41. Sebuah Usaha

667 17 1
                                    


Motor besar itu semakin melambat kala sang pengendara melihat mobil sedan di pinggir jalan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Motor besar itu semakin melambat kala sang pengendara melihat mobil sedan di pinggir jalan. Dan benar-benar berhenti di depan mobil itu setelah memastikan seseorang yang dikenalnya, sedang kesulitan mengganti ban.

"Boleh saya bantu, Om?" tawar Avigar sedikit mencondongkan tubuhnya pada pria yang sedang berjongkok mengganti ban mobil yang nampaknya bocor.

"Oh, iya boleh, nak. Terimakas—" ucapan itu tak Panji selesaikan setelah melihat pemuda yang berbaik hati hendak menolongnya.

"Kamu?!"

"Saya cuma mau bantu, Om. Saya lihat, Om kesulitan."

Karena tak mendapat jawaban dan melihat Panji yang makin ngos-ngosan, tanpa mengantongi ijin, Avigar tetap mambantu, meski wajah Panji tak bersahabat sama sekali.

Seraya menepuk kedua tangan sekilas dan mengusap keringat yang menetes di kening dengan punggung tangan, Avigar berkata. "Udah beres, Om."

"Saya juga tahu!" jawab Panji jutek.

"Terimakasih. Lain kali, tidak perlu membantu. Saya bisa sendiri," sambung Panji kemudian hendak pergi.

"Om, tunggu."

Langkah Panji terhenti, menunggu apa yang ingin remaja itu katakan.

"Boleh, kita ngobrol sebentar? Saya janji gak akan banyak minta waktu Om Panji."

Keduanya berpindah pada taman yang tak jauh dari mobil Panji terparkir. Mencari tempat yang tenang dan jauh dari bisingnya kendaraan.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan? Cepat. Saya masih ada urusan lain."

"Sebelumnya, saya mau minta maaf atas keributan di rumah Om malam itu."

"Om, saya tidak bermaksud untuk ikut campur masalah Om dan Jeva. Saya tidak berniat untuk sok menjadi paling tau tentang Jeva dari pada Om, ayahnya sendiri. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang Jeva rasakan selama ini, dari sudut pandang saya."

Avigar menarik napas panjang, seutas senyum terbit di bibirnya. Membayangkan bagaimana pertama kali ia bertemu Jeva hingga waktu yang telah mereka habiskan bersama. Rasa rindu turut menyeruak menghantam kotak memorinya.

"Jeva, Putri Om itu, gadis yang baik. Dia sangat pemberani. Dia tidak akan pernah takut apapun selama dia benar."

"Tapi, untuk pertama kalinya, saat itu saya melihat dia sangat ketakutan. Bahkan ketika dia tidak melakukan kesalahan. Dan sayangnya, ketakutan itu hadir, saat Jeva melihat ayahnya sendiri." Avigar menjeda untuk melihat ekspresi Panji. Pria itu sedikit tertohok, namun dengan cepat mengendalikan diri.

"Apa memiliki cita-cita adalah sebuah kesalahan, Om? Apa menjadi pengacara, dan tidak ingin menjadi dokter itu sebuah dosa?"

"Saya mengerti kekhawatiran Om terhadap Faya. Jika saya menjadi Om pun, mungkin saya akan melakukan hal yang sama. Tapi, saya tidak mau hal itu harus mengorbankan masa depan dan cita-cita putri saya yang lain."

"Saya sudah melihat, bagaimana Jeva begitu berusaha. Bagaimana Jeva belajar sekeras yang ia bisa agar dapat memenuhi permintaan Om. Selama hidupnya, Jeva hanya memikirkan bagaimana agar bisa membuat Om bangga, bagaimana agar ia bisa membantu Faya. Bahkan Jeva sampai rela melepas cita-citanya menjadi pengacara."

"Tapi, Jeva sudah berada pada batasnya saat datang pada Om dan mengeluhkan semua keinginannya."

"Jeva sudah berusaha, sangat keras."

"Sekali lagi, saya minta maaf. Saya mengatakan ini semua, bukan untuk memaksa Om agar memberi kebebasan buat Jeva memilih masa depannya. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya lihat, selama bersama Jeva. Dia putri yang luar biasa hebat. Tolong, Om jangan tersinggung."

Cowok itu mengembuskan napas tenang. "Terimakasih sudah meluangkan waktunya, Om. Saya gak mau meminta waktu Om lebih lama lagi. Kalau begitu, saya permisi."

Avigar tersenyum lega, langkahnya terasa ringan. Hal yang seharusnya ia lakukan saat masih menjadi kekasih Jeva, kini malah ia lakukan saat sudah berstatus mantan. Namun tak masalah, hanya ini satu-satunya yang dapat ia lakukan. Jalan terakhir yang ia tempuh untuk membantu Jeva. Status bukanlah masalah dan bukan alasan bagi Avigar untuk berhenti memperjuangkan kebahagiaan gadis yang ia cinta.

Sementara Panji yang masih terduduk di bangku taman, sedang mencerna semua kata-kata Avigar. Ingatan pria itu kembali pada belasan tahun yang lalu. Kala putri pertama yang begitu cantik lahir ke dunia, membuat Panji dan Anjani begitu bahagia. Diberilah nama gadis itu, Jeva Kalea. Dengan harapan agar putri mereka tak pernah berhenti dan putus asa dalam meraih sesuatu. Bagaimana Panji bisa melupakan arti dan tujuan ia memberi nama putri sulungnya itu?

Panji menatap kedua telapak tangannya. Tangan halus yang ia gunakan untuk menimang Jeva dan memberinya kasih sayang, lambat laun berubah menjadi tangan yang kasar untuk menyakiti putrinya sendiri.

Ada cerai berai yang menggerogoti hati Panji, bagaimana bisa dengan ringan ia mengangkat tangan itu untuk menyakiti sang putri?

"Ya Tuhan, apa yang sudah ku lakukan?" Air mata terjatuh pada telapak tangan Panji yang terbuka.

"Jeva, maafkan Papa, Nak." Setalah itu, hanya isakan Panji yang terdengar begitu menyakitkan dan bersatu padu dengan penyesalan.

ᴀ ᴠ ɪ ɢ ᴀ ʀ

sepeduli dan sesayang itu Avigar sama Jeva😔

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


sepeduli dan sesayang itu Avigar sama Jeva😔

satu kata buat Avigar?

AVIGAR || ENDWhere stories live. Discover now