38. Semua Mimpi yang Hilang

616 14 2
                                    

Ruang keluarga Jeva malam ini tampak menegangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruang keluarga Jeva malam ini tampak menegangkan. Ditambah kebungkaman empat orang di sana, menambah atmosfer dingin yang menusuk tulang.

"Jadi, kamu mau ngomong apa, Sayang?" tanya Anjani lembut pada si sulung.

Jeva hanya mampu menunduk, tangannya sudah berkeringat dingin. Kata-kata yang sudah ia siapkan, hanya sampai di tenggorokan. Nyalinya ciut seketika kala Panji menatap datar.

Jeva menoleh ke samping saat sebuah telapak tangan penuh kehangatan mendarat di punggung tangannya. Avigar memberi satu anggukan penuh keyakinan, seolah memberi tahu dan menyemangati Jeva, bahwa sekaranglah waktunya untuk dirinya menyuarakan keinginan.

Jeva berdeham, membulatkan kalimat yang sebentar lagi akan didengar oleh kedua orang tuanya.

"Jeva mau jujur sama Mama, Papa."

"Soal apa, Nak?"

"Jeva mau jujur kalo sebenernya..." Gadis itu menutup matanya rapat, meyakinkan diri sendiri.

"Jeva gak mau jadi dokter kaya yang Papa minta." Kalimat itu akhirnya lolos dari bibir Jeva.

"Apa maksud kamu Jeva?!" Panji mulai meninggikan suara, membuat hati Jeva bergetar. Untung saja Anjani yang mendampingi dapat meredakan emosi sang suami.

"Kasih Jeva kesempatan selesaikan ucapanya, Pa," ujar Anjani membela.

"Jeva gak bisa, Pa. Jadi dokter bukan kemauan Jeva. Science bukan passion Jeva. Cita-cita Jeva jadi pengacara, bukan dokter kaya yang Papa minta."

"Untuk itu kamu sekolah supaya kamu mengerti dan belajar untuk jadi dokter, Jeva!"

"Tapi Jeva gak bisa, Pa! Jeva gak mau!" sanggah Jeva dengan nada naik satu oktaf dan Avigar yang berusaha menenangkannya.

"Jeva gak bisa terus-terusan dipaksa belajar hal yang gak Jeva mau. Jeva capek," lirihnya.

"Apa kamu gak kasihan sama Faya? Papa minta kamu jadi dokter biar kamu bisa bantu adik kamu!"

"TERUS GIMANA SAMA JEVA, PA?! PAPA GAK KASIHAN SAMA JEVA?"

Jeva benar-benar sudah diambang batasnya, Jeva menyayangi Faya, sangat. Namun, melihat ayahnya seolah lebih mempedulikan Faya tanpa ingin tahu bagaimana beratnya menjadi dirinya, membuat Jeva merasa kecil.

"Jeva juga anak Papa," getir gadis itu.

"Jeva juga mau disayang sama Papa kaya Papa sayang sama Faya."

"Papa sayang sama kamu Jeva. Kalo engga, Papa gak mungkin ngebesarin kamu! Dasar anak gak tau diri!"

Anak tidak tau diri. Sebaris kalimat yang selalu berhasil membuat Jeva memaksakan dirinya memenuhi perintah Panji, agar Panji tidak memiliki kesempatan mengucapkan kalimat itu lagi. Pikir Jeva, ia dapat membayar kemurahan hati ayahnya sebagai anak dengan menuruti segala permintaan Panji.

AVIGAR || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang