24. Melepas Rindu

874 81 0
                                    

Bab 24. Melepas Rindu

Fatih dan Freya tengah berbincang hangat melepas rindu. Membahas banyak hal random selepas makan malam. Mereka bercengkrama sambil mencuci piring juga peralatan bekas memasak bersama-sma. Freya yang menyabuni dan membilas, sedangkan Fatih bersiap dengan serbet di tangan untuk mengeringkan perabotan.

“Kenapa wajahmu kusut banget pas pulang tadi? Apa kerjaan di rumah sakit lagi padat?” tanya Freya sembari menyerahkan piring terakhir yang sudah bersih dibilas pada Fatih. 

“Seperti biasa, pasien selalu membludak karena kini Satya Medika menjadi salah satu rumah sakit besar rujukan. Otomatis pekerjaan semua orang bertambah pula porsinya. Juga, hari ini aku melewatkan makan siang. Banyak hal terjadi sehingga membuat selera makanku kacau, hal-hal tak terduga yang membuatku sakit kepala,” keluh Fatih meluapkan segala kesah, sembari menyeka piring menggunakan serbet bersih hingga benar-benar kering.

Freya membilas dan mengeringkan tangan menggunakan tisu. Mengikis jarak kemudian menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah Fatih. Sorot matanya cemas. 

“Pasti hari ini sibuk dan capek banget ya sampai melewatkan makan siang? Masih sakit kepalanya?” Freya mengamati Fatih dengan raut wajah menggemaskannya. 

“Lumayan berkurang pas pulang lihat ada kamu di rumah.” Fatih tersenyum manis. Mengelus punggung tangan Freya yang masih menangkup sisi wajahnya. 

Si tomboy menarik lengan Fatih ke ruang tamu. Ia duduk di sofa panjang lalu menepuk-nepuk pahanya sendiri. 

“Ayo, rebahan di sini, aku pijitin kepalanya,” pintanya setengah memerintah.

Dengan senang hati Fatih menuruti permintaan sang kekasih. Merebahkan diri di sofa berbantalkan kedua paha Freya. Si tomboy mulai menyelipkan jemarinya di antara rambut hitam Fatih. Memijat lembut sembari memandangi wajah tampan Fatih yang tengah memejam. 

“Ah, rasanya kepalaku yang sekaku kanebo kering langsung rileks lagi berkat tangan ajaibmu,” gumam Fatih senang dalam lingkupan rasa nyaman dari jemari halus yang bergerak seirama di antara sela-sela rambutnya.

“Aku kekencengan gak mijitnya?” Freya bertanya untuk memastikan sudah menyesuaikan kekuatan pijatannya, khawatir terlalu over tenaga. 

“Ini udah cukup, enak banget.” Fatih mendesah lega. Mengubah posisi, Fatih kini berbaring miring menghadap Freya. Lengan kanan Fatih memeluk melingkari pinggang Freya sekarang.

“Aku kangen,” sambungnya serak penuh kerinduan. 

Kini mata mereka bertemu pandang. Fatih sedikit mendongak dan Freya menurunkan pandangan. 

“Aku juga kangen, makanya datang kemari,” balas Freya manis, tanpa menghentikan gerakan jemarinya.

Fatih bermaksud mengubah posisi berbaring kembali seperti semula. Namun, dia mengurungkan niat saat tanpa sengaja sudut matanya menangkap siluet Tania memasuki pagar rumah. Refleks, Fatih menarik tengkuk Freya.

Beruntung Freya tidak menolak, sehingga impulsif Fatih yang sengaja ingin mempertontonkan kemesraannya dengan si calon istri pada Tania supaya si gadis berponi itu pergi dari rumahnya mulus berjalan. 

Sudah pasti pemandangan di sofa terlihat jelas dari luar lantaran gorden utama sengaja tak ditutup. Menyisakan gorden tipis warna putih melapisi kaca. Fatih tidak ingin waktu kebersamaannya dengan sang kekasih diganggu, bisa-bisa kepalanya kembali berdenyut sakit diakibatkan tingkah menjengkelkan Tania. 

Membeku laksana sebongkah gunung es di Kutub Utara itulah yang terjadi pada Tania saat ini. Retinanya menangkap bayangan yang menusuk mata dan meremas jantung. Gorden tipis putih transparan itu sedikit berkibar, menampakkan jelas apa yang sedang terjadi di dalamnya.

Tania meremas sisi rok pendeknya. Tangannya yang membawa tempat salad buah berwarna hijau itu gemetaran. Dia cemburu sekaligus merasa rendah. Membiarkan dirinya tergerus keinginan sang Kakak tanpa mampu menolak, sedangkan pria yang didambakannya sudah menambatkan hati pada satu-satunya bidadari di hatinya, Freya gadis tercintanya.

Tania tidak bodoh. Binar riak-riak cinta Fatih untuk Freya memanglah jelas kentara dan bukanlah isapan jempol belaka. Siapapun akan dengan mudah menebak, pastilah rasa cinta Fatih sudah tertancap mengakar kuat menjalar ke seluruh relung hati juga jiwanya.

Dengan kaki lemasnya Tania berbalik badan bersama genangan air mata di pelupuk. Pergi setengah berlari. Inginnya menyudahi menyiksa diri, tetapi dirinya terlanjur terjebak dalam permainan sang kakak yang kini menyulut obsesinya sendiri.

Fatih menenggelamkan wajah di ceruk leher Freya saat laju napasnya mulai normal kembali. Hidungnya berlarian di sana, menghidu aroma jasmine berpadu vanilla yang menguar menyenangkan memanjakan Indra penciuman.

“Ijab kabul kita berapa hari lagi sih?” gumam Fatih serak, masih dalam posisi memeluk Freya. Aroma gadisnya bak heroin, membuatnya candu.

“Kurang dari dua minggu. Mulai beberapa hari ke depan sampai hari H aku bakalan dipingit, dilarang ketemu kamu dulu,” sahut Freya kemudian.

"Giimana kalau kita pinjam pintu Doraeman? Biar bisa loncat melintasi waktu supaya dua minggu yang membentang dapat dilewati hanya dalam hitungan menit saja,” gurau Fatih terkekeh renyah, mengurai pelukan tak sepenuhnya.

“Memangnya kamu mau ngapain kalau bisa melintasi waktu sekarang juga hmm?” Freya menanggapi gurauan Fatih, menipiskan bibir. 

"Hmm. Ada deh!" ujarnya penuh arti.

“Hih, otakmu benar-benar sudah tercemar parah! Perlu peninjauan dinas lingkungan hidup guna mengatasi limbah mesum yang memenuhi pikiranmu!” Freya mencubit kencang pinggang Fatih, yang malah ditanggapi gelak tawa kencang dan mencuri kecupan.

“Udah ah, jangan nyosor terus, kecuali kalau pengen tinjuku enggak terkendali.” Freya mengangkat satu tangannya di udara, memamerkan kepalan tinjunya. 

“Oke oke, ampun. Sekarang sebaiknya kuantar kamu pulang, sebelum setan dalam diriku menghanguskan pertahananku.”

“Ayang. Pulangnya naik trail ya,” pinta Freya memelas. Melancarkan rayuan. 

Fatih memicingkan mata hingga kedua alis tebalnya hampir menyatu. “Kamu kan pakai dress, masa maunya naik trail?”

“Aku bisa pakai celana treningmu, gampang kan? Udah lama banget nggak naik motor gede. Kangen berat kayak ikan kekurangan air. udah megap-megap rasanya. Jadi, pinjemin aku trening ya.” Freya memasang wajah cemberut penuh harap dan jurus memelasnya sudah dipastikan berhasil meluluhkan si pria yang bucin parah padanya itu. 

“Ya sudah, aku ambil trening dulu.” Fatih beranjak menuju kamar utama bersama Freya yang mengekor di belakangnya menuju lantai dua.

“Aku yang bawa ya,” bujuk Freya lagi ketika mereka sampai di lantai dua. Berusaha keras pantang menyerah melancarkan mode mimik muka andalannya, mode semanis anak kucing. 

Freya benar-benar rindu berat mengendarai jenis motor favoritnya. Dan ini adalah kesempatannya untuk kembali memacu adrenalin setelah beberapa waktu terakhir absen mengaliri nadinya.

Wajah memelas Freya bagaikan kryptonite, melemahkan Fatih hingga lagi-lagi tak mampu menolak. “Baiklah, Nona Trail.”

Bersambung

Double F (END) New VersionWhere stories live. Discover now