AYTS

138 7 0
                                    

BAB 2. Rumah Baru

Lembang.


Selalu identik dengan hawa sejuk serta pemandangan segar di mata. Tak jarang kabut turun menyambangi di kala hari masih pagi.

Di situlah letak rumah tinggal yang lebih pas disebut vila yang akan menjadi hunian Fatih dan Freya. Bangunan luas tersebut didominasi dengan aksen kayu-kayuan yang dipadu padankan dengan gaya bangunan modern. Minimalis klasik dan asri begitu kental terasa. Gerbang pagarnya pun terbuat dari paduan kayu dan besi dengan gapura yang dinaungi genteng jatiwangi. Di halaman depan, berbagai macam bunga-bungaan juga beberapa pohon palem tertanam serasi. 


Di bagian samping, terdapat anyaman besi melengkung ditumbuhi pohon Markisa dengan buahnya yang bergelayut tumbuh subur. Sementara bagian belakang bangunan, langsung terhubung ke kebun palawija yang tidak terlalu luas namun hamparan hijaunya mampu memanjakan mata. Rumahnya memiliki desain satu lantai sehingga lebih ideal untuk Freya yang harus menghindari bangunan bertangga, jendela di bagian belakang lebih banyak terpasang guna pasokan ventilasi udara yang memadai. 


Menjelang sore mereka tiba. Fatih langsung meraup Freya dan mendudukkannya ke atas kursi roda. Mendorongnya masuk ke dalam bangunan yang akan mereka tinggali mulai saat ini. 


“Di sini segar dan asri. Aku suka. Beda dengan Jakarta yang penuh sesak dengan polusi,” cicit Freya begitu masuk ke dalam, tatapannya berbinar menyapu ke seluruh penjuru disertai senyum senang tercetak jelas. 


Fatih mendorong kursi roda menuju area dalam, memasuki pintu tinggi sebuah ruangan besar yang jendelanya langsung menghadap ke area kebun lepas palawija. Ranjang besar berseprai putih berkelambu, berada di tengah-tengah ruangan dan di langit-langitnya dihiasi lampu kristal klasik tempo dulu. Furniturnya banyak mengadopsi ukiran Jepara, kesan indah juga estetik begitu kuat terasa. 


Fatih membuka jendela yang kebetulan menghadap Barat, membiarkan sejuknya desau angin sore berpadu hangatnya sulur mentari yang sedang bersiap berpamitan menyapa membelai kulit. Kursi roda dikunci agar tidak bergerak, Fatih berjongkok dengan satu lutut mendarat di lantai di salah satu sisi kursi roda Freya. 


“Ini kamar kita. Syukurlah kalau kamu suka. Sejak dulu, aku juga sangat suka saat berlibur ke sini. Udaranya dingin dan menyenangkan, terlebih lagi sekarang aku di sini sama kamu,” bisik Fatih tepat di telinga Freya, membuat si empunya menoleh dan menelengkan kepala.  


“Memangnya kenapa kalau ada aku?” tanya Freya dengan mata memicing. 


“Kalau ada kamu, ada yang bikin aku hangat kalau kedinginan malam-malam,” jawab Fatih dengan nada penuh arti. 


“Cih, memangnya aku kompor!” Freya berdecih. Terkekeh sembari memukul pundak Fatih. Ia amat paham akan kalimat yang dimaksud suaminya.


“Tapi itu patut dicoba bukan? Supaya tahu sensasinya merapat denganmu berselimut udara dingin. Gimana kalau malam ini kita buktikan?” Fatih menaik turunkan alisnya menggoda, menikmati wajah Freya yang tersipu.


“Hih. Udah ah, nanti kedengeran ibu sama bapak. Aku malu!” serunya galak.

Freya menutupi wajahnya yang sudah pasti bersemburat merah. Fatih sangat suka menggodanya walaupun semenjak kejadian nahas yang menimpanya kegiatan bergelora total diliburkan. 


Sejujurnya, sebagai seorang istri Freya sempat khawatir. Takut sang suami yang masih muda, sehat juga perkasa berpaling pada wanita lain jikalau kebutuhan batinnya tak terpenuhi mengingat kondisinya yang belum memungkinkan. Akan tetapi, semua ketakutannya selalu berhasil dipatahkan, karena selama ia sakit tak pernah sekali pun Fatih berjauhan darinya untuk urusan selain pekerjaan. 


Fatih tergelak kemudian mengecup pelipis Freya dan membelai rambutnya penuh sayang.

“Oh iya, tunggu di sini sebentar. Aku mau bantu menurunkan barang-barang kita di bagasi. Enggak enak sama babeh juga bapak.” 


“Ya udah sana. Tapi, ngomong-ngomong. Ehm, aku … aku juga ingin mencobanya. Bu-bukankah sudah sangat lama kita enggak_”

Freya menggigit bibir, mendadak malu merampungkan kalimatnya.


“Mencoba apa?” Fatih mengerutkan kening. 


“Anu … itu. Iya itu, nyoba yang kamu bilang tadi. Ta-tapi itu juga kalau kamu mau sih,” Freya mengusap-usap sisi lengannya sendiri canggung luar biasa. Padahal, bagi suami istri itu adalah hal yang lumrah dikatakan dan dilakukan, malah diwajibkan untuk memelihara keutuhan rumah tangga lewat ranjang yang selalu hangat.


Sejurus kemudian Fatih tersenyum lebar. Mengerti arah tujuan pembicaraan istrinya lalu kembali memeluk sekilas dan membisikkan jawaban antusias pertanda gayung Freya bersambut.

“Aku sudah gak sabar, ingin hari segera gelap,” ucap Fatih sebelum melenggang keluar dari kamar dengan langkah ringan.


Sepeninggal Fatih, Freya meraba wajahnya yang kini menghangat dan sudah pasti merona merah. Ini adalah kali pertama ia menyatakan dan mengajak lebih dulu secara gamblang pada sang suami. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat dirinya merasa mampu, takut suami tercintanya kekurangan hak nafkah batin yang sudah beberapa waktu ini tak bisa diberikannya.

Kendati kini sejumput bimbang mulai merayapi kalbunya. Masihkah Fatih tertarik pada fisiknya yang penuh dengan luka jahitan mengerikan di mana-mana? 


Bersambung .... 

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now