatih juga Sarah yang termangu di sekitar ruang operasi. Ternyata Nyonya Camelia berada di tempat kejadian saat kecelakaan nahas yang menimpa Freya terjadi, menjelaskan bahwa Freya menjadi korban tabrak lari.

"Saya menyaksikannya dengan mata kepala sendiri bagaimana si mobil kijang mengebut dan menabrak motor trail yang sedang melaju kencang," terangnya. 

Mobil yang ditumpanginya tengah berhenti di lampu merah simpangan kanan arah datangnya si mobil penabrak. Nyonya Camelia juga memberi tahu ciri-ciri mobil dan sempat mencatat nomor platnya, yang sudah pasti diperlukan untuk dijadikan sebagai bukti kelengkapan penyelidikan polisi nantinya.

Nyonya Camelia baru mengetahui bahwasanya korban yang ditolongnya bersama pengendara lain adalah istri dari dokter favoritnya. Dia pun menyampaikan kata-kata penghiburan, juga menyatakan bersedia menjadi saksi atas kecelakaan yang menimpa Freya bila diperlukan. 

"Jangan ragu menghubungiku, Dokter Fatih. Dari penelaahanku sekilas di lapangan, entah kenapa kejadian ini terasa mencurigakan, seperti disengaja, bukan sekadar kebetulan," tutur Nyonya Camelia pada Fatih sebelum berpamitan undur diri. 

Wajah Sarah sudah sembap sepenuhnya dengan kelopak membengkak dan mata memerah. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Freya, maka dipastikan putranya pasti akan lebih hancur dibandingkan dirinya. 

Sarah menatap perih pada Fatih yang tergugu. Nampak jelas putranya itu terpukul jiwanya. Sarah sungguh menyesal dengan impulsifnya, meski begitu rasa kecewa masih menghinggapi perihal jamu yang ditemukannya. 

Sarah memilih menunda hal yang tadi sangat ingin disampaikannya pada Fatih dikarenakan kejadian mendadak ini. Untuk sekarang kondisi Freya lebih penting ketimbang jamu temuannya. Nyawa lebih utama. 

"Bu, apakah Juragan Wisesa dan Pak Anwar sudah diberitahu? Mungkin Anda lupa mengabari. Sebaiknya mereka segera diberitahu, khawatir terjadi hal yang tak diinginkan, setidaknya mereka sudah mendapat kabar." Mang Nanang yang juga ikut menunggu di dekat ruang operasi mengingatkan majikannya. Karena sejak tadi baik Sarah terlebih Fatih tampak tidak ingat memberikan kabar mencengangkan ini pada keluarga besar kedua belah pihak. 

"Mengabari?" Sarah yang masih terisak-isak menyahuti seperti orang linglung. 

"Iya, Bu. Pak Wisesa terutama Pak Anwar berhak tahu kondisi Neng Freya." Sekali lagi Mang Nanang menyarankan dan akhirnya Sarah tersadar akan hal itu. 

"Mang Nanang benar. Makasih sudah mengingatkan. Saya benar-benar kalut Mang." Sarah menyusut sudut mata basahnya. Hendak bersegera menghubungi Wisesa juga Anwar, tetapi kemudian teringat ponselnya tertinggal di kamar Rio. 

Semula Sarah berniat meminjam ponsel Fatih untuk menghubungi, tetapi putranya itu sejak tadi tak bisa diajak bicara. Fatih terdiam duduk dengan tatapan kosong di kursi tunggu, seolah raganya tak bernyawa sambil memeluk helm yang sudah tergores dan bernoda merah di pangkuan.

"Mang, antar saya ke rumah Fahri sekarang. Ponsel saya ketinggalan di kamar Rio. Jadi susah berkomunikasi," pintanya pada Mang Nanang yang tetap setia turut menunggu di sana. 

"Baik, Bu. Saya ke parkiran sekarang. Nanti Bu Kades tunggu di lobi saja. Tidak usah ikut ke basement, kejauhan."

"Kalau bisa cepat ya, Mang." 

"Baik, Bu."

Sarah memutuskan pulang sebentar ke rumah Fahri guna mengambil ponsel untuk menghubungi Wisesa juga besannya, sekalian memberitahu Fahri dan Nisa tentang kecelakaan yang menimpa Freya. Sebelum pergi, Sarah bergumam pelan pada Fatih untuk berpamitan, meski mungkin putranya itu tidak mendengar.

"Fatih, Ibu pulang dulu sebentar ke rumah Bang Fahri. Mau ambil handphone yang ketinggalan. Ibu janji enggak akan lama dan bakal langsung kembali ke sini." 

Fatih menoleh tanpa kata, hanya menganggukkan kepala tipis saja. 

"Baik-baik di sini. Kamu harus kuat." 

Sepeninggal Sarah, Fatih masih bergeming di tempatnya. Pikirannya seakan tidak sedang berada di kepalanya, melayang terus tertuju pada si belahan jiwa. 

Kenangan demi kenangan manis bergulir silih berganti di benaknya. Momen momen indah bersama Freya terus memenuhi kepala. Bagaimana cara Freya tertawa dan tersenyum padanya semuanya berputar-putar ibarat gasing berujung tajam. Menusuk hatinya kian nyeri dan nelangsa saat terlintas kemungkinan semua itu terenggut dari sisinya. 

"Freya, Sayang. Kamu pasti tahu aku enggak sekuat itu. Tolong, bertahanlah."

Aditya yang mendengar kabar mengejutkan tentang istri Fatih langsung menyusul ke area ruang operasi. Dilihatnya di sana, temannya itu sedang melamun dengan sudut mata basah, sesekali menjatuhkan genangan tak diundang yang berkumpul di pelupuk. 

"Fatih, aku turut prihatin." Aditya mengungkapkan rasa simpati tulusnya. Dia adalah saksi kisah cinta Fatih dengan Freya. Tahu betul arti Freya bagi Fatih sebesar apa, sehingga sedikit banyak Aditya paham bagaimana takutnya Fatih sekarang. 

"Dit, kenapa harus istriku? Kenapa bukan aku saja? Aku enggak sanggup menanggung semua ini." 

Aditya menghela napas dalam-dalam. Paham betul dengan perasaan Fatih sekarang. 

"Jangan begitu. Kamu harus kuat. Supaya istrimu juga kuat. Aku yakin Freya enggak akan mudah menyerah. Dia itu tangguh." Aditya menderaikan penghiburan menguatkan. 

"Tapi sudah terlalu lama Freya di dalam sana. Istriku pasti nggak baik-baik saja," isak Fatih serapuh kertas. Punggungnya berguncang, memeluk helm kian erat. 

"Tetaplah berpikir positif, jangan serta merta mendahului Sang Pencipta. Lebih baik memanjatkan do'a," imbuh Aditya. Mengajak Fatih berdo'a bersama daripada temannya itu terus tenggelam dalam lautan rasa takut kehilangan.  "Ayo,kita berdo'a bersama untuk memohonkan keselamatan istrimu pada Sang Pemilik Kehidupan. Kita semua tahu, sebagai dokter, yang wajib kita lakukan adalah menolong semaksimal mungkin, tetapi hasil akhirnya hanya Tuhan yang menentukan." 

Fatih balas menatap Aditya. Lantas menganggukkan kepala. 

Bersambung. 

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang