bagian 3 : sidang

23 6 2
                                    

Adis meretakkan tulang jari jemarinya setelah menyelesaikan proposal hari ini. Ia menatap Jeje yang sedang menikmati permen kaki kesukaannya di depan komputer.

"Je, coba liat proposal yang baru saya kirim via email."

Jeje mengangguk, "Siap, teh."

Perempuan yang hampir menginjak usia dua puluh enam tahun itu beranjak dari tempatnya menuju ruang untuk membuat kopi. Kang Jian meliriknya, ia juga mendapati Alaska yang berjalan pelan menyusul kepergian Adis barusan.

"Alaska," panggilnya.

Laki-laki itu berbalik, "Ya?"

Apa ini? Kenapa Alaska tidak mengatakan, Ya Pak Kang Jian secara hormat dan sedikit membungkuk karena jelas jelas dia masih menjadi anggota baru di tim ini dan harus hormat ke seniornya!!

"Buatkan saya kopi juga."

"Tapi saya—"

"Kenapa? You mau buat kopi kan? You gak boleh melawan senior di sini."

"Siap, Pak," katanya. Setelah itu ia menuju ruang untuk membuat kopi dimana Adis masih sibuk mengaduk kopi di sana dengan posisi memunggungi Alaska.

Alaska berjalan pelan dan berhenti tepat di belakang Adis. Hingga saat perempuan itu berbalik, ia terkejut melihat keberadaan Alaska yang sangat dekat dengan dirinya hingga kopi panas yang baru ia buat tumpah ruah mengotori kemeja dan jas mahal milik Alaska. Laki-laki itu berteriak dan mengaduh kepanasan. Adis menutup mulutnya terkejut, ia meletakkan cangkir di atas meja lalu mengelap pakaian Alaska dengan sapu tangan miliknya.

Alaska langsung menahan lengan Adis dan membuang sapu tangan itu.

"Itu kotor, saya tidak suka."

"Aduh Pak Alaska kenapa sih? Itu bersih loh. Lagian kenapa Pak Alaska tiba-tiba berdiri di belakang saya, sih? Saya kan jadi kaget."

"Maaf Bu Adis, saya hanya ingin menyapa tadinya."

Adis berdecak, "Ya udah saya minta maaf juga saya gak sengaja ngotorin bajunya Pak Alaska."

"Panggil Alaska saja."

Adis mengomel dalam hati, "Dih, apa-apaan, sok manis banget mau di panggil nama aja?"

"Bu Adis?" panggilnya lagi.

Adis tersadar dan meraup wajahnya cepat, "E-eh iya, Alaska. Kamu juga jangan panggil saya Ibu. Saya belum punya anak soalnya."

Alaska mengangguk. Adis mundur perlahan mengikis jarak mereka, Adis berdehem, "Emm ... Soal kejadian malam itu, saya—"

"Oh iya, saya mau minta nomor telepon anda."

Ia menyerahkan ponsel samsung lipatnya pada Adis.

Adis mengerutkan dahi, "Buat apa?"

"Ada keperluan penting, silahkan catat nomor anda. Nanti saya beri tahu via chat."

Adis mengangguk, ia memberi nomor ponselnya pada Alaska sambil mengulum senyum dan membatin, "Ceilah pake keperluan penting segala, bilang aja lo naksir ke gue gara-gara gue cium malam itu. Dasar kaku banget si kutub, apa gue cium lagi aja ya? Astaga Adis! Sadar!"

Alaska mengerutkan dahinya saat Adis memukul wajahnya sendiri, "Anda ... Kenapa?"

"H-hah? Oh enggak, ada nyamuk tadi."

"Nyamuk?"

Alaska mengedarkan pandangannya, namun ia tidak mendapati nyamuk yang baru saja diceritakan oleh Adis. Perempuan berambut hitam panjang itu mengigit bibir bawahnya ketika melihat wajah tampan Alaska dari bawah karena tinggi laki-laki itu benar-benar tinggi menjulang. Alaska masih mencari nyamuk dengan matanya, jakunnya yang lancip naik turun hampir membuat Adis khilaf!

Bengkel Perut 88 Where stories live. Discover now