34

6.2K 768 104
                                    

Lino menatap datar teman-temannya yang datang di samping dirinya. Ia sungguh ingin memukul siapapun saat ini juga.

Waktu itu ia pergi bersama Arsen hanya berdua tanpa ke dua orang tua mereka. Awalnya ia senang karena bisa pergi berdua dengan kekasihnya.

Namun, beberapa langkah kaki di ikuti suara ribut membuat Lino menjadi kesal. Ia mengeratkan genggaman tangannya kepada Arsen dengan wajah cemberut.

"Arsen kenapa ada jelangkung di sini? Kita nggak undang dia. Lagian gue ke sana itu mau lomba buat bangga negara bukan liburan," cibir Lino dengan memicingkan matanya.

"Ya, elah! Tuh Arsen aja nggak protes," cibir Adya dengan tertawa puas.

Lino mengangguk pelan dengan tersenyum manis saking manis membuat mereka ragu. "Ini lomba siapa?"

"Lo, lah!"

"Berarti yang tanggung biaya ini siapa?" tanya Lino dengan mengangkat alisnya.

"Ya, lo!"

"Nah, itu tau jadi jangan buat rusuh!" seru Lino dengan tersenyum lebar.

Namun, nyatanya apa yang di harapkan dari mereka. Beberapa orang itu mulai melakukan keanehan seperti membuat anak orang menangis. Arsen dan Ziel hanya bisa menghela napas.

"Huwe, Bunda!"

Satu pesawat seketika menjadi heboh. Lino mulai mengeluarkan permen cokelat dari sakunya.

"Adek manis ini kakak ada permen mau nggak?" tanya Lino dengan tersenyum lebar. Anak gadis itu mengingatkan dirinya kepada sang adik.

"Mau ... hiks ..."

Lino memberikannya kepada anak kecil itu. Ia tersenyum tipis kepada wanita yang di duga ibu dari anak itu.

"Makasih, Nak."

"Nggak, Bu. Seharusnya kami yang minta maaf. Itu teman saya emang minta di geprek," ucap Lino dengan cengengesan.

"Tidak masalah namanya juga anak muda."

"Jangan percaya sama Lino, Bu. Dia itu sama malu-maluin kayak kami tapi anehnya sekarang nggak kayak dulu lagi," celetuk Vano dengan cengengesan.

"Oh, iya? Berarti kamu sedang menuju fase dewasa atau ada masalah?"

Lino hanya tersenyum lebar. "Hehe, iya Bu. Lino lagi gugup karna mau lomba nanti. Oh, iya ini tunangan Lino."

Arsen tersenyum tipis. Ia sedikit canggung dengan anak kecil itu takutnya menangis melihat wajah datarnya.

"Oh, congrats!"

Akhirnya mereka hanya diam. Lino hanya tidur dengan memejamkan matanya.

"Sayang ..."

Arsen tertegun dengan menatap wajah tenang Lino. Ia hanya menahan senyum melihat lelaki itu tampak mengigau.

"Sayang ... kok nggak nyaut aku panggil juga," ucap Lino dengan membuka matanya.

"Hmm, aku kira kamu cuman ngigau. Tapi ... tumben pakai sayang?" sahut Arsen dengan tersenyum manis.

Lino justru tersenyum manis. "Tapi kamu juga suka bukan?"

Lino menatap wajah Arsen dengan agak ragu. Ia mengelus pipi Arsen dengan tersenyum tipis.

"Kamu enggak mabuk udara, kan?" tanya Lino dengan tersenyum tipis.

Arsen tertegun ia teringat kejadian di mana muntah mengenai tubuh Lino. Jika di ingat-ingat hal itu merupakan hal paling memalukan seumur hidupnya.

"Nggak cuman mabuk darat. Itu pun kalau perjalanan jauh," ucap Arsen dengan mengalihkan pandangannya.

Lino terkesiap dengan mencubit pipi Arsen. Ia sudah lama tidak melihat kuping memerah dari lelaki itu.

Cup

"Heh, ada anak kecil. Kamu ini binal banget," bisik Arsen dengan menyimpan wajahnya yang menjadi panas di belakang leher Lino.

"Haha, iya. Eh, nanti waktu sampai kita kencan, kuy! Udah lama kita nggak kencan gitu selama di dunia ini. Aku kangen waktu berdua kita tau makanya awalnya cuman ajak kamu doang. Lah, taunya ada orang nggak di undang," gerutu Lino dengan muka masam.

