47. Nahas

3.8K 119 9
                                    

Bab 47. Nahas

Motor trail warna kuning keluaran Kawasaki tipe KLX 230 kesayangannya dipacu Freya dalam kecepatan tinggi. Melesat kencang, meliuk-liuk mencari celah kosong ke kanan dan ke kiri di jalanan padat kendaraan, bahkan beberapa mobil berukuran besar seperti truk tangki minyak juga mobil pengolah semen di salipnya dengan menambahkan kecepatan laju si trail demi bisa secepatnya sampai di rumah sakit Satya Medika. Ingin segera meluruskan kesalah pahaman ini. 

Klakson-klakson dibunyikan begitu gaduh menciptakan kebisingan. Berasal dari kendaraan-kendaraan yang berhasil disalip Freya. Mereka memperingati Freya yang berkendara serupa di arena balap supaya mengurangi kecepatan dan berhati-hati, mengingat yang dilaluinya adalah jalan umum. 

Beberapa dari mereka mengumpat kasar. Bagaimanapun juga yang dilakukan Freya sudah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Berpotensi menyebabkan laka lantas juga mengundang dan menyulut emosi pengendara lainnya terlebih di siang terik seperti sekarang. 

"Heh, bawa motor yang bener! Kayak kebelet BAB saja!"

"Bawa motor sejenak udel! Memangnya ini jalan nenek moyang lo!" 

"Anjir! Bawa motor atau lagi simulasi berpulang lebih dini? Kalau mau celaka sendiri aja! Awas saja kalau sampai motormu nyenggol kendaraanku, bakal kuserbu bawa orang sekampung!"

Berbagai umpatan terlontar padanya mengiringi bunyi klakson. Freya tak mengindahkan. Saat ini kepalanya sedang dijejali berbagai macam pertanyaan juga kesimpulan praduga. Tak henti bertanya dalam hati, mengapa sampai hati Fahri berbuat sekeji itu padanya? 

Jantungnya berdenyut sakit bukan kepalang, terlebih lagi saat mengingat tatapan kecewa Sarah menyusupkan sejumput nelangsa yang terasa amat ngilu bukan kepalang meremas hatinya. Sosok ibu impian yang baru didapatnya, seolah direbut paksa dari rongga tubuhnya meninggalkan bekas menyakitan. 

Freya geram, inginnya melabrak Fahri dan melampiaskan kemarahannya melalui jurus tinju seribu bayangan maupun tendangan maut detik ini juga hingga kakak iparnya itu babak belur, tak peduli jika nantinya mereka berakhir bermusuhan. Bajingan brengsek semacam Fahri tak pantas disebut saudara walaupun mereka terikat dalam lingkaran keluarga. Hanya saja, menyusul Sarah ke rumah sakit juga memberi penjelasan pada sang suami lebih utama kini. Freya sudah bertekad akan mengurus Fahri tanpa ampun setelah ini. 

Si tomboy memperhatikan lampu lalu lintas yang akan segera berubah ke warna merah saat melihat penghitung waktu yang terpasang bersisian sama tinggi dengan tiang lampu tiga warna itu. Ia makin menambah tarikan gasnya dan mengoper persneling yang biasa dipakainya untuk balapan, bermaksud menembus sebelum warna lampu berubah, tak ingin membuang waktu dengan tertahan di lampu merah walaupun hanya dalam hitungan menit saja. 

Skill balapan dikerahkan. Dengan kecepatan dan konsentrasi penuh, Freya melaju kencang. Jejeran kendaraan dari arah persimpangan kanan baik roda empat maupun roda dua semuanya tengah berhenti melaju berhubung lampu dari arah sana berubah merah terlebih dulu, hanya kendaraan-kendaran dari jalan berlawanan arah saja yang masih melaju. 

Tiba-tiba dari simpangan kanan tersebut, muncul mobil kijang dalam kecepatan tinggi menerobos lampu merah. Freya yang hanya fokus ke depan tak sempat menghindar. Tak ayal lagi kijang tersebut langsung menabrak kencang motor trail kuning yang dipacunya, terseret beberapa meter hingga terpental dan tubuhnya terpelanting cukup jauh. Menimbulkan bunyi berderak ngeri memekakkan telinga saat tabrakan dua kendaraan meletus. 

Freya merasakan tubuhnya seolah seringan kapas melayang di udara. Kepalanya mendadak kosong, telinganya berdenging hebat, hingga akhirnya tubuhnya mendarat terbanting kencang di aspal dalam posisi terlentang. Terik cahaya matahari mulai tampak memudar baginya, jeritan orang-orang terdengar luar biasa panik dan seketika berkerumun mengitarinya. Seluruh tubuhnya terasa remuk, kini pandangannya pun berkunang-kunang, berangsur buram dan kegelapan mulai merenggut kesadarannya. 

“Fa-Fatih, to-tolong ... aku,” gumam Freya merintih terhalang helm dengan napas yang mulai sesak, sebelum kemudian sepenuhnya terkulai tak sadarkan diri. 

***** 

"Mang Nanang. Turunkan saya di sini," titah Sarah tegas, masih terbungkus emosi. Meminta turun di depan pintu UGD, bukan di tempat parkir rumah sakit. 

"Baik, Bu," sahut Mang Nanang patuh kendati di benaknya dipenuhi sejuta tanya. Pasalnya, saat berangkat ke rumah Fatih, majikannya itu jelas begitu riang, berbanding terbalik ketika keluar dari pintu depan rumah bungsunya. Air muka Sarah menggelap berlumur amarah. 

Sarah gegas berderap cepat. Menuju lobi utama rumah sakit, dia menghampiri satpam yang sedang berjaga di area dalam rumah sakit. 

“Saya Ibunya Dokter Fatih. Saya harus bertemu dengan anak saya sekarang juga karena ada hal darurat yang mesti segera disampaikan,” pinta Sarah tanpa berbasa-basi. 

Sarah terlupa akan attitude dalam membuka kata saat bertanya. Mencecar salah satu satpam yang berjaga di lobi sembari menunjukkan foto keluarga di handphonenya. Di mana ada Fatih juga dalam foto tersebut. 

"Maaf, Bu. Biasanya di jam-jam ini para dokter masih sibuk. Silakan menunggu sampai satu jam ke depan," jelas si satpam tetap sopan dan ramah. 

"Tapi ini darurat. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi!" serunya tak sabaran. Berseloroh panjang setengah memaksa. 

“Baiklah, Bu. Mohon menunggu dengan sabar, akan saya sampaikan ke poli terkait tempat Dokter Fatih bertugas,” ucap si satpam yang kemudian menghampiri bagian pendaftaran, sepertinya meminta untuk menghubungi Fatih. 

Lima belas menit berlalu, sosok dokter muda berjas putih muncul dari area dalam rumah sakit. Sarah melihat putra tersayangnya mengayun langkah lebar mendatanginya, membuat sneli kebanggaan para dokter yang tidak mudah didapat itu berkibar gagah membingkai tubuh atletis juga melengkapi rupa tampannya. 

"Maaf menunggu lama, Bu." Fatih mencium punggung tangan Sarah. mengenyakkan diri di sebelah ibunya, menyambut dengan senyum merekah. “Ada apa ibu mendadak datang ke tempat kerjaku, apa ini kejutan? Atau, Ibu merasa sakit?” 

Fatih bertanya dengan nada antusias pada wanita yang melahirkannya itu. Dikunjungi Sarah ke tempat kerjanya merupakan momen langka. Suatu kebanggaan dapat menunjukkan pencapaiannya secara langsung pada ibunya. 

Sarah menghela napas berat. Bimbang entah harus memulai dari mana. Sorot matanya menatap prihatin pada Fatih, meraih tangan sang putra untuk digenggam. Bola mata Sarah memancarkan kesedihan juga kekecewaan luar biasa, membuat Fatih yang asalnya tersenyum senang mulai mengernyitkan dahi. 

“Ada apa, Bu?” 

“Hhhh … begini, Nak. Istrimu … dia ….” 

Sarah menunduk sejenak dengan mata memejam, tak tega menyampaikan hal yang makin mendesak ingin terucap dari lisannya. 

“Istriku? Freya kenapa, Bu?” tanya Fatih kebingungan. 

Mulut Sarah hendak terbuka. Namun, keributan di halaman depan rumah sakit dengan bunyi bising mobil ambulans mengalihkan perhatiannya. Para dokter berlarian bersama perawat-perawat mengekori. Semua orang termasuk Sarah dan Fatih fokus ke arah pintu masuk lobi. 

Bersambung.


Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now