53. Gelap Mata

647 48 1
                                    

Bab 53. Gelap Mata

Hari ini di sekolah, Fahri kesulitan berkonsentrasi. Beberapa kali termenung ketika sedang mengajar, beberapa kali juga membentak anak didiknya tanpa sebab. Kebisingan anak-anak pun membuatnya nyaris tak mampu mengontrol emosi, hampir saja merusak topeng sempurna bak malaikat yang selama ini melekat erat menjadi imagenya. Berprestasi lagi rendah hati. 

Fokusnya terus saja buyar sebab pikirannya terganggu saat mengetahui adik iparnya masih bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan dahsyat. Kecelakaan dengan dirinya sebagai otak dan dalang di balik nasib nahas tabrakan yang dialami Freya. 

"Pak Fahri, maaf. Itu botol minum saya." Heru si guru olahraga yang meja kerjanya bersebelahan dengan Fahri menginterupsi. 

Heru baru kembali masuk ke ruang guru setelah menyelesaikan jam pelajaran yang rampung di waktu memasuki istirahat kelas. Dia baru saja selesai membimbing anak-anak berolahraga lari estafet di lapangan sekolah, bergegas menuju mejanya lantaran kehausan dan hendak mengambil botol minumnya. Hanya saja dibuat terkejut saat melihat Fahri tengah meneguk isi botol minum yang dibawanya dari rumah sampai habis separuhnya. 

Sontak Fahri menghentikan kegiatan melepas dahaga, memeriksa botol warna biru muda yang sedang dipegangnya dan benar saja itu bukan miliknya. 

"Oh, maaf Pak Heru. Saya sedang kurang fokus. Soalnya botolnya mirip dengan punya saya di rumah," Fahri cepat-cepat mengambil tutup botol yang tergeletak di meja. Menutupkannya kembali ke badan botol. "Sekali lagi maaf,* kata, Fahri sopan sembari menaruh si botol yang isinya tinggal seperempat itu. 

"Enggak apa-apa, Pak Fahri. Diminum saja. Mungkin saya lebih cocok bawa galon ketimbang botol minum, biar enggak ketuker," candanya garing. 

Heru terkekeh kering. Mengangguk tipis yang pertanda menerima permintaan maaf Fahri meski sejujurnya hatinya dongkol karet saat ini dia tengar sangat-sangat haus. Butuh minum yang sangat banyak. Juga, walaupun masih tersisa seperempat, Heru enggan meneguk botol minum bekas jejak mulut Fahri, merasa ternodai jika harus minum dari botol yang sama. Karena baginya sama saja berciuman dengan laki-laki. 

"Maklum, Pak Fahri pasti sedang bersedih jadinya pikiran kalut. Iya kan, Pak?" Desti ikut nimbrung. Ikut bersedih saat mendengar musibah yang menimpa Freya.

"Begitulah, Bu Desti. Freya itu sudah saya anggap seperti adik sendiri, bukan cuma adik ipar. Saya sangat terguncang mengetahui Freya kecelakaan. Apalagi kondisi Freya terbilang sangat gawat. Mungkin karena Freya belum bisa menghilangkan kebiasaan mengebut di jalan, jadinya begini." 

Fahri bertutur dengan nada khawatir serta super sedih. Bukan dibuat-buat. Fahri memang sedang bersedih. Akan tetapi, tentu saja bukan sedih karena Freya yang mengalami kecelakaan, melainkan karena rencananya merenggut nyawa Freya gagal total. Berpotensi kebusukannya terbongkar andai Freya berhasil siuman lagi. 

Desti menyusut sudut mata sedangkan Heru menunduk dalam saat nama Freya ikut disinggung di sini. Turut bersedih dan bersimpati. 

"Pak Fahri, kalau boleh, saya ingin tahu di ruangan apa Freya sekarang. Saya ingin menjenguknya sebulan mengajar nanti," pinta Desti yang juga diangguki oleh Heru. 

"Saya juga ingin ikut menjenguk, Pak. Saya ikut ya, Bu Desti," tukas Heru pada Desti yang disambut kata setuju. 

Percakapan mereka mengundang guru-guru lain yang baru masuk ke ruang guru berkerumun. Fahri diserang berbagai macam pertanyaan tentang kondisi Freya bertubi-tubi. Mau tak mau Fahri harus menjawab satu persatu terbungkus keramahan yang selama ini menjadi topengnya. 

