"Ck! Berapa kali gue harus bilang, kita masih break kalo lo lupa."
Avigar mengembuskan napas lelah. "Berapa kali juga gue bilang, kita cuma break bukan putus."
Jeva merasa deja vu, kata-kata Avigar sama seperti yang ia ucapkan di kantin beberapa jam ke belakang, hanya versi bahasa indonesianya saja. Untung bukan versi bahasa inggris, jika iya, akan terjadi ketar-ketir jilid 2.
"Entar deh, gue pikirin dulu."
"Gue nyuruh lo buat ikut gue, bukan nawarin lo mau ikut atau engga. Jadi gue gak butuh jawaban lo. Mau atau engga, gue tetep bakal jemput lo dan lo harus udah siap waktu gue sampe," sahut Avigar penuh penekanan tanpa ingin dibantah.
Jeva melongo. Perintah macam apa itu?
"Lagian apa susahnya sih nurut? Ini salah satu usaha gue buat benerin hubungan kita. Jadi gak usah banyak protes."
"Iya, iya!"
"Bagus. Kalo gitu gue balik dulu," pamitnya menyempatkan diri mengusak surai halus Jeva.
"Hm. Tiati."
Jeva buru-buru masuk ke dalam setelah Avigar menancap gas. Menyandarkan tubuhnya di balik pagar yang menjulang. Wajah dan hatinya memang tak sejalan. Wajahnya jutek amat sensi, namun hatinya bermakaran bunga warna-warni. Andai Avigar tahu seberapa sulit Jeva mengendalikan ekspresi agar tidak salting atau sekedar tersenyum.
Astaga, Jeva merasa seperti anak smp yang baru pacaran saja. Tapi biarlah, memang selama berpacaran dengan Avigar, bisa dihitung jari berapa kali mereka pergi kencan.
Tak lama untuk menenangkan diri, Jeva beranjak masuk ke dalam rumah dengan melompat-lompat kegirangan. Hingga belum genap membuka pintu rumah, klakson mobil dari depan memaksanya untuk membuka gerbang kembali agar mobil sedan itu bisa leluasa masuk.
Tumben sekali Panji sudah pulang. Biasanya pria itu akan kembali dari kantor pukul tujuh atau paling lambat setengah delapan malam.
Jeva mengambil gerakan cepat untuk masuk ke dalam rumah sebelum Panji keluar dari mobil. Moodnya sedang baik, ia tak ingin berbasa-basi dengan sang papa membuat moodnya terjun bebas.