bagian 30 : bertemu mantan gebetan

7 3 0
                                    

Sementara Alaska masih sibuk mengelus pipi kanannya yang memerah sambil mendorong troli yang sudah banyak berisikan belanja bulanan keperluan dapur, Adis memilih-milih mi instan untuk jaga-jaga jika di dapur tidak ada sayur.

"Kata Dokter keluarga saya, gak boleh sering-sering makan mi, Adis. Kita beli tiga aja ya?"

Adis menatapnya nyalang, "Kita? Helowww, saya beli untuk diri saya sendiri."

"Kok gitu? Bukannya sisa 98 juta itu untuk sewa apartemen satu bulan dan biaya makan saya? Kamu gak bertanggung jawab, Adis, ck ck ck."

Adis menghela napas panjang sambil memasukkan tiga mi instan di dalam troli, "Katanya mau bikin bisnis yang sukses, tapi kamunya gak bisa hemat. Gimana sih? Saya tau kamu orang kaya, Al. Tapi uang 98 juta itu gak sedikit buat orang seperti saya. Lain kali, kamu gak boleh menghamburkan uang begitu saja."

"Adis, saya lagi gak mau debat—"

"Diam, jangan interupsi. Saya belum selesai. Jas, merk ternama. 600 juta. Gila kamu ya? Kamu memang cocok di panggil Alaska crazy. Ya it's okey lah, old money. Tapi 600 juta itu bayarnya pake uang Al, bukan pake daun."

"Saya kalau bayar ya pake uang, Adis. Gak mungkin pake daun. Memangnya bisa bayar pake daun?"

"Omaigat, Alaskaaa ... Harus berapa kali saya ulang kata-kata saya dengan cermat agar anda mudah mengerti bahasa saya?"

"Ya kamu jangan pake kode atau kata-kata kiasan itu, saya gak ngerti. Bahasa Indonesia saya cuma sekedar bahasa baku dan bahasa sehari-hari yang non baku. Selebihnya, saya gak tau arti kata-kata anak milenial jaman sekarang. Kayak tadi saya liat ada anak SMA nyium adiknya terus bilang gemoy, saya mana tau apa itu gemoy? Saya cuma beberapa tahun tinggal di Indonesia."

Adis memutar bola mata malas, ia berjalan lagi sambil mencari keperluan kamar mandi. Alaska mengikuti nya dari belakang sambil mendorong troli. Adis membuka suara, "Memangnya kamu lahir di mana?" Adis mengendus body scrub di tangannya sebentar.

"Saya lahir di New Zealand, dulu Mommy sama Daddy kan pindah-pindah kerja aja. Umur lima tahun, saya pindah ke Italia. Umur sepuluh tahun, baru saya ke Indonesia."

"Terus?"

Sambil mendorong troli, Alaska melanjutkan, "SMA saya ke New Zealand lagi tempat nenek. Kuliah S1 saya ambil di Finlandia, pendidikan di sana bagus. S2 nya saya di Cambridge. Lulus itu, saya di iming-imingi megang perusahaan Daddy saya, jadi saya balik ke Indonesia tiga tahun belakangan ini. Bagus kan bahasa Indonesia saya?"

"Kenapa gak pake bahasa Inggris saja ke saya?" tanya Adis.

"Saya tau kamu bisa, tapi malas lah. Walaupun saya gak lahir di negara ini, tapi saya harus fasih berbahasa di negara kelahiran Daddy saya. Saya suka di Indonesia, orangnya ramah, lucu, gak kaku, masakannya juga enak-enak. Apalagi masakan kamu. Nanti saya mau dimasakin rendang ya? Kamu bisa?"

"Bisa, nanti saya masakin. Oh ya, ternyata kamu memang beneran orang kaya ya? Saya kira sekedar kaya biasa saja, rupanya luar biasa. Jadi males saya deket-deket kamu."

"Ya itu dulu, sekarang kan saya gembel."

"Oh iya, kita berdua sama-sama gembel," ucap Adis tertawa diselingi Alaska yang juga ikut tertawa.

"Gimana kalau kita ngemis aja di jalan, Al? Lumayan buat stok cemilan."

"Dasar kamu, tidak boleh begitu. Daddy mengajarkan, kalau kita harus berusaha, gak boleh sembarangan ngemis. Saya lebih suka kasih uang ke badut yang menghibur, atau ke pengamen di jalanan daripada yang mengemis tanpa mau berusaha."

Bengkel Perut 88 Where stories live. Discover now