14. Dapur Mertua

866 70 2
                                    

Bab 14. Dapur Mertua

Di atas kasur berseprai warna biru itu, Freya berguling-guling ke sana kemari. Sudah tiga puluh menit berlalu, tetapi ia tak bisa beristirahat dengan baik. Kepalanya malah terasa pusing akibat terus bermain game sedari tadi guna mengeyahkan suntuk. 

Freya kesulitan beristirahat, si tomboy aktif itu dilanda bosan karena tak terbiasa harus terus berdiam diri di dalam kamar. Merasa dirinya ibarat ayam betina yang sedang mengerami telur. Atau mungkin juga kebosanan muncul akibat ketiduran terlalu lama sewaktu di perjalanan.

"Aduh, punggungku malah pegal-pegal kelamaan rebahan gini. Ini encok atau rematik ya? Badanku mendadak jompo rasanya," keluh Freya yang memilih bangun lalu meregangkan punggungnya. 

Freya mengikat rambut sepunggungnya dicepol ke atas. Memutuskan keluar dari kamar untuk sekadar melihat-lihat sekeliling rumah demi mengusir rasa bosannya. Freya celingak-celinguk mencari-cari keberadaan Fatih juga Sarah. Menyisir setiap tempat yang dilewati, tetapi ia tak kunjung menemukan mereka. Ia hanya berpapasan beberapa kali dengan orang-orang yang keluar masuk rumah berlalu lalang. 

"Fatih sama ibu ada di mana ya? Ini rumah juga luas banget. Bikin pusing nyarinya," cicitnya sembari menggosok ujung hidung. 

Kakinya kemudian membawanya ke area belakang, terus semakin ke belakang dan sampailah di area paviliun luas yang sepertinya merupakan dapur tradisional. Di sana, Freya disajikan suasana dapur yang berbeda. Terdapat tungku-tungku tradisional dari batu dengan kayu sebagai bahan bakarnya, ada juga berjejer beberapa kompor gas. 

Semua orang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, menyapa ramah begitu Freya muncul. Berbagai uap masakan mengepul di udara menguarkan aroma sedap. Ada yang sedang menanak nasi secara manual menggunakan dandang-dandang tempo dulu. Ada yang sedang menambahkan kayu bakar di tungku-tungku yang menyala, ada yang sedang membuat gulai kambing, ada juga yang sibuk mengolah ayam kampung serta menu-menu lainnya. Belum lagi hamparan kue-kue tradisional yang Freya pun tak begitu hafal satu persatu nama dan jenisnya.

Freya dibuat penasaran akan penganan kudapan cantik yang menarik perhatiannya. Ia hanya tahu nama kue-kue kering hari raya dan roti buaya saja selama ini. Di Jakarta, Freya memang pernah menyantap beberapa kudapan kecil ini, hanya saja ia tidak pernah tahu namanya. Yang diingatnya hanya rasanya saja, pokoknya enak. 

Freya bertanya pada seorang gadis remaja seumuran Aldo yang sedang menata kue ke dalam toples juga nampan.

"Wah, kuenya banyak. Ini beli atau bikin. Kelihatannya susah ya kalau bikin sendiri. Pasti rempong," ujarnya meringis, sebab memasak bukanlah hobinya. 

"Semua kue ini dibuat langsung sama para warga di sini, Kak. Kalau beli buatan pabrikan nggak akan ada yang rasanya seenak racikan tradisional, Kak. Kata nenekku, rasa kue sederhana ini jadi lebih enak bukan sekadar karena bahan yang dipakai, tapi juga ada kebersamaan dan kehangatan kekeluargaan saat membuatnya beramai-ramai."

"Wih, filosofinya keren. Gotong-royong banget. Terus, nama kuenya apa saja? Aku pernah makan kue-kue kayak gini, tapi nggak pernah kenalan dengan namanya."

Si gadis remaja itu menjelaskan dengan antusias. Salah satunya kue yang dibungkus dengan kertas minyak warna warni, namanya Kue Angleng yang terbuat dari tepung beras putih yang dipanaskan bersama gula merah juga sedikit bubuk pala. Beralih pada kue Apem berwarna merah muda dan hijau yang menggoda selera, berbahan dasar tepung ketan dan saripati tape. Dalam toples besar ada Rengginang juga kue berbentuk bunga yang disebut Kue Kembang Goyang. Tak ketinggalan berember-ember tape ketan khas Kuningan yang dibungkus menggunakan daun jambu.

Freya mendengarkan dengan saksama, sembari mengambil satu persatu kue-kue tersebut dan menyumpalkannya ke dalam mulut. Si tomboi mengangguk-angguk dengan mulut tak henti mengunyah. 

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang