32

6.5K 797 120
                                    

Ke duanya hanya duduk di taman dengan menatap anak-anak yang bermain. Ia menatap wajah tenang dari lelaki itu.

"Kamu suka anak kecil?" tanya Lino dengan tersenyum tipis.

Arsen hanya mengangguk pelan dengan tersenyum manis. Lino senang melihat Arsen yang hanya keluarga dan kepadanya. Memang kebahagiaan cuman sekecil itu.

"Kamu nggak nyesel kalau sama aku?" tanya Lino dengan mengangkat alisnya.

Arsen menatap Lino dengan mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

"Aku ini kan nggak bisa hamil jadi ... kamu nggak bakal bisa punya anak," ucap Lino dengan mengangkat bahunya.

Ekspresi wajah Arsen berubah seketika menjadi datar. Ia menatap ke arah Lino dengan memegang tangan lelaki itu.

Ia meletakkan tangan Lino ke atas dadanya. "Coba kamu denger jantung aku hanya bisa berdetak cepat sama kamu. Lalu ke dua orang tua kita juga tidak peduli hal itu begitu juga dengan aku."

Lino hanya tertawa kecil. Ia hanya takut lelaki itu menyesal bersamanya apalagi pada masa remaja yang menjadi tempat mencari jati diri.

"Oke, nggak bahas itu lagi," ucap Lino dengan tersenyum lebar.

Lino menatap ke arah anak kecil yang berusaha mengambil balon di atas pohon. Ia berdiri dengan berjalan lalu mengambil balon itu dengan tersenyum manis.

"Ini adik manis lain kali hati-hati," ucap Lino dengan mengacak rambut anak kecil itu.

"Makasih, kak."

Lino menatap anak kecil yang berlari dengan tertawa kecil. Tiba-tiba sebuah bola basket menuju ke arahnya. Ia menyambut dengan baik dengan tersenyum lebar.

"Tolong lempar bola basket itu!"

Lino mengangguk pelan lalu melempar hingga masuk ke dalam ring. Para pemain itu seketika bertepuk tangan dengan tersenyum lebar.

"Hebat juga lo gimana kalau ikut kami main?"

Lino menjentikkan jarinya dengan tersenyum lebar. Ia berjalan menuju para pemain itu lalu di sambut baik.

Arsen hanya diam dengan menatap orang-orang yang bermain basket. Lelaki itu lagi-lagi acuh tak acuh kepada dirinya karena basket.

Arsen hanya bisa bersabar mempunyai kekasih yang lupa dunia kalau berurusan dengan olahraga. Apalagi orang-orang yang mengajak Lino main memiliki wajah sempurna.

Lino menggiring bola lalu kadangkala berebut bola. Ia hanya tertawa puas karena bisa main. Olahraga itu sudah seperti jiwa baginya.

"Asal sekolah darimana, Bro?"

Lino menerima air yang di berikan oleh teman mainnya. Ia kembali memberikan kepada sang pemilik.

"SMA Bintang tau nggak?" tanya Lino dengan tersenyum tipis.

"Wah, itu sekolah mahal cuk! Kebanyakan anak penjabat yang bisa masuk sana sama orang pintar. Lo sekolah di sana, Bro?"

Lino hanya tertawa kecil. Lalu ia hanya mengangguk pelan dengan tersenyum tipis.

"Gue kira siswa sana sombong karna anak holkay, taunya enggak. And kita kemungkinan akan ketemu di lomba antar kota nanti."

"Oke, sampai ketemu nanti. Gue mau nemuin tunangan gue," ucap Lino dengan menunjuk ke arah Arsen.

"Anjir dia mantan ketos SMA Bintang kan?"

"Hooh, yang di kira sombong itu. Jadi itu tunangan lo?"

Lino hanya mengangguk pelan. "Wajah dia emang gitu tapi sebenarnya baik. Kalau gitu gue duluan."

Lino berjalan menuju Arsen dengan tersenyum manis. "Hehe, lama nunggu, ya? Maaf tadi aku seneng ketemu teman satu frekuensi yang suka main basket. Rasanya seru aja kalau ada temen yang bisa di ajak main basket."

Arsen mengangguk pelan dengan tersenyum tipis. "Kita pulang aja, ya? Kamu pasti capek."

"Uhm, aku capek banget. Double kill banget hari ini," ucap Lino dengan cengengesan.

***

Keesokan harinya pada hari yang di tunggu oleh para murid. Arsen sosok yang cuek dengan sekitar itu sudah bangun dengan menatap sang papa.

"Kenapa minta Papa ambil cuti?"

Arsen tampak berpikir dengan muka datar. Lelaki itu harus berpikir sebelum memutuskan sesuatu.

"Papa dulu atlet basket bukan di sekolah?" tanya Arsen dengan menatap sang papa.

Sang papa justru menatap putranya heran karena tidak biasa bersikap seperti sekarang. Apalagi sang putra membenci olahraga yang banyak gerak seperti basket dan futsal.

"Iya, lalu kenapa?"

"Latih Arsen main basket," jawab Arsen dengan raut wajah serius.

Sang papa tertegun dengan menatap wajah serius sang anak. Ia berjalan lalu meletakkan telapak tangan di kening sang anak.

"Apa kamu yakin? Kenapa mau belajar basket?"

Arsen hanya diam tidak ingin menjawab apapun. Ia menatap bola basket yang berada di bawah meja.

"Kenapa tidak minta tunangan kamu itu? Bukannya dia atlet basket di sekolah kalian."

Arsen menggelengkan kepalanya. Ia justru harus menghindar dari Lino lalu minta bimbingan sang papa.

"Dia tidak mau latih kamu?"

Arsen kembali menggelengkan kepalanya. "Hanya ingin Papa yang ajar."

Akhirnya sang papa hanya bisa mengalah. Melawan sang putra yang keras kepala sama saja melawan maut.

"Baik, untuk hari ini papa akan ajar kamu."

Arsen akhirnya tersenyum tipis dengan menuju lapangan basket. Sang papa hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Saat di lapangan Arsen melakukan pemanasan seperti yang ia lihat waktu Lino latihan. Ia terlihat penuh semangat dengan menyembunyikan perasaan senangnya.

"Loh, anak Papa semangat sekali. Sekarang kita mulai dari teknik dasar basket."

Kemudian di satu sisi Lino terlihat malas berjalan. Ia di minta sang Mami untuk membeli bahan makanan. Ke dua orang tuanya ingin melakukan pesta kecil untuk merayakan Lino yang akan ikut lomba. Padahal lomba saja belum ini sudah di rayakan.

Ia menghentikan langkahnya saat melihat sosok yang di kenalnya masuk ke dalam mobil hitam. Tia sosok ketua OSIS SMA Bintang itu tampak bersama seorang yang mirip dengan tunangannya. Namun, hanya mirip sekilas jika di teliti lebih jauh cukup banyak perbedaan.

"Siapa itu? Saudara Arsen kayaknya enggak mungkin karna dia anak tunggal kaya raya," ucap Lino dengan mengerutkan keningnya.

Ia membuka ponsel lalu merekam ke dua remaja itu dengan serius. Tiba-tiba suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya.

"Halo, Pa."

"..."

"Bisa, Pa. Tapi ... kayaknya Lino harus ngomong sama Mami dulu."

"..."

"Apa? Bagaimana bisa?"

"..."

"Oke, Lino segera ke sana."

Kemudian saking buru-buru ia tidak sengaja menabrak seseorang. Ia ingin mengumpat, tetapi tidak jadi setelah melihat sosok yang di tabrak olehnya.

"Stela ngapain lo di sini?" tanya Lino dengan mengerutkan keningnya.

"Seharusnya gue yang tanya itu. Gue tadi ngikutin jalang itu," ucap Stela dengan mengangkat bahunya.

"Oke, kalau gitu gue pergi duluan!" seru Lino dengan berlari menuju rumahnya. Ia tidak memperdulikan teriakan sang Mami lalu pergi begitu saja tanpa menjelaskan.

Lelaki itu selama di perjalanan hanya terus bisa khawatir. Ia bahkan hampir saja menabrak kucing saking terburu-buru.

"Anak itu selalu buat gue khawatir," gumam Lino dengan menggeram kesal.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Ada apa nih Lino🤔
Lanjut!

Ardian S2 (END)Where stories live. Discover now