AYTS

1K 41 0
                                    

AYTS BAB 3. Menyiram Kembali

“Rumah yang di Jakarta biar Babeh yang urus. Jangan khawatir.” 

Anwar menepuk pundak Fatih dan mengusapnya. Mereka tengah bersantai di gazebo samping rumah selepas makan malam, sementara Freya sudah kembali kamar karena mengeluh lelah. Banyaknya obat-obatan yang dikonsumsinya berimbas menyebabkannya lebih cepat mengantuk.

“Iya Beh, makasih banyak. Mungkin daripada kosong, lebih baik dikontrakkan saja, sekalian biar ada yang merawat.” Fatih menyahuti di sela-sela meneguk teh lemonnya. 

“Babeh setuju. Kalau rumah dibiarkan tak berpenghuni dalam kurun waktu lama, biasanya cepat lapuk. Nanti Babeh buatkan banner untuk dipasang di depan rumahmu." Anwar mengajukan usulan seraya mematikan rokok kreteknya ke dalam asbak.

Fatih mengangguk. “Aku serahin semuanya sama Babeh."

Wisesa yang baru datang, ikut menukas dan bergabung duduk di gazebo. “Besok, istrinya Mang Nanang akan datang. Mang Nanang dan istrinya akan ikut tinggal di sini untuk membantu pekerjaan rumah juga menemani kalian, biar Freya juga ada teman kalau kamu bekerja. Pekerja yang biasa beres-beres vila tetap akan datang seminggu dua kali seperti biasa. Dia tidak bisa datang setiap hari, karena harus mengurus kebun palawija kita juga.” 

“Saya ucapkan terima kasih pada Pak Wisesa sekeluarga, atas curahan perhatian juga kasih sayang untuk kesembuhan anak sulung saya, Freya. Semoga Freya lekas sembuh seperti sedia kala,” ungkap Anwar penuh syukur, meskipun gurat kesedihan tak dapat disembunyikan di wajah ayah Freya itu. 

“Freya juga putri kami,” sahut Wisesa yang kemudian menarik napas panjang. “Dan kemalangan yang menimpa Freya juga merupakan perbuatan putra sulung saya. Saya merasa malu pada Anda, Pak Anwar, beribu maaf seumur hidup kami pun, mungkin takkan bisa menebus semua kesalahan Fahri pada Freya.”

Wisesa menunduk sendu. Terkadang masih sulit percaya akan kenyataan yang tersaji di hadapannya. Anak sulungnya, telah tega mencelakai istri dari putra bungsunya akibat dibutakan ambisi akan harta warisan.

“Fahri sudah mendapatkan balasan atas perbuatannya. Itu sudah cukup. Saya hanya berdo’a, semoga jeruji besi mampu mengubah Fahri menjadi sosok yang lebih baik lagi. Berkumpul lagi di tengah-tengah kita nantinya, dalam lingkupan kehangatan keluarga yang damai. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya seburuk apa pun mereka."

Anwar memang marah, tetapi sebagai sesama orang tua, dia paham besannya pasti sedih dengan kenyataan tak terduga ini. Sama seperti dirinya menyayangi Freya, seburuk-buruknya Fahri, Wisesa sebagai seorang ayah pasti juga menyayangi anak sulungnya itu, yang kini mendekam di penjara sebagai ganjaran dari perbuatan kejinya yang hampir merenggut nyawa Freya.

“Terima kasih, Pak Anwar, atas do’anya. Beruntung Fatih memiliki mertua seperti Anda, yang penuh pengertian dan pemakluman.”

“Ayo dimakan dulu pudingnya. Ini panacota nanas, kebetulan tadi sore Ibu lihat ada nanas matang di belakang rumah. Yuk dinikmati.” Sarah datang ikut bergabung membawa senampan panacota di tangan. Sambil menikmati manis dan segarnya puding, mereka bercengkerama panjang lebar membahas banyak rencana perihal kehidupan Fatih dan Freya ke depannya. 

