bagian 5 : cicilan hutang

16 6 1
                                    

Hening.

Kata itu yang menggambarkan betapa kosong dan dinginnya euforia di 'istana' milik Tuan muda Alaska. Ya. Laki-laki itu terpaksa mengikuti jamuan makan malam bersama Daddy dan Mommy nya. Kemudian ia memutar bola mata malas melihat tunangannya yang sok imut itu sedang meneguk air putih lalu mengelap bibirnya dengan tisu yang harganya setara dengan satu bulan gaji Hilda Adistia.

"Daddy bakal kasih kamu Lamborghini Aventador keluaran terbaru kalau kamu mau kembali ke rumah."

"No Daddy, please. I can't. Al bakal mulai dari perusahaan yang levelnya di bawah perusahaan Daddy. Al gak mau orang-orang selalu bilang privillage yang buat Al jadi setinggi ini. Al bakal belajar jadi orang biasa di perusahaan biasa tapi dengan kemampuan yang luar biasa. Al akan belajar bagaimana agar aplikasi yang Al buat mencuri perhatian orang dengan riview jujur tanpa pembohongan publik yang memuji Al hanya karena pewaris tunggal keluarga Arcolando. Al gak mau, Al bakal mulai semuanya dari nol."

"Alaska, apa yang dikatakan Daddy kamu itu benar. Apa kamu sanggup hidup seperti itu?"

Alaska menoleh ke arah tunangannya, "Kamu lagi mengkhawatirkan diriku atau diri kamu sendiri? Kamu takut aku jatuh miskin dan gak bisa membelikan mu barang branded lagi?"

"Alaska ..." Nyonya Arcolando menatap tajam ke Alaska, lalu ia menggelengkan kepalanya pelan. Ia membuka suara kembali.

"Mommy setuju sama apa yang diucapkan Daddy dan Tsabita tadi. Come on dear, kamu gak akan sanggup hidup dengan gaji dari mapala Group."

"No Mom, I can. Al bakal buktiin kalau Al udah dewasa."

Mami nya membuang napas panjang. Tuan Arcolando membuka suara kembali, "Lalu kalau kamu menyamar dan menjadi karyawan pengembang di Mapala, bagaimana dengan pernikahan kamu? Kalian sudah bertunangan, tidak baik menunda-nunda. Dan kalau suatu saat nanti identitas mu terbongkar, Mapala bakal cap kamu sebagai pengkhianat. Dia saingan kita, Al."

"Itu gak akan terjadi. Al bakal hati-hati. Walaupun Al pewaris One Star group, Al bukan orang terkaya seantero Jakarta atau dewa yunani yang disegani orang-orang seperti novel yang selalu Mommy baca. Walaupun kenyataannya kekayaan kita bisa membeli apa saja."

"Tapi—"

"Daddy. Please. Al bosen tinggal di rumah mewah terus, Al selalu di kekang, gak boleh milih pilihan Al sendiri. Al itu udah dewasa sekarang, Al mau atur kehidupan Al sendiri. Al mau punya uang hasil jerih payah sendiri, bukan hasil duduk di kursi Ketua Direktur hasil Daddy nya. Its shame for me."

Sementara Al sibuk berdebat dan menikmati makanan mahalnya, Adis justru berguling-guling di kamarnya memikirkan bagaimana caranya ia bisa melunasi hutang sebanyak itu. Jangankan semua, lima tahun Adis bekerja di Mapala pun belum tentu bisa membayar separuh dari hutangnya.

***

Pagi-pagi sudah buat kopi.

Siapa lagi kalau bukan Manager Eksekutif Ramos Batara. Ahad yang baru datang pun mengintipnya dan duduk di ruang istirahat atau yang biasa dipakai untuk membuat kopi di tim pengembang.

"Eh, Ahad. Kau rupanya."

"Iya Pak Ramos, tumben pagi-pagi sekali sudah datang langsung bikin kopi."

Ramos duduk di samping Ahad dan mengucek matanya, "Kau gak liat kantong mataku ini?"

Ahad mengerjapkan matanya saat melihat kantong hitam di kelopak mata Managernya. Menyeramkan seperti dobcolebtoor yang akhir-akhir ini Ahad hindari.

Bengkel Perut 88 Where stories live. Discover now