Kendati dalam hatinya dia berteriak kesal dan marah, malas menjelaskan kondisi seseorang yang tidak diharapkan keselamatannya. Orang-orang pasti tidak akan menyangka, sosok ganteng dan cemerlang ini merupakan otak kejahatan mengerikan dengan korban adik iparnya sendiri. 

"Kata pak kepala sekolah, nanti sore setelah jam kerja usai kita akan menjenguk Freya sama-sama. Berangkat bareng-bareng ke rumah sakit," ucap salah satu guru berkerudung coklat, menjelaskan membelah kerumunan. "Pak Kepsek bilang, nanti biar, Pak Fahri yang jadi guidenya." 

"Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan simpati untuk adik ipar saya. Tapi sayang sekali, nanti sore saya tidak bisa ikut serta menjenguk bersama, karena saya harus menjemput dulu anak saya di play group. Data baru akan pergi menjenguk ke Satya Medika nanti malam, bersama dengan istri saya." Fahri menjelaskan alasan yang memang hanya alasan. Karena pada faktanya dia benci melihat buruannya masih bernapas. 

"Kalau begitu, saya minta keterangan ruangannya saja, Pak. Tidak apa-apa kalau memang tidak bisa barengan. Anak Oak Fahri juga sama pentingnya. Jangan sampai telat menjemput." 

*****

Fahri sedang mondar mandir gelisah di teras loteng rumahnya. Sejak pulang dari rumah sakit kemarin hingga malam ini dia tak henti  memutar otak mencari cara supaya kejahatannya tidak terendus. Tidak terbongkar. Tetap rapi tak muncul ke permukaan. Karena dengan selamatnya Freya dari kecelakaan jelas merupakan ancaman. 

"Ayo berpikirlah Fahri! Situasi kacau ini di luar prediksi. Aku harus cepat mencari jalan keluar!" geramnya kesal sendiri. "Gunakan otak cerdasmu ini. Ayo berpikir!" 

Lagi, mengayunkan kaki bolak balik secara berulang. Sudah hampir satu jam dia melakukan hal yang sama. 

"Pasti ada cara untuk membungkam Freya tanpa meninggalkan jejak. Pasti ada kan?" tanyanya memaksa pada udara yang berembus kencang menerbangkan dedaunan kering hingga menerpa wajah Fahri. Sepertinya angin pun tak sudi bercengkrama dengan pria berhati busuk dan jahat semacam Fahri. 

"Arghhh! Daun kering sialan! Berani-beraninya mampir di wajah tampanku!" Fahri memaki si helaian daun tak berdosa. Mencampakkannya dan menginjak-injak penuh emosi. 

Fahri menyugar rambutnya kasar. Menjambaknya kencang. Biasanya Nisa akan menjadi sasaran kemarahan jika suasana hatinya buruk. Melampiaskan sisi binatangnya pada wanita kurus budak cintanya itu. Hanya saja saat ini tidak memungkinkan. Banyak hambatan. 

Keberuntungan sedang menghampiri Nisa kali ini. Beberapa sanak saudara dari Kuningan yang beramai-ramai menjenguk Freya menyelamatkannya. Beberapa orang memutuskan menginap di kediaman Fahri mengingat di rumah sakit sudah terlalu banyak orang, membuatnya terpaksa menjaga sikap. Tak leluasa menunjukkan rupa aslinya. 

Fahri terus mengumpat kasar sendirian disahut dersik angin yang bertambah kencang. Putung-putung rokok berserakan sembarangan. Sisa dari bakaran tembakau yang disesap Fahri tak terkendali. 

Tak lama kemudian terbersit ide lain sebagai jalan keluar kegundahannya. Fahri berniat melenyapkan Freya yang terbaring lemah selama-lamanya dengan kedua tangannya sendiri.  

Dia terbahak seperti orang gila dengan kilatan tajam menyambar dari kedua bola matanya. Mengempaskan pinggulnya pada kursi rotan di balkon loteng. Menekan rokok yang masih menyala ke atas asbak. 

“Ini brilian. Dia tidak akan bisa melawan dalam kondisi menyedihkan seperti itu. Ahahaha … selamat tinggal tukang balap penghalang rencanaku. Lebih baik kamu tidur selamanya dan tidak perlu membuka mata lagi!” desisnya mengerikan. Gelap mata, dibutakan ambisi dunia yang menyesatkan, merugikan. Bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. 

Bersambung. 

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now