43. Tentang Penyesalan

826 17 6
                                    

Tok!

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Tok!

Tok!

"Siapa?"

"Ini Papa, Nak."

Raut Jeva nampak tak percaya. Apa baru saja ayahnya itu memanggilnya 'nak'?

Sejak kapan?

Seingat Jeva, panggilan itu tak lagi ia dengar dari mulut Panji semenjak pria itu terus memaksanya menjadi dokter. Yang ada hanya kata-kata anak bodoh, tolol, tidak becus dan kata menyakitkan lainnya.

"Masuk aja, Pa. Gak dikunci."

Langkah Panji mendekat pada sang putri yang duduk rapi di kursi belajar. Buku tentang science, biologi, anatomi dan hal-hal berbau ilmu pengetahuan alam, berserakan di atas meja.

"Baru belajar, Nak?"

Jeva mengangguk takut. Apa Panji akan memarahinya lagi? Namun seingatnya, ia tak membuat masalah. Malah siang tadi, ia memberi hasil ulangan biologinya yang mendapat nilai seratus.

Sudut mata Jeva melihat tangan Panji yang melayang di udara. Membuat gadis itu refleks memundurkan kepalanya dan memejam erat.

"Setakut itu kamu sama Papa,Nak?" batin Panji menatap sendu.

Karena tidak merasakan sesuatu terjadi, Jeva membuka satu matanya untuk memastikan, apa ia akan dipukul lagi atau tidak. Namun, yang ia dapati justru sebuah senyum teduh milik Panji yang sudah lama tak ia lihat.

Tubuhnya, ia tegapkan lagi seperti semula. "Ada apa, Pa?"

Mata Panji melihat pigura berukuran sedang di meja belajar Jeva. Disana terdapat satu keluarga utuh yang terlihat begitu bahagia.

Dibawalah bingkai itu, kemudian duduk pada kasur Jeva seraya terus mengusap benda dalam genggaman.

"Papa cuma mau ngobrol sama Jeva."

"Soal?" Jeva menyusul duduk di samping Panji. Tak pernah sebelumnya pria itu bersikap seperti ini. Gadis itu malah takut sendiri atas perubahan sikap sang ayah. Atau tanpa disadari, ia telah melakukan kesalahan?

Panji menatap potret Jeva yang berada dalam gendongannya kala berumur sepuluh tahun disana. Kemudian beralih menatap putrinya yang berada di depan netra, membandingkan.

"Jeva sudah besar, ya?" ujarnya sembari mengelus kepala Jeva lembut.

Astaga, apakah ini benar-benar Panji Widhibrata, ayahnya? Kemana sosok yang selalu keras padanya itu? Mengapa sekarang pria itu menjelma menjadi ayah yang penuh kasih sayang?

Atensinya beralih lagi pada bingkai foto. Memorinya mundur ke belakang, pada belasan tahun yang lalu saat foto itu diambil kala mereka sedang berlibur bersama.

Tanpa disadari, setetes air mata jatuh pada foto tersebut.

"Eh? Papa kenapa? Jeva bikin salah, ya? Jeva minta maaf. Jeva janji bakal belajar lebih giat biar bisa jadi dokter."

AVIGAR || ENDOù les histoires vivent. Découvrez maintenant