32. Garis Takdir

4.7K 114 0
                                    

32. Garis Takdir

Hari yang dinanti tiba. Freya dirias dan didandani sedemikian rupa dimulai sejak selepas waktu subuh. Kali ini si tomboy patuh diam, tidak banyak protes saat penata rias khusus pengantin membubuhkan make-up di wajahnya, sebab fokusnya sibuk memenangkan degupan jantungnya yang tak beraturan sejak semalam. Saking tegangnya, Freya bahkan hanya bisa memejamkan mata dua jam saja semalam. 

Aroma harum bunga melati semerbak mewangi ke seluruh tubuh juga sekitar saat rangkaiannya disematkan di rambut Freya yang sudah disanggul rapi. Balutan kebaya indah dipadu kain batik memeluk sempurna tubuhnya yang ramping namun berisi di bagian-bagian yang seharusnya. 

Di hari spesialnya, Freya bersinar super cantik bak putri raja. Para ibu-ibu tetangga seumuran tantenya mengatakan, aura Freya di hari sakralnya bercahaya bersinar menandakan bahwa si tomboy masih perawan ting-ting. 

"Anaknya Babeh Anwar Ayu tenan ternyata. Biasanya lebih sering lihat pakai baju balap, didandani pas mau manten bikin pangling." 

Itulah di antaranya bincang-bincang yang ikut terdengar ke telinga Freya. Bukan hanya memuji calon pengantin, mereka juga terkagum-kagum akan skill tangan-tangan profesional yang menyulap si tomboy menjelma menjadi wanita anggun memesona. 

Hari ini ia gugup luar biasa. Freya yang biasanya cuek kini tampak cemas tak menentu, berkali-kali menarik napas dalam-dalam guna meredam debaran ribut dalam dada. Pertamanya kalinya Freya terlihat tak setangguh biasanya. 

Anwar menggenggam tangan anak sulungnya, menatap Freya penuh kasih dengan tatapan sendunya. 

"Anak Babeh cantik sekali. Benar-benar manglingi," puji Anwar penuh haru. 

Freya tersenyum manis. Bola matanya berkaca-kaca. "Siapa dulu dong, anak Babeh Anwar," ujar Freya berkelakar dengan tenggorokan tercekat. 

Tangan Freya terasa sedingin es. Anwar menangkup kedua tangan putrinya, menggosoknya pelan supaya lebih hangat. 

“Jangan gugup dan tegang, Frey. Banyak-banyak berdo'a. Kamu tahu, cantikmu hari ini mirip sekali dengan ibumu sewaktu menikah dengan Babeh dulu. Ibumu pasti ikut bahagia hari ini, putri tangguhnya akan dipersunting oleh pria baik bertanggungjawab yang teramat menyanjungmu.” Anwar mengecup sayang kening Freya dan membelai kepalanya. 

“Do'akan aku, Beh.” Tenggorokan Freya kian tercekat juga kelat, akhir-akhir ini perasaannya menjadi lebih sensitif, mudah terharu dalam setiap kesempatan. 

“Selalu Babeh do’akan, Anakku. Semoga pernikahanmu langgeng. Selalu berlimpah bahagia dan keberkahan.” Anwar berucap dengan mata berkaca-kaca, putrinya yang gemar bermain obeng juga dongkrak akan menikah. Kadang rasanya masih tak percaya, putrinya yang tumbuh tanpa sosok ibu, kini akan menjadi seorang istri. 

“Hei tukang balap, ayo kita berangkat ke gedung pernikahan sekarang. Semua sanak saudara sudah siap meluncur." 

Aldo masuk ke kamar Freya, si anak SMA itu sudah rapi dalam balutan batik motif mega mendung dengan warna dasar merah tua yang merupakan seragam keluarga besar Freya hari ini, serupa dengan yang dikenakan Anwar. 

“Babeh sama Aldo duluan aja ke mobil, aku nyusul bentar lagi, mau telepon Fatih dulu,” jawab Freya cepat. 

“Ya sudah, tapi cepat ya, kita harus menghindari macet. Jangan sampai terlambat, jadwal akad nikahmu cukup pagi, pukul 08.30. Ini sudah jam tujuh.” Anwar mengingatkan sebelum meninggalkan ambang pintu kamar bersama Aldo. 

Freya menekan nama ‘Ayang Dokter’ yang tertera di jejeran kontak ponselnya. Menghubungi melalui panggilan video. Lama menunggu hingga dua kali dihubungi, Fatih tak kunjung mengangkat telepon, padahal status panggilannya tersambung dan berdering. Mungkinkah calon suaminya juga sedang sibuk bersiap sehingga tak sempat mengurusi ponsel? 

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now