45. Rumah Fatih

1.9K 142 19
                                    

Bab 45. Rumah Fatih

Sudah empat hari Sarah menginap di Jakarta. Kesempatan untuk bisa leluasa bersama Freya masih tak kunjung terealisasi hingga sekarang karena Rio terus saja menempel padanya. Fahri dan Nisa pun kerap kali membuatnya sibuk, hampir setiap hari mengajaknya berkeliling Jakarta mengunjungi berbagai tempat terutama destinasi wisata dan belanja.

Siang ini Sarah baru bisa beristirahat setelah cucu gantengnya tertidur. Sarah tak pernah keberatan sama sekali dengan Rio yang selalu bermanja-manja padanya. Walaupun bukan anak kandung, ia menyayangi Fahri sama besarnya seperti rasa sayangnya untuk Fatih. Tak pernah membeda-bedakan. Begitu pun pada Nisa dan Rio, si cucu pertamanya.

Saat ini Nisa sedang terlelap di kamarnya sepulang dari berjalan-jalan. Sarah memutuskan untuk pergi ke rumah Freya mumpung waktunya senggang, lantaran sampai sekarang masih belum berkesempatan mengobrol panjang lebar dengan menantu tomboinya.

"Bik, kalau Nanti Nisa bangun dan nanyain saya, bilang saya ke rumah Fatih dulu. Titip Rio juga ya, kalay terbangun jangan dibiarkan nangis sendiri."

Setelah memberitahu ART dan menitip pesan, Sarah tak membuang waktu untuk bergegas pergi ke rumah Fatih diantar Mang Nanang. Letak rumah Fahri dan Fatih memang masih satu komplek. Akan tetapi, jika ditempuh dengan cara berjalan kaki di hari terik cukup membuat tubuh bermandikan keringat dan dahi mengkerut mengingat jaraknya sekitar lima ratus meter.

"Mang Nanang, langsung tancap gas ke rumah Fatih ya. Mumpung Rio lagi tidur," titahnya pada Mang Nanang yang sigap siap sedia duduk di belakang kemudi.

"Eh, Ibu. Ayo masuk, aku lagi bikin makan siang." Freya membuka pintu begitu mendengar bel berbunyi. Menyambut hangat dan mempersilakan ibu mertuanya juga tak lupa mengajak Mang Nanang masuk ke dalam rumah. "Mang, ayo masuk juga."

"Saya di teras saja, Neng," tolak Mang Nang halus. Merasa tak enak jika harus satu ruangan dengan majikannya.

"Nggak usah sungkan, masuk aja. Kita makan siang bareng, atau Mang Nanang bisa ngadem di taman samping, teras depan panas. Iya kan, Bu?" Freya meminta pendapat Sarah yang langsung diangguki cepat oleh ibu mertuanya itu.

"Iya, Mang. Lebih baik masuk atau ngadem di taman samping. Kita makan dulu bareng-bareng," tukas Sarah memberi pendapat.

Mang Nanang mengutarakan kesungkanannya secara terus terang dan memilih menunggu di taman samping. Akhirnya Freya membawakan sepiring makan siang untuk Mang Nanang sebelum ia bersantap dengan Sarah.

"Kamu makin pinter aja masaknya, pantesan Fatih betah, gak ingat pulang kampung," ujar Sarah berkelakar setelah menghabiskan makanan yang mengisi piringnya. Padahal menu lauknya sederhana, hanya sayur lodeh betawi dan ayam goreng lengkuas plus sambal matah juga kerupuk udang, tetapi rasanya memang senikmat itu, lezat menggoyang lidah.

"Ibu bisa aja. Aku masih harus banyak belajar, Bu. untung Fatih nggak pernah protes." Freya merona-rona saat lagi-lagi dipuji oleh ibu mertuanya.

"Tapi ini beneran enak banget lho. Apalagi lodehnya, sedap. Enak banget."

"Makasih banyak, Bu," sahut Freya tersipu. "Tapi, kalau ibu enggak keberatan, aku kepingin diajari membuat makanan khas Kuningan. Fatih kadang suka kangen masakan khas sana. Kayak empal gentong yang makannya dicampur sambal goreng daging sama acar sayuran. Di sini kalaupun ada yang jual empal gentong, sambal goreng dagingnya yang enggak ada."

"Aih, menantu Ibu ini memang rajin. Mau banyak belajar. Gimana kalau kita masak buat makan malam hari ini? Ibu masakin dan kamu perhatikan," usul Sarah mengemukakan pendapat.

"Boleh banget, Bu," tukas Freya senang bukan main. "Bahan masakan ada di kulkas semuanya. Kalau ada bahan yang kurang kita beli dulu ke supermarket terdekat. Oh iya, Ibu mau minum teh hijau? Aku punya teh hijau spesial, paling enak diminum selepas makan," tawarnya pada sang mertua. Tak lupa menyisipkan testimoni.

"Mau dong, Ibu suka banget sama green tea," sahut Sarah antusias.

"Tunggu ya, Bu. Kubuatkan."

Freya beranjak dari duduknya, penuh semangat membuka laci tempat teh hijau kesukaannya. Ponsel di sakunya tiba-tiba berbunyi. Ditaruhnya cangkir berisi teh yang belum diseduh dan mengangkat panggilan yang ternyata dari Fatih, meminta sang istri segera memeriksa dokumen penting terkait pekerjaan yang tertinggal di meja kerja di kamarnya.

"Bu, maaf kutinggal sebentar. Mau naik ke kamar dulu. Fatih minta tolong lihatkan berkas." Freya berucap sembari menunjukkan layar handphonenya yang memuat nama suaminya.

"Santai aja, Frey. Jangan sungkan begitu," Imbuh Sarah lemah lembut penuh kasih sayang.

Wangi teh hijau semerbak menyeruak, tanpa diseduh pun aromanya memanjakan indra penciuman, padahal air panas belum dituangkan. Sarah penasaran akan merek teh hijau spesial milik menantunya, dia bangkit dari duduknya dan menghampiri laci kabinet dapur yang masih terbuka.

Sarah mengambil kotak dan membaca label merek teh hijau bernama Green Premium yang merupakan produk dari perusahaan Sinar Abadi Grup. Sarah menarik laci supaya terbuka lebih lebar ingin melihat isinya lebih jelas, ada apa saja di dalamnya.

Di dalamnya terdapat toples-toples bening berisi gula diet, kopi murni, krimer bubuk, teh hitam, teh tubruk, teh rosela, coklat bubuk, susu bubuk dan beberapa produk minuman lainnya. Sarah mengulas senyum bangga, tak menyangka menantunya yang tomboy ternyata begitu teratur dan rapi menata dapur.

Sarah tertegun sejenak, di laci tersebut di bagian paling terdalam terdapat sebuah botol putih polos bertutup hijau, tidak seperti yang lainnya berkemasan transparan, sungguh menarik perhatian. Diambilnya botol tersebut, tidak ada mereknya. Penasaran, Sarah membuka tutupnya dan memerhatikan isinya, berupa butiran-butiran bulat serupa pil jamu tradisional.

Aromanya menyengat tajam. Sarah membaui saksama lalu mengernyit, mengambil satu butir sebab penasaran dengan temuannya.

"Pil apa ini? Apakah jenis campuran minuman juga? Tapi bentuknya kayak kamu tradisional."

Dibauinya lagi pil tersebut berulang-ulang guna memastikan. Sarah yang memang memahami ramuan-ramuan herbal sejak dulu, dapat dengan mudah mengetahui komposisi jamu hanya dari aromanya saja.

"Kenapa aromanya mirip jamu itu? Ah, enggak mungkin," sangkalnya meski di balik rongga dadanya mulai bertalu kencang, tak ingin mempercayai dugaan dari penciumannya.

Dengan gemuruh was-was yang berderu dalam dada, diendusnya sekali lagi sembari menelaah lebih teliti menajamkan insting terlatih dari pengalaman, dan kini matanya membeliak sempurna setelah yakin kamu jenis apa yang ditemukannya.

Bersambung.

Double F (END) New VersionKde žijí příběhy. Začni objevovat