Pukul sembilan malam, kumpulan di gazebo bubar dan masuk ke kamar masing-masing. Fatih mengendap-endap masuk ke kamarnya dengan langkah pelan takut membangunkan Freya. Di dalam sana, ternyata istrinya itu masih terjaga, sedang bersandar di kepala ranjang dengan buku di pangkuan.

“Kenapa belum tidur, hmm?” Fatih mengusap rambut Freya. Mengecup keningnya sekilas lalu duduk di tepi ranjang. “Bukannya tadi ngantuk?”

“Aku … aku nunggu kamu, kan tadi sore udah janji,” jawab Freya sangat pelan sembari menggigit bibir. 

“Huh? Janji apa?” tanya Fatih kemudian, mengernyitkan kening.

Memberanikan diri dalam kecanggungan, Freya menaruh bukunya, menatap sayu manik tajam memukau sang suami. “Aku … kangen dibelai kamu,” cicitnya, berupaya mendorong rasa percaya dirinya. 

Fatih terkekeh pelan. Menempelkan keningnya di kening Freya dengan mata memejam. Embusan napas mereka saling membelai wajah masing-masing.

“Aku juga kangen, sampai hampir gila rasanya,” desah Fatih dengan deru napas berat.


Fatih menyelipkan sebelah tangannya ke belakang tengkuk Freya. Menariknya mendekat, mendaratkan kecupan mesra di ranumnya bibir sang istri.

“Jangan memaksakan diri. Tunggu sampai kamu pulih benar, kita bisa menunda, masih banyak waktu,” ucapnya yang kini mengangsurkan punggung tangan membelai lembut sisi wajah cantik wanita pujaannya.

“Tapi, aku maunya sekarang.” Freya setengah merengek, merengkuh wajah Fatih dan balas mengecupkan bibir, setengah memagut. 

“Aku takut nyakitin kamu." Kalimat Fatih parau juga lirih, antara ingin dan khawatir. 

“Enggak akan! Aku percaya kamu pasti bisa membimbingku walaupun kondisiku begini. Kita bisa lakukan dengan hati-hati, pelan saja, kumohon," pintanya penuh harap.

Freya memelas, membuat Fatih tak tega. Sejujurnya, saat ini keinginan Fatih menyatu dengan Freya bergolak dan berdesir hebat dalam nadi. Tak munafik, ia pun sangat rindu bersentuhan kulit dengan istrinya, ingin mencurahkan cinta dalam lautan bergelora setelah libur berbulan-bulan tak menggauli.

"Tapi, ingatkan aku nanti, kalau-kalau aku lepas kendali juga lupa diri dan malah nyakitin kamu," jawab Fatih yang akhirnya menyetujui, napasnya berderu, berangsur-angsur memburu.

Freya mengangguk, merekahkan senyum cantik meyakinkan prianya.

Memantapkan hati, Fatih bergerak naik ke atas kasur, memberi apa yang Freya mau, juga demi memenuhi kekosongan jiwanya yang sempat menganga beberapa waktu.

Dalam lingkupan selimut gulita bersama dinginnya embusan angin malam, diiringi maestro alam simfoni suara jangkrik di kebun belakang, mereka kembali meleburkan raga penuh buncahan rasa rindu setelah sekian lama.

Saling mengisi kekosongan satu sama lain, membebaskan dahaga keinginan memadu kasih. Mereguk rakus manisnya cinta, mengisi penuh cawan madu asmara yang telah lama tak terisi. Menyirami ladang nafkah batin mereka yang mulai kerontang menjadi basah kembali.

Hanya saja Freya merasakan hal berbeda. Setelah dirinya dilambungkan nikmat melayang ke nirwana, beberapa saat kemudian seberkas rasa ngilu hebat menghantam bagian perut bawahnya. Namun, Freya memilih diam, mengigit bibir kuat-kuat berupaya untuk tidak mengerang sakit.

Ia tidak ingin merusak suasana intim nan syahdu yang baru saja melingkupi mereka kembali, tak sampai hati mengusik rasa kemenangan yang baru saja membanjiri pria tercintanya. Bungkam, tak mengeluhkan apa pun pada Fatih, yang tak lama kemudian Fatih terlelap dalam senyuman lega bahagia sembari memeluknya erat.

Bersambung.

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now