51. Freya Yang Malang

877 49 1
                                    

Bab 51. Freya yang Malang

Semua yang menjenguk Freya disarankan untuk tidak berkerumun di dekat ruang-ruang ICU. Para perawat yang bertugas di sana memberi pengertian. Menjelaskan bahwa ruang intensif harus dipastikan aman dari kegaduhan. Menjaga situasi kondusif demi pemulihan para pasien yang kondisinya terbilang gawat. 

Perawat yang khusus ditunjuk Dokter Jefry bersiaga di depan pintu ruang ICU di mana Freya berada. Fatih menitipkan istrinya dengan sangat sebelum membawa dua keluarga menjauh dari sana, menuju kursi-kursi yang disediakan di selasar rumah sakit bersama Dokter Jefry yang juga mengikuti. 

"Saya harap seluruh keluarga banyak berdo'a untuk kesembuhan Freya. Masa kritisnya belumlah usai. Juga, ada beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan tentang kondisi Freya terutama pada Anda, Pak Anwar. Saya harap Anda siap dan tabah. Karena bagaimanapun keluarga wajib tahu kondisi pasien yang sesungguhnya." Dokter Jefry membuka perbincangan setelah mereka duduk bersama. 

Anwar menarik napas pendek-pendek. Tampak jelas dia tidak sedang baik-baik saja. Bukan hanya Fatih yang kacau tak karuan. Terlebih lagi mendengar statement pembuka dokter Anwar sudah dapat menebak, apa yang akan disampaikan tentu bukan kabar manis. 

"Silakan bicara, Dokter," kata Anwar lirih, sedangkan Sarah sejak tadi terus-menerus menyusut ujung mata tak henti. 

"Dokter Fatih selaku suami Freya sudah saya beritahu lebih dulu. Kecelakaan yang dialami Freya cukup fatal. Beruntung kepalanya hanya cedera ringan berkat perlindungan helm berkualitas yang sangat baik. Hanya saja tulang pahanya patah, termasuk kategori cedera parah sehingga kami harus membedah dan memasang pen di tulang pahanya. Walaupun tidak selalu, jika Freya pulih nanti, ada kemungkinan jalannya pincang meski kemungkinan buruk ini tipis potensinya."

Mendengar penjelasan dokter, baik isak tangis Anwar maupun Sarah pecah lagi. Sungguh, ini berat bagi Anwar.

"Untuk itu, keluarga harus bahu membahu saling mendukung terutama mendukung Freya. Karena yang saya takutkan adalah kondisi psikis Freya nantinya. Khawatir dia terguncang dan tak dapat menerima keadaan fisiknya sendiri andai kemungkinan buruk itu terjadi."

Anwar didera kesedihan tiada tanding. Seakan dunianya hancur berkeping-keping. Dia sangat takut, senyum putri tercintanya sirna nanti. 

"Usaha dan upaya sudah pasti akan dikerahkan maksimal. Tapi do'a pun sangat dibutuhkan." 

Dokter Jefry undur diri setelah selesai menjelaskan panjang lebar. Menderaikan kata penghiburan sebelum berlalu. 

"Sebaiknya Babeh dan Aldo pulang ke rumah. Ibu juga pulang saja ke rumah Bang Fahri. Kalau tetap di sini juga mau tidur di mana? Nanti pada sakit. Lebih baik Istirahat di rumah sambil berdo'a. Besok, baru kembali lagi ke sini. Merujuk pada peraturan Satya Medika yang memohon dengan sangat agar keluarga pasien tidak terlalu banyak bergerombol di rumah sakit. Biar aku saja yang menemani dan menjaga Freya di sini." 

Fatih bersuara, memberi saran. Sebagai dokter yang juga bekerja di sini, dia sangat paham peraturan dibuat dan harus dipatuhi demi kebaikan bersama. Jangan sampai menjadi contoh buruk bagi juniornya yang kesannya malah jadi menyepelekan profesionalisme. 

"Tapi Babeh tidak mau jauh-jauh dari Freya. Takut ada apa-apa. Babeh tidur di masjid atau musola rumah sakit juga enggak apa-apa, yang penting bisa berada dekat di sekitar Freya. Babeh tidak mau pulang. di rumah pun pasti tidak akan tenang," Anwar menggelengkan kepala berkali-kali. Tidak mau sedetik pun berjauhan dari si sulung yang tengah terbaring lemah. 

Pria paruh baya berkumis itu menolak ide menantunya. Saat ini seluruh jiwa raganya dikerubuti jarum ketakutan juga kecemasan yang siap menghujamkan ketajamannya kapan saja. 

Fatih mengangguk paham. Orang tua manapun pasti akan bereaksi sama seperti Anwar saat mengetahui nyawa anaknya dipertaruhkan di ujung tanduk. Masih belum pasti nasib Freya ke depannya bagaimana. Apakah Freya akan siuman dan berkumpul kembali dengan keluarga, atau justru tak mampu bertahan dan berpulang lebih dulu. 

"Baiklah, tapi tetap tidak boleh terlalu banyak orang, cuma Babeh dan aku saja. 

Akhirnya Anwar tetap berada di rumah sakit, sedangkan Aldo diminta pulang bersama Mirna dan Runi karena bengkel belum ditutup. Sarah juga dibujuk pulang oleh Fatih, tak ingin ibunya yang pucat pasi dengan mata sembap ikut terbaring di rumah sakit. 

Sementara itu, di lorong sepi rumah sakit terlihat sosok tampan berkulit putih sedang mondar-mandir gusar dengan handphone menempel di telinga. Tampak sedang murka, tercermin dari bahasa tubuhnya. 

Siapa lagi kalau bukan Fahri. Sedang mendengus dan memaki. Membentak-bentak dengan kalimat kasar

“Dasar tidak profesional. Kalian semua tidak becus! Target  masih hidup!” geram Fahri murka setelah mengetahui Feya masih bernapas meski terbaring lemah dan tak sadarkan diri. Memaki lawan bicaranya di perangkat jemala miliknya. 

“Sudah kalian pastikan siapa saksi matanya? Cepat bereskan! Aku tidak ingin sampai meninggalkan jejak,” tegas Fahri dengan gigi gemeletuk nyaring sambil mencengkeram ponselnya kuat-kuat.

Fahri sengaja mencari tempat sepi di sekitar gedung kamar mayat. Tak tahan ingin segera menghubungi orang-orang suruhannya setelah melihat kondisi Freya yang ternyata masih bisa tertolong. Tidak sesuai harapannya, karena dia inginnya Freya benar-benar tak bisa diselamatkan lagi agar kebusukannya tetap terkubur rapi. 

[“Maafkan kami. Saksi matanya adalah orang penting bernama Nyonya Camelia, keluarga besarnya merupakan para petinggi kepolisian. Kami tak mau mengambil risiko berurusan dengan mereka. Kami masih ingin hidup bebas.”]

Fahri spontan mengumpat menyemburkan kata-kata kasar. Menendang tempat sampah yang ada di sekitar sana demi melampiaskan kekesalannya. 

“Aku akan membayar dua kali lipat dari bayaranku sebelumnya jika kalian bersedia membereskan si saksi mata. Bagaimana?” Fahri mencoba bernegosiasi dan mengimingi para komplotan penjahat kelas teri itu dengan rupiah yang lebih berlipat, dan Fahri yakin pasti para cecunguk itu akan tergiur. 

[“Maaf sekali. Berapa pun imbalannya kami tak bersedia melakukannya. Lebih baik kami mengembalikan bayaran Anda sebelumnya. Ini terlalu berbahaya dan berisiko. Cukup sampai di sini saja urusan kita. Kami tidak mau bersinggungan dengan Nyonya Camelia.”]

Telepon dimatikan sepihak. Fahri meradang, menatap tajam layar ponselnya, hampir membanting gawai di tangannya itu. Menjambak rambutnya kasar dan memaki penuh amarah. 

“Bangsat! Kenapa malah jadi runyam begini? Arghh! Kenapa cuma bikin orang mokat saja susahnya minta ampun!" 

Fahri membanting apapun yang ada di dekatnya. Menumpahkan kekesalan dari kegagalan yang dialaminya. Membabi buta menendang dan meninju tembok di samping kirinya. 

"Ayolah kepala, berpikir cepat! Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan si tomboy itu sesegera mungkin!" serunya berang. 

Memeras kinerja otaknya untuk berpikir. Fahri mengetuk-ngetukan ponsel di dahinya. Bolak balik mengayunkan kaki di selasar sepi itu. 

Kegiatannya terhenti saat muncul nama Sarah di layar. Mengiriminya pesan teks yang berisi ajakan pulang. 

Bersambung.

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang