bagian 54 : berjuang bersama

10 3 0
                                    

Hening. Itu yang menggambarkan suasana taman sore ini. Alaska diam, Adis pun bungkam. Tak ada yang berniat untuk memulai. Sudah sepuluh menit mereka tidak membuka suara. Sekarang, Adis memilih untuk menjadi yang pertama memulainya. Ia berkata, "Maaf."

Alaska menoleh, "Untuk?"

"Untuk semuanya. Untuk saya yang terlalu sering membandingkan diri saya dengan kamu. Untuk saya yang belum terlalu cukup dewasa memahami perasaan mu, untuk saya yang mementingkan diri sendiri tanpa peduli masalah orang disekitar saya. Untuk semua perkataan saya yang di luar kendali. Saya benar-benar minta maaf, Alaska."

Alaska tersenyum, "Jadi kita baikan?"

"Kenapa kamu mudah sekali memaafkan saya? Kenapa kamu tidak marah dulu?"

"Buat apa? Semuanya udah terjadi. Saya juga mengerti perasaan mu, jadi buat apa kita ungkit lagi? Saya capek berdebat, Adis. Lebih baik kita mulai semuanya dari awal. Kamu sekarang kerja apa?"

Adis menggeleng, "Saya belum dapat kerjaan semenjak di pecat. Saya udah jalan kesana kesini tapi gak dapat apa apa, malah cv saya dibuang di tong sampah."

Alaska menerawang ke atas. Ia membuang napas panjang, "Hidup memang sesulit ini kalau tidak punya kekuasaan ya?"

Adis mengikuti arah pandang Alaska.

"Ya. Dunia tidak pernah adil untuk siapapun. Tapi kita bisa berusaha memerangi ketidak adilan itu dengan berjuang bersama-sama." Ia menoleh ke arah Alaska, "Saya rindu peluk kamu."

"Saya juga rindu diomelin sama kamu."

Adis tertawa, "Mau makan sup di rumah saya?"

Alaska mengangguk. Ia kembali ke apartemen Adis. Menikmati sup ayam dicampur wortel dan kentang. Di temani kucing kesayangan. Adis tersenyum lebar melihat Alaska yang baru saja selesai menceritakan kehidupannya setelah memutuskan menjadi gembel seutuhnya.

"Jadi kali ini beneran gembel ya?"

Alaska tertawa, "Iya nih. Udah bukan tuan muda Alaska yang dulu lagi. Memangnya kamu masih mau sama saya yang kumal gini?"

"Mau kok."

"Yakin?"

"Iya sayang."

"Tunggu, sepertinya jantung saya mau jatuh ke tanah." Alaska bereaksi berlebihan. Ia memegang jantungnya. Sedangkan Adis justru tertawa sambil memukul lengan laki-laki itu.

"Coba kamu liat di lantai. Ada gak kira-kira?"

Adis memegang dagu Alaska, "Al."

"Hm?"

"Saya udah tau kalau Jeje yang bocorin data aplikasi kita sejak awal ke perusahaan One Star, dia juga udah minta maaf. Kemarin juga Aura datang minta maaf soal kejadian beberapa tahun lalu. Dan baru aja tadi pagi Papa kirim pesan sudah kasih uang ke Bibi untuk biaya sekolahnya adik-adik. Kenapa harus sekarang ya? Kenapa orang-orang mudah sekali minta maaf? Mereka kira dengan minta maaf akan membuat kaca yang pecah jadi seperti baru lagi? Saya heran."

"Sakit di balas maaf itu gak adil," ucap Adis lagi.

"Memang, memang gak adil. Dalam satu minggu ada tujuh hari, di bagi dua yang satu dapat empat yang satu dapat tiga. Di bagi tiga duanya dapat dua yang satu tiga. Tapi apa kita harus selalu berteriak di tengah-tengah keramaian kalau dunia itu tidak adil? Apakah kita akan dapat uang satu koper setelah berteriak seperti itu? Enggak kan? Yang harus kita lakukan apa? Memerangi ketidakadilan itu. Menutup mata dan telinga. Dan hidup seperti manusia lainnya."

"Saya ingin menyerah saja rasanya," ucap Adis.

"Langit besok hari sayang banget harus kamu lewati. Saya juga udah hampir nyerah jadi orang miskin. Tapi setelah Daddy saya tadi meleceh saya, saya sekarang tambah semangat lagi. Terlebih lagi saat saya ketemu kamu."

Bengkel Perut 88 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang