35

6.1K 743 159
                                    

Mereka keluar dari pesawat dengan berdecak kagum. Lino berdecak kagum karena merasa seperti oppa yang di drama Korea.

"Bersih banget," gumam Ziel dengan tersenyum tipis.

Semuanya seketika terkejut melihat senyuman yang terpampang di wajah lelaki itu. Ziel bahkan tidak tersenyum saat Lino dan Arsen bertunangan.

"Ini nih makhluk aneh yang suka kebersihan. Liat bersih langsung jadi bucin," cibir Lino dengan memicingkan matanya.

Ziel hanya diam tanpa memperdulikan perkataan Lino. Akhirnya mereka berjalan menuju perkumpulan taksi dengan menyeret koper masing-masing.

"Kita nyewa hotel sekarang?" tanya Arsen dengan mengangkat alisnya.

Lino justru tersenyum lebar dengan mengeluarkan sebuah kartu. Semuanya seketika menatap heran lelaki itu.

"Nggak perlu karna aku punya rumah minimalis di sini," ucap Lino dengan tersenyum lebar.

Adya dan Vano hanya bisa bertepuk tangan dengan berdecak kagum. Lino hanya diam dengan mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"Orang kaya kayaknya emang suka hambur duit," cibir Ravy dengan mengangkat kopernya.

Lino hanya berdecak kesal. Kemudian tersenyum lebar dengan menarik tangan Arsen agar mengikuti dirinya.

"Woy, Babi! Lo pada ngapain diam aja!" teriak Lino dengan melambaikan tangannya.

Akhirnya mereka hanya menyusul keberadaan ke dua lelaki itu. Ziel hanya bisa diam dalam merasa malu melihat tingkah Lino.

"Annyeonghaseyo jeoleul gillo delyeoga juseyo x," pinta Lino dengan tersenyum tipis.

Semuanya menatap Lino dengan tatapan heran. Bagaimana bisa lelaki itu berbicara bahasa Korea. Apalagi Vano yang mulai menutup mulutnya. Memang pada dasarnya Vano itu anak yang alay.

"Lo ngomong bahasa Korea?" tanya Adya dengan melotot tajam.

Lino yang awalnya berbicara dengan sang supir. Pada akhirnya menatap ke arah Adya dengan tersenyum lebar.

"Nggak gue ngomong bahasa China," sahut Lino dengan menyimpan kopernya ke dalam bagasi mobil.

Lelaki itu dengan bodohnya hanya mempercayai perkataan Lino. Apalagi Lino orang yang selalu jahil kepada teman-temannya.

"Bodoh! Maunya aja kena tipu," cibir Ravy dengan memasukkan ke bagasi mobil lainnya.

Lino hanya tertawa melihat tingkah laku ke dua orang itu. Akhirnya mereka bisa pergi juga untuk beristirahat ke rumah setelah perjalanan panjang.

Lino hanya diam dengan menatap jalanan Seoul. Senyuman manis terus menerpa wajahnya.

"Udah lama nggak ke sini. Makin bagus aja bangunannya," gumam Lino dengan menatap gedung-gedung yang menghiasi jalanan.

"Kamu udah sering ke sini?" tanya Arsen dengan tersenyum tipis.

Lino hanya mengangguk pelan dengan tersenyum manis. "Rasanya kayak familier karna udah lama nggak ke sini Dan aku harap rasa itu membawa aku kembali dalam kemenangan."

Mereka kembali diam menatap indahnya gedung bertingkat. Beberapa orang yang berjalan kaki membuatnya merasa kagum dan kenangan itu pasti sangat menyenangkan terutama remaja.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah berwarna cokelat muda. Arsen dan Ziel menatap rumah yang terletak di perumahan elit. Ke dua remaja itu memang berasal dari keluarga kaya. Namun, tidak dapat di pungkiri keluarga Bramasta lebih kaya.

"Hyeongeum ttoneun kadeu gyeoljeleul wonhasibnikka?"

"Hyeongeumgwa yeogie don-i issseubnida," jawab Lino dengan tersenyum tipis.

Lino menatap kepergian taksi yang di tumpangi dirinya. Ia menatap jam tangan yang menunjukkan lebih 15 menit dari jam seharusnya.

"Mereka ke mana lama kali, ya? Atau lagi nyasar?" ucap Lino dengan mengerutkan keningnya.

