48. Helm Kekasih Hatiku

1.7K 82 1
                                    

Bab 48. Helm Kekasih Hatiku

Rumah sakit menjelma lebih hiruk-pikuk mengundang Fatih bangkit dari duduknya. Pemandangan semacam ini memang sudah sering terjadi, biasanya jika ada korban kecelakaan lalu lintas yang datang. Akan tetapi tetap saja dia penasaran ingin melihat, ikut mendekat agar dapat melihat dengan jelas. 

Sesosok tubuh di atas brankar diturunkan hati-hati dari ambulans. Dengan cepat dipindahkan ke atas ranjang dorong rumah sakit. Korban berlumuran darah, tampaknya terluka cukup parah. Sepertinya korban kecelakaan kali ini seorang wanita, bisa ditebak dari rambutnya yang tergerai. 

Semua yang menumpang di dalam ambulans ikut turun. Seorang wanita paruh baya yang amat dikenal Fatih juga turun dari sana, yaitu Nyonya Camelia. Menenteng sebuah helm yang juga banyak terdapat noda cairan merah. 

Tiba-tiba Fatih diserang rasa was-was, bukan karena kemunculan Nyonya Camelia si pasien rewel penyebabnya, melainkan helm yang ditenteng wanita paruh baya tersebut. Helm itu seperti tidak asing. Dari warna dan coraknya merupakan edisi spesial. Mirip dengan pelindung kepala yang dihadiahkannya untuk si pujaan hati. Helm favorit Freya. 

Tatapannya kini teralih ke arah ranjang yang didorong masuk. Tertegun, tertarik mengamati lekat-lekat. Hanya saja setelah diamati dengan saksama, seluruh detak jantungnya seolah direnggut paksa saat melihat cincin yang melingkar di jari manis korban. 

Dunia Fatih seakan berguncang hebat dan runtuh seketika. Bak hantaman gelombang tsunami dahsyat yang menerjangnya tanpa peringatan. Seluruh tulang-belulang di tubuhnya terasa seperti dilolosi kala mengenali siapa sosok yang terbaring di atas ranjang berlumuran darah di mana-mana. 

“Freya!” jerit Fatih yang kemudian menghambur menyingkirkan orang-orang yang tengah mendorong masuk ranjang tersebut. 

“Minggir! Dia istriku!” bentaknya pada para perawat, mereka memberi akses dan berhenti sejenak. 

Napas Fatih menderu serupa angin topan. Diraupnya kedua sisi wajah Freya yang pucat pasi dengan mata memejam rapat, berhiaskan luka di pelipis yang juga mengucurkan cairan merah. 

“Frey, bangun. Kamu kenapa jadi begini, bangun! Bangun sayang, bangun!” teriak Fatih seperti orang gila. Dia bahkan nyaris mengguncangkan bahu Freya dan dokter lain akhirnya terpaksa memaksanya berhenti. Khawatir cedera korban makin parah jika tubuh rapuh itu diguncang sembarangan. 

“Dokter Fatih, kami mohon. Kita harus segera membawa korban ke ruang operasi. Lukanya parah, bahkan sepertinya ada tulang yang patah. Pasien harus segera ditangani, jangan membuang waktu.” Salah satu dokter rekan Fatih mengingatkan. Dia pun ikut terkejut saat mengetahui korban yang terluka parah ini adalah istri Fatih. 

"Kenapa bisa jadi begini? Kenapa begini?" Fatih menjambak rambutnya putus asa, bersama sekujur tubuh gemetar hebat. Tak mau mempercayai fakta memilukan yang tersuguh di depan mata. 

"Kita harus bersegera, Dokter Fatih. Tolong kuasai dirimu. Sebagai seorang dokter, kamu pasti tahu kondisi pasien saat ini tengah kritis. Antara hidup dan mati." Si dokter senior yang juga ada di sana memberi pengertian. Menderaikan penjelasan. 

“Tolong … tolong istriku … tolong dia.” Fatih meremas jas si dokter senior yang mengajaknya bertukar kata. Nada suara Fatih parau penuh keputusasaan kini. 

“Ke ruang operasi sekarang, cepat!" perintah si dokter senior pada yang lainnya. 

Semuanya gegas menuju ruang yang diperintahkan. Fatih ikut menyeimbangkan langkah dengan laju ranjang meski kakinya lunglai tanpa melepaskan genggamannya di tangan Freya hingga jemarinya pun ikut berlumuran darah. Nuansa mencekam terasa mencekik, mengikat jiwa Fatih hingga terasa perih dan nyeri. 