"Itu juga di sekolah aku kesel mulu. Gadis itu gatal banget godain kamu mulu. Syukur aja kamu itu belok jadi nggak susah payah kayak dulu walaupun dulu sempat mikir kamu nggak bakal bisa sama aku," lanjut Lino dengan wajah cemberut.

Arsen hanya berdehem kecil dengan mengelus rambut Lino. Ia merasa gemas melihat sifat cerewet dari kekasihnya itu.

"Itu juga aku heran sama Stela yang muncul terus dalam hubungan kita. Liat aja kalau ketemu di negeri ginseng berarti tuh cewek emang penguntit," gerutu Lino dengan mendengus.

"Tapi kamu suka bukan main sama Stela?" timpal Arsen dengan mengerutkan keningnya.

Lino menatap mata Arsen dengan menggembungkan pipinya. "Kamu jangan cemburu, ya. Aku emang suka waktu main basket tapi kadang-kadang tuh cewek suka muncul kayak jelangkung. Mending main sama Mika kalau gitu aku setuju. Soalnya Mika di sekolah keliatan nggak punya temen. Soalnya mereka berdua sama bar-bar, sih! Jadi nggak ada yang mau temenan sama mereka."

Arsen hanya mengangguk pelan sesekali tertawa gemas. Lino yang terlalu lama menggerutu akhirnya berhenti sendiri karena kelelahan.

"Sen ... perluk mau bobok," ucap Lino dengan menggembungkan pipinya.

"Okey," ucap Arsen mengecup pipi Lino sebelum akhirnya mereka terbawa ke alam mimpi.

***

Arsen mengerjapkan matanya saat merasa pergerakan. Ia menatap ke samping ternyata mereka sudah sampai di negeri ginseng.

Ia menatap ke samping kanan dengan tersenyum tipis. Ia merasa agak terpesona melihat wajah tenang dari Lino. Baik dulu sampai sekarang pesona lelaki itu terus menariknya seperti magnet.

Ziel ingin berbicara dengan Arsen. Namun, tidak jadi melihat Lino yang tertidur dengan pulas.

"Itu gimana?" tanya Ziel dengan mengangkat alisnya.

"Gendong," jawab Arsen seadanya.

"Tau tempat istirahat?" tanya Ziel dengan muka datar.

Arsen tertegun yang di bilang Ziel membuatnya ragu. Akhirnya ia menggerak tubuh Lino dengan penuh kasih sayang.

"Lino ayo bangun kita udah sampai," bisik Arsen dengan mengelus pipi Lino.

"Jangan kayak gitu, lah! Makin nyenyak tidur dia," seru Ravy dengan memutar matanya.

"Trus gimana?" tanya Adya dengan mengerutkan keningnya.

"Bodoh, ya? Seharusnya kayak gini wait," ucap Vano dengan tersenyum lebar.

Semuanya mulai curiga karena melihat Vano dan Ravy yang terlihat sangat jarang kerja sama. Ke duanya bahkan mulai menyeringai.

"Lino bangun Arsen di ambil orang!" teriak Vano dan Ravy bahkan penghuni pesawat yang masih tidur juga ikut terbangun.

Lino segera bangkit dari tidur dengan celingak-celinguk. Jiwanya masih belum sepenuhnya terkumpul.

"Hah, mana?" tanya Lino dengan mengucek matanya.

Vano, Adya dan Ravy seketika tertawa terbahak-bahak. Apalagi melihat wajah bantal dari lelaki itu yang meningkatkan suasana komedi.

"Anjir lo pada nipu gue, ya! Demi ketek Nicho yang kecut lo pada laknat bener, ya! Syukur pala gue nggak ke jedot!" sembur Lino dengan menatap tajam.

"Seharusnya kalian contoh Nicho, Dean dan Ryan yang rajin belajar. Ini sudah kelas akhir masih saja santai," lanjut Lino yang ceramah bak seorang guru.

"Iya, Mbah Lino!" seru mereka bertiga.

"Ayo kita keluar! Kita udah nyampe," ucap Arsen dengan tersenyum tipis.

Lino menatap ke arah jendela dengan tersenyum lebar. "Ayo! Tapi gendong, hehe."

Arsen hanya tertawa tipis. "Iya."

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Wah, Lino kamu udah kek guru aja bandingin temen sendiri 🤣
Lanjut!

Ardian S2 (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें