55. Siasat

1.2K 50 3
                                    

Bab 55. Siasat

Di hari Sabtu sore ini Fahri kembali datang ke rumah sakit setelah dua hari kemarin sempat absen. Fahri diharuskan ikut kemping ke daerah Cibubur selama dua hari dua malam bersama para murid kelas sebelas juga para guru, dan baru pulang kemarin malam. 

Fahri yang baru pulang ke rumah, mengajak Nisa ke lantai dua rumahnya dan melampiaskan kekesalannya pada Nisa di sana, tanpa disadarinya aksi kasarnya direkam saudara sepupu Wisesa yaitu Ratna yang kebetulan sedang berada di balkon saat itu. 

Fahri naik pitam setelah mengetahui kabar Freya sudah dipindahkan ke ruang perawatan meski katanya belum siuman. Walaupun si tomboy belum sadar, tetap saja itu artinya kondisi Freya berangsur-angsur membaik dan kesembuhan Freya adalah hal yang paling dibencinya, karena jelas peluang kebusukannya terbongkar menganga lebar. 

Wajahnya semringah, langkahnya ringan sambil sesekali bersiul di lorong rumah sakit dan mengedip genit pada para perawat yang berpapasan dengannya membuat mereka tersipu malu juga salah tingkah. 

Raga Fahri tak kalah menawan dari Fatih. Menawan rupawan. Namun sayang, hatinya hitam lebih keji dari iblis. Seandainya para perawat tahu warna asli Fahri, mereka pasti enggan tersenyum dan bergidik ngeri. 

“Gimana kondisi istrimu?” Fahri menyapa Fatih di luar ruangan perawatan. Sembari celingukan ingin mengintip ke dalam kamar yang katanya terlarang dimasuki siapapun kecuali Fatih dan para dokter serta perawat. Berhubung karena kondisi Freya yang belum siuman dianjurkan untuk tidak dijenguk langsung meski sudah keluar dari ruang ICU. 

“Masih belum siuman, Bang. Tapi kondisinya sudah mulai membaik.” Fatih menyahuti setenang mungkin. 

Fatih harus bersandiwara menyembunyikan rapat kenyataan tentang siumannya Freya. Yang mengetahui siumannya Freya hanya Fatih, Wisesa, Sarah, Anwar, para dokter dan nakesnya serta detektif dan Nyonya Camelia. Selebihnya tidak diberitahu. Bahkan Aldo dan Runi pun belum mengetahui Freya sudah sadar sekarang. Dalam upaya agar lebih mudah mengatur strategi penangkapan Fahri. 

“Sayang sekali. Aku ikut bersedih, semoga lekas membaik,” ungkap Fahri berbasa basi.

Ekspresi wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa duka bagaimana semestinya kasih sayang sesama saudara. Mulutnya berkata sedih, tetapi sorot matanya bertolak belakang. Berkilat puas mengerikan penuh ambisi tercetak jelas di rupa rupawannya.

"Oh iya, tadi pagi Nisa ke sini kan? Tapi sampai sore belum pulang, mana Nisa kelupaan bawa ponsel lagi. Kamu tahu di mana dia sekarang?" 

"Iya, tadi pagi Kak Nisa ke sini. Tadi siang pas mau pulang bilangnya mau anter Bibi Ratna belanja oleh-oleh Betawi. Soalnya Bi Ratna mau pulang ke Kuningan besok. Walaupun ke sini buat menjenguk, Bi Ratna meminta izin ingin sesekali jalan-jalan di ibukota. Mumpung ada waktu ke sini. Kalau enggak ada kejadian begini kapan lagi kan Bi Ratna nginap di Jakarta?" 

Fahri mengusap dagu. Tak menaruh curiga sedikitpun. Seharian ini dia tidur di kamarnya dan baru terbangun menjelang sore. Baru tahu Nisa pergi ke rumah sakit dari ART yang bekerja di rumahnya dan juga baru mengetahui informasi bahwa sanak saudara dari Kuningan yang menginap di rumahnya sudah pulang tadi siang. 

"Kukira Bi Ratna pulang tadi siang bersama yang lain. Ternyata masih di Jakarta." 

"Rencananya mau pulang tadi siang juga, cuma ditahan sama ibu. Soalnya ibu butuh teman ngobrol di sini. Bi Ratna akan pulang besok bersama bapak juga ibu. Sudah terlalu lama bapak meninggalkan pekerjaan di Kuningan," tutur Fatih lancar sembari mati-matian mengendalikan emosi. 

"Begitu rupanya. Terus, di mana bapak dan ibu sekarang?" tanya Fahri penasaran. 

"Mereka lagi ke Tebet. Ke rumah babeh Anwar. Tadi berangkat bareng dari sini. Ada perlu katanya. Biasa lah, Bang. Mengobrol sesama besan," ujar Fatih yang kemudian mengotak-atik ponselnya. Air mukanya tampak serius. 

"Kamu kenapa?" Fahri penasaran terlihat penasaran. 

"Duh, ini Bang. Aku diminta ke bagian farmasi sebentar. Mau ambil obat yang harus disuntikkan berkala ke dalam infusan Freya karena petugas di bagian farmasi semuanya sedang sangat sibuk. Nggak bisa nganterin ke sini. Kalau telat diberikan bisa gawat," jawab Fatih, memasang mimik muka bingung juga panik yang dibuat-buat. 

“Terus siapa yang nunggu Freya di dalam?” tanyanya antusias. "Bukannya Freya biasanya enggak dibiarkan sendiri?"

“Makanya itu. Ini nggak ada yang nunggu. Dokter dan perawat yang biasanya ditugaskan di sini kayaknya juga lagi sama-sama sibuk. Tapi sesekali kayaknya enggak apa-apa Freya kutinggal sendiri. Lagian aku juga nggak akan lama.” Fatih hendak berlalu, tetapi lengannya ditahan oleh Fahri. 

"Tunggu. Gimana kalau Abang aja yang nunggu? Biar kamu tenang perginya, sekalian Abang pengen lihat kondisi istrimu secara langsung. Aku ini keluarga dekat Freya juga, kakak dari suaminya. Pasti dokter penanggung jawab pun bakal memahami terlebih ini situasi darurat. Daripada Freya ditinggal sendiri. Gimana coba kalau mendadak ada apa-apa?” 

Fatih sengaja memasang air muka seperti tengah berpikir, berlama-lama mengetuk dagu. Sementara Fahri terus mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, sudah tak sabar dengan jawaban yang akan meluncur dari mulut Fatih, ingin adiknya segera mengiyakan agar sisi psikopatnya yang meronta menyiksa bisa dibebaskan secepatnya.

“Tapi, nanti ngerepotin Abang. Terus nanti Abang alamat diomeli sama Dokter Jefry,” cicit Fatih dengan nada tak enak.

“Sama sekali nggak ngerepotin. Diomeli bukan masalah besar. Pergilah cepat ambil obatnya, biar Abang yang jagain Freya.” Fahri menepuk-nepuk bahu Fatih meyakinkan. 

"Ya sudah deh. Makasih banyak ya, Bang." 

Fahri melambai pada sang adik yang mulai menjauh dari sana. Senyumnya melebar, berubah menjadi seringai ketika punggung Fatih tak terlihat lagi. 

Sepeninggal Fatih, Fahri memutar knop pintu perlahan. Mendorongnya tanpa menimbulkan kegaduhan. Dia melangkah masuk begitu tenang tanpa suara, seperti predator yang tengah merayap mengincar mangsa. 

Lampu kamar perawatan Freya di buat redup temaram tanpa menyalakan lampu utama di langit-langit. Hanya lampu tidur di kepala ranjang yang dihidupkan sebagai pencahayaan. Seperti kata Fatih, Freya tak suka dengan cahaya yang terlampau terang untuk pencahayaan kamar, sehingga di rumah sakit pun lampu di setting seperti selera si tomboy sehari-hari.

“Halo, Adik ipar. Lama tak jumpa," kekehnya sarkas, lantas memindai Freya yang terbaring dari ujung kepala hingga kaki. 

Padahal kamu belum siuman juga terluka di mana-mana, sangat tidak menarik bagi ukuran seorang wanita. Tapi adik bodohku itu terus saja memujamu, bahkan untuk lampu pun semuanya disesuaikan dengan seleramu. Cih.” Fahri berdecih penuh benci. 

Bagi Fahri, Freya tak ubahnya mainan kesayangan Fatih. Sehingga dia menaruh benci dan ingin merusaknya seperti halnya mainan Fatih yang sewaktu kecil dirusaknya, terlebih lagi Freya menjadi penghalang rencana busuknya yang kini mulai terendus. Ibarat duri dan batu sandungan yang harus disingkirkan dari jalan ambisi gilanya. 

Bersambung.

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now