Dipegangnya erat tangan Freya tanpa mengalihkan pandangan. Fatih terus memusatkan matanya pada sosok yang kini tak sadarkan diri dengan luka di mana-mana. Pintu ruang operasi sudah dibuka lebar, saat ranjang yang didorong hampir mencapai ambang pintu, Fatih merasakan remasan lemah di telapak tangannya. 

Dia terkesiap, memastikan bahwa tangan Freya yang digenggamnya memang bergerak. Rupanya Freya siuman, hanya saja kondisinya teramat lemah. Fatih meminta semua yang mendorong berhenti sejenak ketika memperhatikan bibir pucat sang istri seperti ingin berucap. 

Fatih membungkuk, mendekatkan wajahnya mengikis jarak, mengecup kening Freya dalam lingkupan ketakutan yang nyata.

“Freya … Sayangku, istriku. Jangan banyak bicara dulu, kamu harus segera mendapat pertolongan.” Suara Fatih parau juga bergetar. Fatih berusaha mati-matian menahan desakan di bola matanya yang mengamuk cerminan ketakutan yang berkecamuk. 

“Fa-Fatih, A-yang, i-ini penting,” lirihnya sangat pelan. Tangan kiri Freya yang bebas dari genggaman dengan pelan dan lemah merogoh saku celana jeans yang dipakainya. Lalu bahasa tubuhnya terlihat ingin memberikan benda yang diambil dari saku tersebut, yang langsung diterima Fatih cepat. 

Fatih melihat sekilas ke arah tiga butir pil berwarna coklat pekat serupa jamu yang diserahkan Freya ke telapak tangannya, kemudian kembali memusatkan perhatian pada jantung hatinya. “Apa ini? Apa ini, Sayang?”

“Ja-jamu ini pemberian Bang Fah-Fahri yang ka-katanya dari I-Ibu. Menyuruhku rutin me-meminumnya dan memintaku merahasiakannya darimu. Ka-kamu harus percaya aku. To-tolong bilang sama I-Ibu. A-aku nggak pernah me-menipunya.” Freya berucap terbata-bata dibalut kesadaran yang timbul tenggelam. Fatih masih belum dapat mencerna apapun dari kalimat sang istri, yang ada di kepalanya sekarang hanyalah serbuan kecemasan yang kian menghebat.

“K-kamu harus percaya a-aku, ku-kumohon. A-ku nggak pernah me-mengira kalau Bang Fahri sungguh te-tega,” sambung Freya lagi, mulai kesulitan berbicara dengan dada kembang kempis, buliran bening luruh dari sudut mata Freya sebelum akhirnya kembali terkulai lemas. 

Dokter dan perawat langsung membawa ranjang Freya masuk. Fatih sempat bersikeras ingin ikut ke dalam, bahkan membentak beberapa perawat yang berusaha menghalanginya. 

“Aku harus masuk! Kalian jangan menghalangiku, aku ingin bersama istriku!” hardiknya dengan napas tersengal kasar.

“Biarkan kami bekerja. Istrimu harus segera ditangani. Kumohon jangan keras kepala, tunggulah dan berdo’alah sebanyak-banyaknya.”

Setelah diberi pengertian oleh dokter seniornya akhirnya Fatih melepaskan genggaman eratnya di besi ujung ranjang. Mengantar Freya masuk ke ruang dingin itu dengan tatapan tersiksa takut kehilangan. 

Fatih mematung bagai raga tanpa nyawa di depan pintu ruang operasi yang kini tertutup rapat. Di belakangnya, Sarah yang dilanda syok dipapah Mang Nanang. 

Sekujur tubuh Sarah gemetaran dengan wajah pias, terkejut bukan kepalang. Beberapa saat lalu ia masih menyemburkan kemurkaan pada menantu tomboinya. Namun, sekarang istri dari putranya itu mengalami kecelakaan dahsyat. 

Sarah menyentuh pundak Fatih yang menatap lurus ke arah pintu ruang operasi. Mencoba berpegangan pada putranya yang bergeming. 

“I-itu bukan Freya kan? Pasti bu-bukan, iya kan?” tanyanya tak percaya. 

“Aku pun inginnya begitu. Tapi, di dalam sana benar-benar istriku, Bu,” sahutnya lirih berbalut duka dengan tenggorokan tercekat. 

Setetes kristal bening luruh tanpa disuruh membasahi wajah Fatih yang langsung disusutnya cepat. Kekalutan, rasa takut juga terkejut dipaksa menjadi satu serupa benang kusut menciptakan nyeri di ulu hati.

Bersambung. 

Double F (END) New VersionNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