Setelah menunggu akhirnya orang yang di tunggu datang juga. Lino hanya bisa menahan tawa melihat teman-temannya yang terlihat kaku.

Lino memberikan uang tunai sekali lagi dan tidak lupa berterima kasih. Ia membuka gerbang lalu di sambut asisten rumah tangganya.

"Bi ... bantu Lino tunjukin kamar mereka, ya. Lino mau beresin kamar dulu," ucap Lino dengan tersenyum tipis.

Mereka masuk mengikuti Lino dengan berdecak kagum. Rumah minimalis yang di penuhi benda elektronik membuat mereka semakin kagum.

"No bonyok lo ngapain beli rumah? Mana penuh robot semua. Ini mah mahal banget pasti!" seru Adya dengan berdecak kagum.

"Gue dulu sering bolak-balik ke Korsel. Jadi bonyok beliin rumah supaya gue enak," ungkap Lino dengan menyeret kamarnya.

Lino menarik tangan Arsen untuk mengikuti dirinya. Ia hanya ingin tidur bersama tunangannya itu.

"Kita tidur di kamar utama nggak papa kali, ya? Orang sesat kayak mereka nggak usah di peduliin, " ucap Lino dengan mengedipkan matanya.

Arsen hanya tertawa canggung dengan wajah memerah. Namun, sedangkan yang lain menatap datar ke dua pasangan itu.

"Dih, gue beli rumah ini juga bisa! Sombong banget lo," cibir Ravy dengan memutar matanya.

Lino menatap Ravy sekilas lalu tertawa terbahak-bahak. Ravy sontak merasa kesal sendiri apalagi wajah mengejek lelaki itu.

"Oh, silahkan. Beli aja rumah ini cuman 3 miliar, kok!" seru Lino yang entah sengaja ingin mengejek lelaki itu atau tidak.

Adya dan Vano seketika memegang ginjal mereka. Lino yang melihat seketika hanya tertawa puas.

"Anjir gue jual ginjal baru bisa beli ini rumah!" seru Vano dengan melotot tajam.

"Gue nggak perlu ginjal lo tapi ... pelayanan yang kalian berikan sampai gue puas. Gimana?" ucap Lino dengan mengedipkan matanya.

Seketika semuanya menjadi tersedak massal. Apalagi Arsen yang mulai menatap datar Lino seolah ingin memakan habis lelaki itu.

"Anjing nggak mau gue! Lebih baik gue pergi aja dari sini!" sembur Ravy dengan menatap tajam.

Ziel juga mulai berjalan mundur dengan menggenggam kopernya. Mereka sepertinya mulai berpikir hal yang aneh. Lino pun seketika mulai menyadari apa yang ada di pikiran para orang itu.

"Eh, Babi! Kalian mikir apa, hah?" seru Lino dengan berkacak pinggang.

"Maksud beri layanan itu lo pada harus beresin apapun kalau rumah ini kotor atau berantakan. Traveling semua ya pikiran lo pada? Pada mesum semua, ih!" seru Lino dengan tertawa terbahak-bahak.

Semuanya seketika menghela napas lega terutama Arsen. Lelaki itu mulai menggenggam tangan Lino dengan tersenyum tipis.

"Kamar tidur di mana? Aku mau tidur," ucap Arsen dengan tatapan sayu.

Lino mengerutkan keningnya. Ia merasa ada yang salah dengan lelaki itu.

Lino mulai meletakkan telapak tangannya di atas kening Arsen. Ia tertegun merasa tubuh lelaki itu agak panas.

"Mabuk darat kamu kambuh lagi?" tanya Lino dengan raut wajah khawatir.

"Hmm, tadi nggak parah," sahut Arsen seadanya.

Lino menjadi panik sendiri. Ia mengambil alih koper Arsen dengan menatap tajam.

"Aku aja yang bawa koper! Soalnya kita mau naik tangga. Kalau kamu kenapa-kenapa aku sabet pakai ikat pinggang juga kamu! Suka banget bikin aku khawatir," gerutu Lino dengan berkacak pinggang.

"Iya, aku juga nggak nyaka bakal mabuk darat lagi," ucap Arsen dengan tersenyum manis.

"Masih aja senyum gitu. Udahlah kita bobo dulu," ajak Lino dengan menarik tangan Arsen. Meninggalkan para sahabatnya yang tercengang melihat drama itu.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Ih, lucu banget mereka tuh 😍
Bakor ku pakai translate 🙏🏻
Lanjut!

Ardian S2 (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora